Aku Kupu-kupu Coklat

Cerpen Alizar Tanjung
Terbit di Annida

           
Aku mengepakkan sayap coklat. Melawati malam memejamkan mataku di tonggal listrik, di bawah lampu jalan sungguh menjemukan. Pengembaraan yang seharusnya tak terjadi harus dimulai.
            Aku tak tahu apa benar apa salah kedatanganku ke kota manusia, ke kota orang sibuk, ke kota orang mati, ke kota budak manusia. Entah kota yang mana yang sedang kudatangi pada pagi ini, saat embun belum turun dari dedaunan, saat kokok ayam belum lama  berhenti, saat pagi masih menyisakan dingin di sayapku.
            Di kota ini aku menemui banyak gedung bercakar langit, seperti kota-kota lain yang sudah kudatangi. Di bawahnya pohon-pohon palem sepanjang badan jalan, ada yang kecil, ada yang menengah, ada yang  besar. Pohon palem itu sengaja cap putih menindihnya. Di dalam taman gedung cukup tersedia ruang kosong. Taman-taman kecil yang didesain sempurna. Barangkali ahli eropa yang melakukan. Tak kalahnya kolam renang biru langit juga tersedia setiap aku bertemu gedung-gedung bercakar langit.
            Di kota ini juga aku  menemukan mobil-mobil mengkilat berbagai merek dan corak; warna hitam, metalic hitam, silver, blue. Semuanya barang mahal yang didatangkan dari negeri-negeri terkenal. Bukan dari negeri ini. Tak kutemui pabrik milik sendiri yang mampu menghasilkan mobil secanggih––,barangkali kalau ada hanya sepersepuluh canggih dari mobil-mobil itu. Tapi. Ah, hampir aku menumbruk kaca spion mobil metalic hitam. Kumpulan mobil yang aku ceritakan. Aku mengitari mobil itu dari ujung kepala sampai ke ujung kepala berulang kali. Kukepakkan sayapku bewarna coklat puluhan kali, ratusan kali, bahkan ribuan kali. Aku bersyukur Tuhan memberikan warna coklat, kalau aku ungu, hijau, kuning di kota ini tentulah aku ditangkap boca kecil. Aku dianggap sangat imut, manis dan menggelikan.
            Anak kecil yang sedang duduk dalam mobil itu akan sadar langsung, melihatku yang bewarna cerah. Sungguh, aku tak mau ditopleskan walau di rumah bertingkat sekalipun di sekelilingnya ada taman. Bagiku hidup adalah kebebasan, kebebasan berapresiasi, kebebasan berkreasi. Aku beruntung menjadi kupu-kupu coklat, bukan sejak lahir pastinya
Di kota ini aku juga menemukan selokan-selokan kumuh, sampah-sampah plastik lupa didaur ulang, batok-batok kelapa mengapung berkecambah, semak-semak belukar sepanjang bantaran kali. Kali memang sangat kumal, ingin rasanya menutup hidung, bagaimana caranya, aku seekor kupu-kupu.
Aku meleset terbang sepanjang hiliran kali, perlahan kukepakkan sayap, kini lebih lincah. Cahaya matahari sudah dingin di kedu sayapku. Di hiliran kali aku melihat ibu-ibu sedang mencuci baju kemeja, celana panjang, kain samping, rok mini,. Mungkin kota hanya menyediakan ini bagi mereka.
***
Sungguh sebab mengapa sayapku bewarna coklat, sebab mengapa aku sampai di kota orang mati. Bukankah tempatku di hutan belantara sana? Tempat di mana kupu-kupu kuning berbintik-bintik hitam di kedua sayapnya mersemayam. Tempat kupu-kupu hijau  bercampur biru melingkar dengan titik hitam, serupa setetes air di kedua sayapnya Tempat kupu-kupu ungu bermata putih dengan lingkaran hitam di kedua sayapnya. Padanya garis-garis memanjang bewarna hitam putih. Itulah hendak kukisahkan
Dahulu aku beranak istri di hutan sana. Anak bersayap hijau dengan mata hitam berbintik putih di kedua sayapnya. Garis-garis merah sepanjang tepi. Istriku bersayap kuning bermata putih dilingakari warna hitam tipis. Aku kupu-kupu beruntung bewarna hijau yang kuwariskan ke anakku.
Aku banyak saudara di sana. Kami puluhan, kami ratusan, kami ribuan, kami jutaan. Terbang dari satu pohon ke pohon, dari satu dahan ke dahan. Dan yang paling kami suka dari satu bunga ke bunga. Kami akan  berbahagia berbagi madu. Bunga juga tidak kami rugikan. Kami membantu penyerbukkannya dari satu bunga ke bunga. Kaki-kaki mungil kami, mulut-mulut kami juga melakukannya. Tapi entah bingal? Entah kami terseret di tanah kelahiran. Barangkali terlalu kejam, atau lebih tepatnya penganiayaan. Bukankah kami makhluk Tuhan? Bukankah kami punya manfaat? Setiap yang diciptakan tiada yang sia-sia, namun siapa mendengar ucapan penderitaan. Aku hanya bangsa kupu-kupu, juga mereka saudaraku. Barangkali memang bingal, yang jelas bukan kami.
“Apakah mereka tak punya lahan, Mas,” tanya istriku sehabis bangkit dari tidur  di balik daun kelapa. Brisikkan mesin membangunkannya. Aku tahu istriku marah. Sebagai pasangan aku mengenalnya, walau bangsa kami sering gonta-ganti pasangan, tapi tidak bagi kami.
”Mereka punya lahan, Ma. Luas lagi.”
“Lalu kenapa mereka bingal?”
“Mereka hanya mencari kesenangan,  kesenangan seperti kita.”
“Kesenangan seperti apa yang Mas maksud. Kesenangan mereka mengganggu kesenangan kita! kesenangan mereka meluluhkan tanah lahir kita!”
            “Jangan buruk sangka, Ma dan ki….” Aku terbang mendekati istriku, mengajak ke dalam bunga, mencari madu. Tapi. Ah. Dia sudah memotong kataku.
            “Siapa yang buruk sangka. Mereka buas sudah fakta. Mereka tak pernah puas dengan jerit kita. Mereka tak mengenal sosial tapi katanya mereka orang yang bersosial.”
            “Maaama!”
Siapa yang tidak kecewa, tidak sedih, tidak menangis kalau tanah lahirnya harus diusik. Dengan alasan apa mesin-mesin itu masuk ke negeri kami? Mesin tanpa akal yang dijalankan makhluk berakal. Haruskah ini penitikkan bahwa kami harus angkat kaki dari rumah sendiri? Rumah yang juga dihunyi oleh para  beruang madu, beruang bermoncong putih, simpai kuning, kera berbuntut lebar. Semua serupa petasan yang mengangkasa ke langit kelam.  Perbuatan yang menyisakan bahwa air mata itu kering.
            Mesin itu meluluh lantakkan pohon-pohon, bunga-bunga tempat kami mencari madu, daun-daun tempat kami bernaung di malam sunyi, di malam di mana kami mendengar sajak-sajak jangkrik, sajak-sajak ayam di waktu fajar. Malam pada akhinya berubah kebisingan. Tak ada sahabat yang melantunkan sajak. Semua kami harus terbirit-birit menghindari kekerasan yang tak lebih adalah  penjajahan. Perbudakkan dari orang-orang berakal katanya juga berhati. Tentunya hanya orang-orang beruang yang yang mampu melakukan apa yang dilakukan.
            Mesin-mesin itu semakin jauh masuk ke negeri kami, negeri surga, negeri tempat bernaung kupu-kupu. Mesin itu mempunya rantai di kedua sisi matanya. Bunyinya memekakkan telinga, menjadikan negeri kami bagai negeri hantu. Di belakangnya mesin-mesin sebesar gajah punya moncong, punya sendok, berkaki melata.
            Kayu-kayu menjulang langit, roboh. Tak ada alasan mengapa kami, rumah kami, jasad kami harus ikut musnah. Padahal tak ada salah, tak pernah mengganggu manusia. Kayu-kayu hanya tinggal pangkal, bunga-bunga tak lagi pernah mekar. Mesin telah membuat kami menangis, sedang jasad kupu-kupu telah membuat kuburan sendiri di bawah rerimbunan daun runtuh, di bawah ranting, di bawah bunga tumbang. Mereka berkata kepadaku dalam batin.“Adakah ini sebuah penyerahan pada orang-orang kota mati? Kematian yang menyempurnakan kekekalan mereka. Kami hanya ingin hidup tenang berbagi kasih sayang, rindu dan pertualangan. Kami belum ingin mati masih ingin berlayar ke dunia yang dicipatakan Tuhan.  Kami makhluk Tuhan yang baik hati, dari ulat menjelma kepompong, dari kepompong menjelma kupu-kupu. Begitu kami menyucikan diri. Kupu-kupu hijau sampaikan pada orang-orang kota mati ‘kami dicipta untukmu’.” Benarkah mereka mau mendengar? Kami sedang berhubungan dengan orang mati, hanya sebuah kesia-saian. Barangkali dunia kami tak dihanggap menarik lagi.
            Aku benar-benar membiarkan air mata mengering jatuh ke tanah. Istriku terhimpit ranting kayu meranti, satu sayapnya terbanglah sudah, merintih kesakitan yang mengguncang bumi, keperihan yang selalu dikenang di mataku. Nafasnya yang terakhir pergi dari belaian sayapku.
            Aku memang tak cacat sedikitpun, kejadiannya saat aku berada di sungai. Anakku yang senada denganku juga mangkat bersama kupu-kupu lain. Hanya aku yang masih utuh di luar, di dalam remuk, di dalam ada kesedihan, di dalam ada dendam, di dalam ada benci.
            Kayu-kayu tumbang, merintih.,
            “Kupu-kupu hijau apakah itu rindu? Kami belum ingin pergi dari dunia ini. Kami  punya kenangan manis, punya kenangan pahit, punya air mata dalam serat batang-batang yang di dalamnya tersimpan bola-bola dunia. Bola dunia itu indah.
            Di negeri ini kami menemukan kupu-kupu yang terbang dari bunga ke bunga. Kami punya surga, tapi surga itu dilenyapkan oleh manusia. Kupu-kupu hijau selamatkan kami?”
            Benar! Benar! Benar, surga kita negeri hijau tumbang. Tak ada yang dapat aku selamatkan, hanya keping-keping kenangan yang lebih pahit dari bunga bangkai yang pernah kucicipi.
           Pada bulan-bulan yang datang silih berganti. Aku terbang dengan sayap setengah warna hijau mulai memudar, mengeling bekas-bekas kayu, bahwa di sini pernah ada surga, bahwa di sini aku mewariskan senada ke anakku. Semua itu tak lagi kutemui. Hanya ada cerobong-cerobong mengeluarkan asap. Terdengar jeritan tanah yang dikupas, dibumi ratakan.
            “Tuhan aku rindu engkau, rindu kasih sayangmu, rindu cintamu, jangan biarkan orang-orang kota mati meluluh-lantakkan kami. Tuhan atom yang mengandung proton, neutron, elektron dalam tubuh kami tak lagi bergerak menurut apa yang Kau kehendaki, manusia telah mengingkari keberadaan kami.”
            Sayapku tak lagi hijau mudah, coklat tua yang sudah membayang dengan gurat kepasrahan di tubuhku. Warna asap itu telah mengubahku, telah melunturkan warna muda, mungkin takkan pernah tercicipi lagi. Sedang negeriku gundul senada dengan warna yang kuwarisi, menyisakan kepasrahan, ketidakberdayaan. Bahwa suatu cerita rindu lama akan dikubur. Sempuna sudah metamorfosisku, sayap coklat bertitik hitam lingkarab putih serupa mata di kanan kiri.
***
Keberadaan sayapku bewarna coklat di kota manusia, di kota orang mati harus kusukuri. Hanya dengan begini aku bisa beradaptasi, terbuang dari negeri sendiri.
Aku meleset terbang semakin menyusuri kali. baunya yang menyisakan amis sangat mengerikan dari kota mati, sedangkan  di tepi kali rumah-rumah bertiang kayu menjorok kesungai layaknya selat. Agak ke tengah berjajar rumah-rumah pembuangan limbah perut. Aku mendekat mencoba mencari mungkin di sana bertengger madu. Hampir saja sayap gelapku ditimpa tinja salah satu pembuangan berdinding terpal oreng lusuh. Aku terperanjat ke sudut sungai, sayapku basah.
***
            Sudah sebulan di kota yang penuh susah, sudah sebulan tak lagi memilikki tempat di negeri kupu-kupu, sudah seminggu hujan mengguyur tanpa henti. Semua harus ditanggung bukan oleh segelintir orang, bukan oleh orang-orang yang kehilangan hati, orang yang tak tahu menahu ikut merengguk akibat.
            Galodo datang dari bukit melewati tebing, melewati bebatuan. Bunyinya gemuruh menggetarkan anak telinga, masuk ke ruang yang berbentuk siput. Galodo itu semakin dekat dengan pandangan mata orang-orang kota mati. Di dalam galodo, kayu-kayu setengah meranggas, patah bergulum ke hilir sungai. Puing-puing rumah sudah jadi kapas dengan perahu seng berair coklat. Galodo menghanyutkan pohon-pohon palem, bergulum ke kolam-kolam gedung bercakar langit, kerumah-rumah bertingkat yang menyimpan mobil kehilangan manfaat.
Negeri kami negeri kupu-kupu sudah kehabisab sabar. Bukit-bukit gundul, tak ada kayu mudah, tak ada kayu kenari, kalek, meranti. Tak ada akar-akar yang menahan air mengalir ke hilir.
Sekarang aku tak lagi punya tempat di kota mati. Sayap coklat barangkali berubah jadi biru laut. Di laut ada tempat luas, sayang aku sudah terburu meletakkan nafas. Sebatang pohon palem bersedia bergulum denganku.*
Lebih baru Lebih lama