Talang Lamang untuk Emak

Cerpen Alizar Tanjung
Terbit di Padang Ekspres, 20 Desember 2009
            Pudin duduk di batu besar. Di bukit yang tinggi ia memandang curam yang dalam. Sangat dalam hingga ia hanya mampu memandang tebing-tebing rimbun. Tak mampu matanya memasuki celah daun kayu yang merapat. Tak mampu matanya memasuki celah batang tembarau. Hanya rapatnya saja. Ya, hanya rapatnya saja yang mampu ia tangkap. Tapi di antara kayu dan dan tembarau rimbun tidak ia temukan ada talang. Tidak ia temukan yang demikian. Hanya ada rinju, batang kasia, kayu kalek, kulit manis, daun pimpiang sepanjang ujung tebing, batang bodi, kayu sianik, tembarau buto. Entah apalagi. Tak mampu ia menghitungnya satu-satu, tak mampu membaca nama-nama. Entah sampai pada nama yang mana lagi.
            Pudin tarik nafas panjang segaris dengan kumisnya yang sudah mulai tumbuh satu-satu. Ia tarik pula ujung kain sarungnya yang dililit di pinggang terjuntai ke atas batu. “Kemana lagi aku kan mencari talang,” katanya. “Sudah kulakukan amanat emak tapi tak kutemukan talang lagi di rimba ini.”
            Pudin pandang jauh di lembah. Telah betapa berdiri rumah emak di tengah kampung. Rumah yang beratap seng usang itu menampakkan kusamnya pada langit senja. Betapa pula pongahnya tebing ini menatap rumah emak setiap pagi, sore, malam. Betapa pula Pudin ingin meninggalkan tebing ini. Tapi tak sanggup ia tinggalkan tebing.
            Ngiang kata emak ngiang kata yang tak mampu untuk tidak dilakukan Pudin.
“Kau cari Talang di Garogok. Kalau tidak kau temukan Din, kau cari talang di Parak Dalam. Kalau tidak juga kau temukan, kau cari talang ke bukit Kandang Kudo. Kalau tidak juga kau temukan Din, kau cari talang ke Tanah Kuniang. Kalau tidak juga kau temukan kau cari talang di Anak Ayiah. Biasanya sepanjang sungai Anak Ayiah banyak talang yang berjejeran. Emak telah melihat tiga tahun yang lalu, sebelum emak tidak lagi berkenan ke ladang.”
Betapa Pudin berhiba hati. Kalau pulangnya pulang tangan yang kosong. Betapa pulang pudin, pulang yang lengang, emak kan kecewa kalau Pudin pas tiba di halaman tidak ada potongan talang di kepalanya. Betapa pula emak hanya akan mereguk air liur melihat Etek Gadih (adik emak), etek Niah (adik emak yang pertama), etek Radiah (kakak tertua emak), ibu Idah (kakek kedua ibu) memasak lemang. Mereka sudah membeli talang di pasar. Tapi emak dengan apa mau membelinya. Rumah ini saja sudah rumah peninggalan Uo (Nenek). Untung masih layak pakai, masih bisa ditempati emak.
Benar pula kakak-kakak dan adik-adik emak tidak akan melupakan emak. Benar saja mereka kan membagi lamang, paniaram, kue loyang, putu bakar, kue putih, kue bawang, kue durian. Tapi apa jadinya kalau hanya mereka yang membagikan anekan masakan tradisional. Ingin pula emak membagikan barang sesuatu kepada saudara-saudara emak. Untung masih ada beras ketam yang dapatlah dibeli dari pencaharian pudin bekerja di ladang orang. Sebab itulah emak hendak berniat memasak seruas dua ruas lamang.
Dapat jugalah kiranya nanti. Ada yang bisa dihidangkan kalau kakak-kakak dan adik-adik emak datang. Mungkin lamang talang tidaklah seberapa. Tapi lepas jugalah rasa tanya yang bisa-bisa saja datang. Ya, betapa emak hendak membuat lamang, sebab itulah Pudin di suruh emak mencari talang ke rimba, ladang-ladang berimbun hutan.
Betapa pula kan terasa berat air mata emak setiba Pudin di rumah. Pudin yang pulang malenggang.Takkan sangguplah Pudin melihat kulit emak yang kisut harus dialiri airmata. Betapa pula tubuh kisut kan merasa malu tuk keluar dari bilik kayu tuanya, bilik kayu yang dahulu menjadi milik Uo dan uek (kakek) . Tentu kan semakin tidak tega Pudin melihat kalau-kalau tubuh emak jatuh sakit. Sakit yang panjang, seperti sakit yang emak rasakan saat ini.
Emak dahulu perempuan peladang yang tangguh. Di setiap paginya emak sudah berangkat ke puncak­––Tebing tinggi ladang kampung. Di atasnya daratan rimba yang datar. Di atasnya pula ladang-ladang markisah yang terhampar luas. Telah pula pondok-pondok beratap ilalang, berdinding kayu, kadang berdinding tembarau (sejenis bambu kecil sebesar ibu jempol jari tangan)––meneruka ladang. Emak bawa setabung air kopi dengan dua, tiga rebusan ubi jalar. Telah pula tidak lupa tali pengikat kayu di ladang. ‘Kan emak junjung pulang ranting kayu di rimba di atas kepala emak. Telah pula tidak lupa emak bawa kain panjang pengganti singgulung di kepalanya. Ya, begitulah emak, perempuan tangguh.
Begitu pula ketika hari besar bulan baik. Setiap datang acara malamang, emak tidaklah takut tidak punya uang pembeli talang di pasar Bukit Sileh. Emak tidak mesti pula meminta kepada saudara emak. Cukuplah emak dan abak membawa parang ke rimba. Emak cari talang yang besar.
Emak dan abak jadi perempuan dan lelaki tangguh. Tentunya Pudin tidaklah seumuran enam belasan sekarang. Pudin waktu itu hanya anak SD yang baru menginjak kelas duaan. Tiadalah mau emak dan abak mengajak Pudin ke ladang kalaulah abak dan emak harus masuk rimba yang dalam.
Tentu pula talang tidaklah sesulit sekarang. Ketika perempuan tangguh emak, sedikit masuk ke tanah Garogok, banyaklah talang nan berjajar rimbun, meliuk-liuk tangkainya, meliuk-liuk batangnya. Berbunyi gemericit bunyi tangkainya ketika bertemu dengan batang talangnya lainnya. Begitu pula sedikit masuk bukit Kandang Kudo yang memang melewati bukit, menurini lembah, menaiki bukit,  menuruni lembah. Begitu banyak talang-talang besar. Sepuas hati mengambil maka tak lebih dari setitik air yang hilang dari secangkir air di gelas. Begitu ramai, begitu rimbun. Begitu pula kalau memasuki lembah di bukit Anak Ayiah. Sepanjang bantiran sungai menuju hilir, isinya hanyalah talang. Pandang juga, lihat jugalah talang yang berayun ke sana sini di lambai angin.
 Hari baik bulan baik, jadilah emak malamang. Betapa sumringah emak, ketika talang terjarang[1] di hamparan bara api. Begitu pula emak tersenyum saat nantinya saudara emak dan saudara bapak datang. Ada jugalah yang bisa dihidangkan. Agak sekerat dua kerat lamang. Maka amak dan abak banyak tersenyum jika bulan baik hari baik.
Saat orang-orang datang ke pintu tangga maka dari atas rumah berani jugalah emak mengatakan, “Naiklah Bujang. Mamakmu sudah menunggu di atas rumah.”, “Naiklah Gindo, hendak bercakaplah kamu dengan Udamu. Dia sudah berada di dalam sedang minum kopi dengan bujang, kemenakanmu.”, “Naiklah Niah, bawa anak-anakmu masuk ke dalam.”, “Naiklah Uni Radiah. Kami sudah menunggu-nunggu Uni dari tadi.” Ya, begitu ringan untuk mengucapkannya, begitu lapang terasa di dada.     
Tapi kini emak, emak yang mendekam diam.  Emak yang hanya bisa duduk bergeser dari pintu kamar ke pintu kamar, sesekali duduk di atas jenjang. Sesekali menjulurkan kepala di jendela kayu yang bisa saja dibuka lebar-lebar. Emak tidak lagi perempuan tangguh. Ayah! Ayah tidak lagi laki-laki dunia. Ayah laki-laki akhirat. Ayah telah pulang. Kini emak menjadi perempuan tanggung lebam. Mengingat kenangan hanya mengulur air ludah. Jatuh jugalah ke dalam akhirnya.
Masih dapat di kenang, masih dapat disisih kejadian naas. Bagaimana ayah pergi. Bagaimana emak ditinggal. Ayah pergi, emak jadi seperti orang mati. Hidup segan mati tak mau. Tapi untunglah nasib masih berpihak pada emak. Ada jugalah kesembuhan. Akhirnya emak dengan Pudin lah ia kembali berbagi hidup. Telah pula ia curahkan kasih sayang untuk si Pudin simatawayang.
***
Pudin mengambil nafas di atas batu yang letaknya pas di tebing curam. “Coba ayah masih hidup,” kata Pudin. “Tidaklah seperti ini mestinya. Dapat jugalah talang palamang.” Ya, Pudin ingat-ingat cerita emak, cerita kenangan silam abak. Pudin lingkarkan jemari tangannya mempertemukan ibu jari bersama ibu jari, telunjuk dengan telunjuk. Ia pandang ke lingkaran daun bodi terbalik di lingkaran jemarinya. Begitu nyata gambaran rumah emak yang sudah hampir roboh. Begitu nyata pula asap-asap di halaman. Di rumah orang sudah mulai menjarang lamang. Beririt matanya dari ujung selatan sampai ujung utara, begitu pula beririt asap mengepul tinggi. Seperti perlombaan saja. Tapi nyatanya ini bukanlah perlombaan.
Sedih jugalah hati Pudin ketika matanya bertemu di titik tengah antara perkampungan selatan dan timur. Tidak adalah asap di rumah itu. Tidaklah ada tanda-tanda ada kehidupan di jendela itu. Itulah rumah emak pudin, dilingkari batang kulit manis, batang silincuang dua tinggi menjulang di halaman.
“Emak, hendak kemana kucari talang. Tak kutemu ujung dan pangkal tanda kehidupan talang. Hendak kemana kucari talang Garogok, Anak Ayiah, Parak Dalam yang kehilangan,” kata Pudin bersinandung, senandung yang sebenarnya isi hatinya. Betapa pilu apabila ada orang yang memperdengankannya.
“Emak yang malang,” kata Pudin. Sekali ia pandang jauh di belakang Pudin. Pandang gunung Talang yang pucuknya dilingkari kabut. Berada di kampung sendiri terasing dengan talang nan jolang. Kini pudin diapit malang yang tak untung. Emak juga kan diapit malang yang tak untung.
***
            Abak meninggalkan emak sebab abak tak pulang-pulang. Cerita ini telah tersiar di kampung Pudin. Bukan rahasia pribadai lagi, ini sudah rahasia umum. Siang itu siang dua sebelum lebaran. Abak pergi ke ladang tuk mencari talang. Lamang memanggil, maka seperti kebiasaan yang sudah-sudah abak dan emak mencari talang. Tapi emak sedang sakit yang membawa demam. Tak ikutlah emak dengan abak mencari talang. Abak sendirian membawa parang dengan sehelai kain sarung yang diselempangkan dilehernya.
            Ibu lepas abak dengan setabung air kopi, satu bungkus nasi dengan daun pisang. Berjalanlah abak ke rimba sendirian. Tapi entah kenapa sorenya abak tak pulang. Sudah mulai resah. Biasanya jam empat abak sudah sampai di rumah. Emak tunggu sampai malam, abak tidak juga pulang. Emak tunggu sampai besoknya abak juga tidak pulang. Emak sudah mulai rusuh. Sanak famili juga mulai ikut rusuh. Ributlah orang sekampung dengan kehilangan abak. Emak hanya menangis sepanjang hari.
Seminggu sesudah ketidakpulangan Abak, seorang berlari kencang dari jalan setapak jauh di depan rumah emak. Hampir saja orang itu terjatuh. Ia berlari menuju rumah emak. Sampai di halaman ia langsung masuk menerobos pintu depan.
“Etek, Aku menemukan Pak Etek tadi.”
“Benar Kau Salin. Dimana kau temukan Pak Etekmu?”
“Etek, malang benar nasib beliau. Pak Etek ditemukan oleh orang kampung kita sedang berada di bawah talang. Di sana sini potongan talang terjejer banyak. Talang-talang di garogok tumbang semua. Pak etek ditemukan sehabis robek di lehernya.”
“Salin, pak Etekmu, Salin....”
“Pak etek sudah tiada, Etek.”
Emak lansung jatuh. Siapa yang sanggup menerima. Siapa yang sanggup melihat abak yang bersimbah darah. Dari mulai itulah emak mulai lumpuh. Keadaannya di rumah semakin parah saja dengan kondisi yang tidak mau makan. Hampirlah Pudin menjadi anak yang terlantar.
Lambat-laun tahu jugalah orang, Abak mati karena mempertahan talang dari tangan-tangan tidak bertanggung jawab. Abak mati. Emak hidup dan mati. Untunglah nasib masih berpihak. Dapat jugalah keberadaan Pudin memulihkan emak. Lambat laun tertangkap jugalah orang yang telah membunuh abak. Tapi apa mau dibahas. Abak telah pergi. Tidak dapat kembali orang yang sudah pergi. Tapi seberpihak apa pun nasib, nasib tidak berpihak pada lumpuh emak. Emak tetap saja emak yang tak lagi bisa kemana-mana. Dari bantuan sanak famili lah emak dan Pudin dapat bertahan hidup. Tapi setelah Pudin tahu benar dan salah, sudah pandai meneruka ke ladang orang, maka Pudin lah yabng menjadi tulang punggung emak.
Setiap datang hari lebaran. Pudin lah yang menggantikan pekerjaan abak mencari talang. Tentunya Pudin masih bisa menemukan talang yang berjejer sepanjang Anak Ayiah. Kalaulah Pudin ada teman yang mau diajak ke rimba, maka tidak segan-segan pula Pudin hendak pergi ke Bukit Kandang Kudo. Talang di sana besar-besar. Sekali bawa dapatlah muka yang cewang. Betapa bahagia emak. Betapa pula selalu sumringah walau lumpuh menghentikan langkahnya.
Tapi kini. Tidak ada lagi talang di Garogok, tidak ada lagi talang di bukit Kandang Kudo, tidak ada lagi talang di Anak Ayiah. Talang punah. Begitulah kesan yang bisa dikatakan. Siapa yang telah memangkas habis talang? Pudin tidak dapat menjawabnya. Talang di ladang sudah sering diselundupkan untuk kepentingan luar sana. Garogok, Bukit Kandang Kudo, Parak Dalam, Anak Ayiah. Kesucian talang yang sudah gersang.
Pudin hanya menemukan bukit-bukit yang hilang pesona. Dahulu ia temukan dua, tiga burung daun bertenggger di ranting talang. Dahulu ia temukan bunyi dengan siuh talang yang ditiup angin. Betapa pula ia bunyikan suara dari daun talang. Tapi kini, Ah, sudahlah.
***
            “Emak, maafkan aku Emak. Telah ranggas talang di ladang. Telah hilang lambai nyiur daun talang. Tidak ada yang bisa kubawakan barang sepotong talang untuk Emak.” Pudin tatap langit nan tinggi. Begitu cewang langit ini. Tapi jelaslah tidak cewang langit di hati Pudin.
Pudin hafal ngiang kata emak. “Kau cari Talang di Garogok. Kalau tidak kau temukan Din, kau cari talang di Parak Dalam. Kalau tidak juga kau temukan, kau cari talang ke Bukit Kandang Kudo. Kalau tidak juga kau temukan Din, kau cari talang ke Tanah Kuniang. Kalau tidak juga kau temukan kau cari talang di Anak Ayiah. Biasanya sepanjang sungai Anak Ayiah banyak talang yang berjejeran. Emak telah melihat tiga tahun yang lalu, sebelum emak tidak lagi berkenan ke ladang.”
Pudin tarik nafas panjang. Ia lepaskan. Kembali ia tarik. Ia lepaskan lagi. Di curam yang dalam rumah Emak masih belum berasap. Besok sudah mau lebaran. Ya, betapa emak merindukan Pudin membawa talang pulang dari rimba.
Pudin dari batu besar memandang senja, sebentar lagi matahari di ujung barat kembali menyeruap masuk punggung gunung Talang. Betapa pudin melangkah lagi, Masuk ke rimba dalam.
“Emak kan kucoba juga cari talang lebih dalam ke rimba ini. Mungkin di Bukit Lampuang ‘kan kutemukan. Ataukah talang ada di Rimbo Data, ataukah ia sampai pada jarak terjauh di Tanjuang Balik?” Mulailah pudin kembali masuk ke rimba yang dalam.
Di rumah emak menunggu, tapi sampai malam belum juga terngiang wajah Pudin menuruni jalan setapak jauh di depan rumah ini. Emak masih menunggu sampai tengah malam. Pudin tidak datang. Emak terus menunggu. Pudin juga belum datang. Berhari, berminggu, berbulan, bertahun emak terus menunggu.***


[1] Terjarang bearti lamang dimasak di atas perapian kayu, lamang biasanya dibuat berjajar panjang, sedang dibawanya bara api.
Lebih baru Lebih lama