Kurungan Mindset

Oleh Alizar Tanjung
Terbit 19 Januari di Singgalang 2014
 
Senja itu hujan tidak turun seperti tiga hari sebelumnya yang menimbulkan banjir di jalan masuk kontrakan saya. Rumah kontrakan saya masih sepi. Saya menunggu-nunggu pemberitahun agenda rapat yang telah saya pesankan kepada staf saya. Sampai jam 5 sore, tidak ada pemberitahuan agenda rapatnya yang seharusnya sudah dimulai semenjak jam 4. Kaca-kaca rumah sunyi, nyamuk-nyamuk semakin sore semakin banyak, saya tertidur di kursi kayu di altar rumah sambil menunggu pemberitahuan rapat. Tetapi konfirmasi yang saya harapkan benar-benar menunggu detak bunyi jam dari kejauhan. Benar-benar tidak ada terdengar.
Jam setengah enam ketika saya menulis sajak di depan komputer di dalam kamar “rumahkayu”, staf saya datang ke kamar menyibakkan gorden pintu, berdiri mematung dengan memakai handuk tanpa baju yang membuat saya langsung berkomentar spontan dengan citra negatif, “Tidak jadi rapatnya habis asar.” “Hari yang asing itu” muncul dalam kepala saya yang membuat sila duduk saya mematung mendengar jawaban, “kami baru selesai rapat” dan pertanyaan itu menyesak ke dalam dada saya kenapa rapatnya tidak ada konfirmasi ulang, pertanyaan yang kemudian melontar dari mulut saya. Kejadian di kamar “rumahkayu” saya membuat benang asing sepanjang magrib sampai isya, bolak-balik di antara kursi coklat padam yang sudah robek-robek benangnya dengan pikiran yang tidak tenang. Ketika saya menghadap komputer denngan CPU di sebelah kanan yang diduduki printer, dinding di sebelah kiri dengan sebuah tas tersandar, tumpukan-tumpukan kertas di sepanjang kamar saya, nyamuk-nyamuk yang membuat tangan saya bengkak-bengkak karena gigitannya, saya sedang memikirkan hal fatal yang saya lakukan.
Saya merenungkan tentang apa yang telah saya katakan kepada staf yang telah menjadi pantulan dari buah pikiran saya semenjak selesai berbicara citra negatif. Apa yang telah saya katakan telah memberikan pengaruh yang besar dalam waktu singkat. Pikiran itu telah menghantui kepala saya semenjak saya selesai mengucapkan “kenapa tidak ada konfirmasi kepada saya?”
Saya terdiam beberapa saat di kursi ruang tamu memikirkan tentang apa yang sudah saya katakan. Tentang pikiran-pikiran nyleneh yang muncul dengan nyeletup. Saya tahu bahwa kesalahan komunikasi saya telah mendatangkan resiko besar yang berbarengan dengan cara berfikir yang lebih matang. Staf (yang satu kontrakan dengan saya) sambil bernyanyi masuk ke dalam kamar yang persis terletak di depan ruang tamu sambil, “seseorang yang tidak mau menerima masukan dari orang lain tidak akan berkembang dengan baik.” Hal ini menjadi persoalan yang juga menjadi renungan dalam kepala saya. Antara saya dan perkataan “menerima”, antara saya dan pemberian “kepercayaan” terhadap staf. Persoalannya adalah saya percaya atau tidak terhadap bawahan. Maka masalahnya terletak pada kepercayaan saya terhadap staf. Kemudian kesiapan saya terhadap segala resiko yang saya ketahui dan yang tidak saya ketahui walaupun saya mengetahui bahwa resiko dan peluang besar satu arah. Tidak akan muncul peluang besar tanpa resiko besar. Tidak akan muncul pemimpin besar tanpa menghadapi masalah-masalah besar. Tidak akan muncul ketenangan tanpa melewati berbagai pikiran ketidak-tenangan. Semuanya berbanding lurus.
Hal yang lain yang menjadi perenungan saya, sifat ego saya telah mengalahkan sifat tenang yang saya tanamkan dalam diri saya. Ternyata ego adalah ular yang menelan gajah seperti ungkapan John Naisbitt dalam bukunya “Mind Set!” di halaman 11 pada prologbukuKetika pikiran saya tidak terkontrol dia menjadi ular liar yang menasihati saya. “Tidak semua hal harus dilontarkan tetapi harus direnungkan.” Seperti yang dituliskan Putu Setia dalam tulisannya di Harian Minggu Tempo 27 Mei 2012 tentang “Komunikasi” komunikasi antara daerah dan nasional yang tidak nyambung, solusi dikatakan sebagai pemberontakan. Hal yang kemudian menjadi hasil renungan saya, komunikasi antara pimpinan dan bawahan yang tidak tenang menimbulkan dampak negatif besar dalam waktu singkat. Hingga penyelesaiannya membutuhkan positif thingking yang terbuka. Maksud saya sudah seharusnya saya kembali dalam waktu singkat mencairkan komunikasi yang refresh.
Jika saya berfikir bawah staf saya telah menguasai saya maka segala informasi yang muncul adalah tentang ketakutan setiap bawahan menguasai saya. Padahal bawahan saya tidak melakukan apa yang saya pikiran itu. Sehingga hantu dalam kepala saya berkembang dengan pesat, menjadi jin-jin liar yang akan menguasai sel syaraf saya. Hal ini yang harus saya buang baik-baik bahwa staf saya bukan orang buruk, staf saya orang baik, dan saya harus siap untuk terus memberikan yang terbaik. Siap dengan segala resiko yang kapan pun dapat muncul meski dalam keadaan aman. Sebab aman sangat dekat dengan hancur seperti dekatnya ibu jari dengan telunjuk, setiap saat melakukan kontak, setiap saat merasa nyaman, setiap saat merasa terancam sebab ibu jempol main oke, telunjuk main tanda seru.
Persoalan antara saya dan pemerintah seperti persoalan antara sebatang tomat dengan buah. Pemerintah adalah sebatang tomat dan saya adalah buah. Kalau sebatang tomat telah berfikir bahwa buahnya akan busuk, maka yang akan terjadi memang buah tomat yang membusuk, sebab mindsetnya telah dirancang dari awal. Persoalan pemerintah dengan pemerintahan-pemerintahan kecil di bawahnya juga seperti persoalan saya dengan staf saya. Hal ini yang menjadi ciri mendasar yang mesti dipatahkan oleh pemerintah. Mengubah tentang mindset negatif kepada mindset posirif, seperti membentuk kutub positif dari kutub negatif. Tidak ada kutub positif tanpa ada kutub negatif.
Saya menjamin Indonesia akan tetap menjadi negara berkembang yang penuh korupsi, kolusi, nepotisme, seratus tahun ke depan kalau aparat pemerintah, para kritikus ekonomi, politik, budayawan, masih berfikir dengan cara yang negatif: Indonesia itu miskin, Indonesia itu penuh konflik, Indonesia itu sarang koruptor, Indonesia itu diisi dengan penguasa-penguasa manifes kekuasaan, hingga sibuk dengan mencari-cari kesalahan. Sebaliknya saya menjamin dengan kacamata saya Indonesia itu akan menjadi negara maju dalam 10 tahun ke depan kalau pemerintah dan orang-orang di dalamnya mengubah mindset berfikir dengan citra positif. Indonesia akan maju dalam waktu yang singkat. Sebab negara maju bukan ditentukan dari perubahan besar apa yang harus dilakukan di negara itu, tetapi dari bagaimana cara mengembangkan sesuatu yang konstan. Petani yang menggunakan teknologi canggih tetap dinamakan petani. Petani yang menggunakan cara tradisional tetap dinamakan petani. Bedanya hanyalah persoalan cara yang dikembangkan dalam pertanian, sehingga pertanian dengan tekonologi lebih maju dan berkembang pesat daripada cara yang tradisional. Sebuah negara besar seperti petani. Konsep perubahan besar-besaran adalah bagian dari kebohongan penguasa global, sebab perubahan besar-besaran tidak lebih dari fesyen sesaat yang sewaktu-waktu menghilang. Sedang. “Hati-hati, hanya karena masa depan tertanam di masa kini bukan bearti segal hal akan diproyeksikan ke masa depan,” tulis John Naisbitt dalam bukunya Mindset[]


Lebih baru Lebih lama