MATA ANGIN JOKO WIDODO


 Saya memikirkan Mimo. Kucing kesayangan milik kontrakan saya di Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat. Dan saya tidak menemukan Mimo malam tadi. Padahal saya ingin berbincang dengan Mimo yang tidak memiliki keperpihakan politik ke mana pun. Diskusi dengan Mimo membuat pikiran saya terasa lebih jernih saja. Dan topik yang ingin saya diskusikan dengan Mimo tentang Joko Widodo, kemudian Micl Romaknan memberikan panggil Jokowi yang sekarang kita lebih kerap dengan Jokowi daripada Joko Widodo. Mimo sudah menemani hari-hari panjang saya dan mengantarkan saya ke FOCUS GROUP DISCUSSION di istana.
Meski mimo bakal lebih banyak mengabaikan, saya lebih suka begitu. Keberpura-puraan dalam hidup hari ini hanya bakal mendatangkan keberpuraan-puraan di masa depan. Sedangkan Mimo dia tidak pandai berpura-pura. Kalau dia ingin tidur dengan santai di kursi ruang tamu, silahkan saja. Sedangkan aku sedang asyik ngobrol dengan dia. Sendirian bicara kepada seekor kucing membuat aku lebih bahagia saja. Sebagai kucing yang baik yang memiliki sedikit perangai buruk, Mimo menggemaskan dan sekaligus menjengkelkan. 
Aku ingin berbicara dengan Mimo. “Mimo, ingatan aku tentang Jokowi ingatang pedagang. “Sekarang orang menyebutnya pebisnis, Mimo. Ada pula panggilan yang keren atau pura-pura dikerenkan Entrepreneur. Ingatan tentang kegagalan yang 118, mungkin saja, 119. Ingatan tentang ‘keputusan’ yang diambil saat Istri Jokowi hamil 7 bulan. INILAH INGATAN TERKUAT DALAM KEPALAKU SAAT INI.
“Mimo, keyakinan seseorang mengambil keputusan, mimpi-mimpi yang terwujudi jadi kenyataan di hari ini, esok, dan lusa. Jokowi memutuskan keyakinan ini saat dia sudah mendapatkan pekerjaan yang baik di pedalaman Aceh di industri kertas. Bagaimana mungkin ini tidak menjadi buah pikiranku, Mimo. Keputusan Jokowi seperti keputusan yang aku ambil ketika finansial sudah merasa aman. Tetapi keputusan harus diambil jika tidak ingin terkurung dalam rasa nyaman. Ya sebatas rasa nyaman, Mimo. Itulah yang saya lihat dalam setiap tindakan kepemimpinan seorang saudagar JOKOWI.
“Gagal, diabaikan, dihina, membangun sumber daya manusia, membangun strategi, keluar dari zona nyaman, mengambil tantangan, itu makanan sehari-hari  seorang saudagar. Hidup adalah kegagalan demi kegagalan yang selalu mempunyai nilai positif untuk kegagalan berikutnya, ah, bukankah begitu Mimo.

Setiap tujuan kebahagian pada dasarnya untuk memberikan kebahagiaan kepada diri kita sendiri. Keluarga menjadi satu dari prioritas teratas kebahagiaan.


Mimo, sebagai seorang saudagar katakanlah enterpreneur. Ada sebuah hukum bisnis yang menarik perhatian setiap saudagar yang benar-benar paham dengan prinsip dagang. Konsumen prioritas pertama, karyawan prioritas kedua, investor prioritas ketiga. Aku melihat inti dari prioritas ini ada leadernya, ruh kepemimpinan seorang pemimpin. Kelak dalam setiap kebijakan dapat kita lihat. Program-program yang berhubungan pemerintahan diputuskan dengan perhitungan seorang saudagar.

Mimo, silahkan dengarkan curhatku ini Mimo. Anggap saja enggkau sedang mendengarkan petikan piano dari jari Yiruma. Atau kau boleh memilih petikan saksofon legendaris Kenny G. 


KEPADA MIMO saya hendak ingin mendiskusikan yang satu ini, kronik kota. Melihat kemacetan di kota besar terkadang membuat saya lebih memilih duduk berdua dengan Mimo dikontrakan. Mimo menjadi pendengar yang baik yang juga sedikit nakal dan saya menjadi pencerita yang baik. Keluar dari pintu kontrakan berarti masuk ke lingkaran kemacetan kota, aroma angin, mata langit yang penuh kabut, kesibukan masing-masing yang sampai pada tahap di mana seseorang merasa hidup untuk dirinya sendiri. Tentu pula ini selalu saja menggoda pikiran saya setiap berada di kota besar.

ORANG TANI, saya terkadang duduk sendiri dan termenung sendiri, Mimo. Kalaulah saya pulang ke kampung halaman, dan ikut pula pergi bertani ke ladang yang beberapa petak. Saya menjadi ingin curhat dengan Mimo sebanyak-banyaknya. Kepada Mimo saya dapat berbagi. Bahwa pengelolaan hasil pertanian salah satu yang mesti diprioritaskan. Bukan karena hasilnya yang jelek. Sama sekali bukan. Melainkan karena harga dan market yang tidak terpisah. Sebab itulah para petani hidupnya cukup untuk hari ini dan besok, untuk lusa nantik pula dipikirkan. Sebab mereka orang-orang yang tidak bersekolah rata-rata. Tentu tidak pahamlah mereka dengan yang namanya pasar modern. Keberadaan bekraf untuk memicu berdirinya market buah dan sayur di setiap kabupaten kota tentu bakal mencukupi kebutuhan petani untuk lusanya.
Mimo, sudah tentu jika program pemerintah kita ini untuk petani sudah cukup baik. Alangkah baik lagi jika ada program pasar buah yang dikelola secara modern untuk menampung pasokan buat petani. Ide aku setiap kabupaten minimal ada 1 pasar buah modern. Kota berkembang ada 10 pasar buah modern. Kota besar ada 50 pasar buah modern. Pasar buah ini diisi langsung oleh para petani yang tidak tamat sekolah dasar itu. 
Ah, begitu banyak para petani yang tidak tamat sekolah dasar. Tentu mereka tidak paham dengan konsep pasar. Mereka hanya paham cara hidup hari ini dan besok tanpa  ada kata lusa. Sebab itu pula menarik, Mimo, jika ada para voluntir semacam pengusaha binaan pemerintah yang diterjunkan langsung untuk menghubungkan petani dengan market modern. Sudah tentu ini KECE, Mimo. Setidaknya saya bolehlah berharap Mimo.

Dan Mimo masih saja bersikeras di Jakarta, di kontrakan. Kepada siapa lagi aku bakal curhat dan diskusi setidaknya buat mengobati hati yang gundah gulana.
BAGAIMANA PULA KALAU KITA BERBAGI SOAL BUKU, MIMO. Pepatah lama mengatakan dunia tidak selebar daun kelor. Mimo, dan ada pula pepatah orang AWAK katakan “katak dalam tampuruang, merasa dunia dalam tempurung sangat luas, ketika sudah keluar dari dalam tempurung barulah dia tahu, dunia itu sangat luas”. Sebab itulah saya selalu saja percaya, bahwa pintu untuk keluar dari kebodohanku dan kebodohan kau barangkali juga ada pada kucing si Mimo, ada pada buku. Menjadi orang bodoh enggak enak, Mimo. Tetapi menjadi orang sok cerdas juga menyakitkan Mimo. Sebab itu aku selalu saja ingin mengajak Mimo membaca buku dan belajar dari dunia yang ada di buku tentang kerendahhatian. Sekarang Indonesia kita makin jaya saja, orangnya makin cerdas saja, tetapi yang dibodohi dengan kecerdasan sendiri juga banyak Mimo. Sebab itulah kenapa aku membicarakan buku denganmu Mimo. Biar kau juga menyampaikan buku kepada rekan-rekanmu yang lain Mimo. Buku untuk bangsa kita itu Mimo adalah labor riset untuk 100 tahun ke depan.

ALIZAR TANJUNG
CEMPAT PUTIH, JAKARTA Pusat dan Siteba, Padang, 11 dan 23 DESEMBER 2017
Lebih baru Lebih lama