Bola Mata Bocah Kecil

Oleh Alizar Tanjung
Terbit di Singgalang

            Hidup takkan berhenti serupa hayat yang menyerup di lukisan ini. Pandanglah ia. Kalau kau berani, kau kan menemukan bocah kecil, serupa aku menemukannya di pameran ini. Maka sewaktu-waktu kau harus menjelma serupa aku yang menyelam ke dalam bola matanya. Itu hanya sebahagian kisah. Sedikit yang perih dari sisa hidup. 
            Di ruangan pagelaran ini. Aku menangkap bola mata, menatap lama sebuah gambar di dinding sebelah utara. Tatapannya padaku bahwa kemarahannya bukanlah untuk dinikmati. Apalagi oleh aku yang tak tahu menahu pembuat lukisan kanvas ini, sebenarnya. Namanya yang ada di sudut kanan bawah hanyalah sebagai simbol. Bukankah kalau hanya sekedar nama, tanpa melihat wajah yang menyimpan dunia di kedua bola matanya, bearti aku sama saja sebagai penikmat lukisan yang belajar menjadi semu?
            Kuiringi alis mata tipis yang melingkari bola mata bocah kecil. Bagaimanapun dalamnya lukisan mengambarkan keperihan pembuatnya. Keperihan itu ia tumpangkan pada bola mata bocah kecil yang duduk jongkok, menyerahkan dada pada saudara di depannya. Mata itu sedang menantangku. Dia bergerak layaknya mata orang yang bernafas. Aku dapat dengan jelas menangkap garis-garis merah di bagian warna putih.  Kemudian secara perlahan bola mata bocah kecil keluar dari tengkorak,  melayang masuk ke bola mataku yang coklat bercampur hitam. Di dalam mataku bola mata bocah kecil mengajukan permintaan, permintaan yang tak mampu aku penuhi seumur hidupku. Hanya dengan keterpaksaan semua itu berlaku. Dia berhasrat sekali aku setuju dengan kehendak, seperti meminta langit untuk dibungkuskan di pangkuan bocah kecil.
            “Kau sudah merampasku, dasar pecundang! ” Katanya. Mata itu bergumam. Kata yang pertama muncul bagai akrobat.
            “K…k…ka…kau siapa?” Aku tak dapat menyimpan kekagetan.
“Kau sudah merampasku.” Dengan bentakkan yang hampir sama.
“Ti…ti…tidak! Mana mungkin itu kulakukan.” Aku masih terpana.
            “Kau sudah menangkapku dengan kedua bola matamu untuk terlepas dari ruang di kedua mata bolong bocah kecil,” ujarnya.
Bocah kecil itu kini matanya kosong, tanpa cahaya atau warna coklat berbintik hitam pekat. Dari lobang mata kecil, aku dapat menangkap bahwa darah segar baru saja mengalir dengan mencret, seperti membuka sebuah air kram yang ditembakkan ke atas. memercik ke boca kecil, saudaranya yang asyik menjahit dada bocah kecil lepas dada. Kini boca kecil di depannya bermandi darah yang merobah tubuh telanjang tanpa sehelai benang bagai baru keluar dari kubangan.
            “Kau harus bertanggungjawab,” katanya lagi
            “Atas kesalahan apa?” Jawabku
            “Kesalahanmu telah menatapku dalam-dalam, bahwa aku adalah mata yang menyimpan sunyi. Kesunyian yang hanya dapat kutumpahkan ke bocah-bocah kecil. Kesunyian yang di dalamnya selalu tersimpan bekas genangan air mata lama mengering. Kesunyian yang juga menyimpan ciprakan rindu yang mendalam terhadap kekasih. Kesunyian itu kau bawa ke dalam bola matamu.”
            “Apa aku tidak boleh menatapmu?” Tanyaku.
            “Tidak!” Dia meninggi.
            “Atas dasar apa?” tanyaku lagi.
            “Atas dasar kesetian.” jawabnya
            “Kesetian apa maksudmu!” Aku penasaran.
            “Ia. Kesetian bahwa aku bahagia berada di bola mata bocah kecil. Di sana aku membangun rumah sunyi dan genangan rindu juga keperihan. Oleh sebab itulah kau harus memenuhi permintaanku.”
            “Maksudmu!”
            “Kau harus melepaskan bola matamu.”
            “Kau gila!”
Dua bola mata itu menari di bola mataku, bukan tarian Tari Payung lemah gemulai khas melayu, bukan tarian anak randai yang menabuh Endong Hitam ketika Putri Andam Suri ditinggal kekasih hendak ke rantau, bukan juga tarian dangdut dengan gaya yang dibawakan tahun 70-an, seperti Rhoma Irama yang berlari kecil di taman mengejar sang kekasih. Tarian itu adalah tarian setan. Bola mata bocah kecil melonjak-lonjak bagai pingpong dengan dahsyat. Matanya memberikan kemarahan dengan urat-urat yang meregang sepanjang pembuluh syaraf.
            “Kau harus menyerahkan dengan suka rela atau terpaksa. Kesakitanku terlepas dari bocah kecil tidaklah sebanding  dengan kesakitan yang akan kau rasakan. Aku sudah terlalu cinta dan rindu di sana hingga kau datang merampas.” Dia benar-benar tak punya perasaan.
            “Kau memang gila.” Kataku sambil berteriak.
            “Gila! Ha, ha, ha.”
Dua bola mata boca kecil itu bagaikan malaikat pencabut nyawa. Terbang sepanjang ruang yang jelas sah milikku.
            “Jangaaan!”
            “Hentikaaan! Ouh….hentikaaan!”
            Bola mata bocah kecil itu melepaskan urat-urat syaraf mataku. Mereka punya tangan serupa akar di bagian belakang, tangan itu bagai mencabut-cabut urat kayu. Tanpa ada rasa prihatin sedkitpun yang akan menyisakan kenangan manis di rongga mataku, sebelum bola-bola mataku terlepas dari tengkorak.
            Bola mataku benar-benar lepas. Darahnya menyemburat seperti halnya bocah kecil yang memandikan saudaranya. Hanya di mataku, aku tak menyimpan sunyi dan kepedihan.
            “Sakiiit!”
            Otot-ototku meregang. Semua tinggal gelap. Inikah sakitnya mati. Mati seperti kambing yang dikabarkan, kulitnya dikelupas hidup-hidup. Kematian yang dirasakan di bagian jasad.
            “Kembalikan bola mataku!” Aku meronta kesakitan.
            “Kau harusnya bersyukur.”
            Bola mataku dibawa ke dalam lukisan kanvas, berkumpul di lobang mata bocah kecil. Permintaannya kupenuhi dengan segala keterpaksaan. Tapi, ah, apa hubungannya dengan syukur? Atas dasar bagaimana harus disyukuri?
            Aku berada dalam gelap.
            “Bapak, Bapak,  bagaimana pendapat Bapak dengan lukisan ini?”
            “Oh, oh, yah!”
            “Dari sorot mata Bapak, Bapak tampaknya  sangat menikmati lukisan ini. Bagaimana kesan Bapak?” Seorang yang membawa kamera berlensa kekuatan tinggi bertanya dari arah samping kananku. Sambil memegang bahuku.  Mungkin sudah dari tadi bersamaku, hanya aku tak menyadari. Barangkali dia wartawan atau bisa saja sang pelukisnya sendiri dengan rambut gondrong, tubuh kekar kuning langsat.
Aku masih menatap lukisan bocah kecil. Tepatnya dua bocah yang memilikki mata-mata aneh. Pelukisnya sangat lihai dan pandai menghidupkan kisah, yang barangkali adalah pembenaran terhadap fakta kehidupan.
            Bola mata bocah kecil itu masih tetap pada tempatnya dengan guratan urat-urat syaraf memerah. Sedang satu lagi bocah kecil yang sedang jongkok asyik dengan jarum menjahit dada saudaranya.
            “Aku wartawan.” Dia berusaha meyakinkanku.
            “Ma’af.”
            “Gak apa-apa. Bagaimana menurut bapak?” Mendekatkan perekam suara yang diambil dari tas kecil di pinggangnya.
            “Sangat baik,” komentarku
            “Dari segi mana menurut bapak  sangat baik?”
            “Mata.”
            Tak dapat digambarkan dengan kata-kata. Sejauh mana penulis menghendaki pesan sampai kepada penikmat lukisan.
            “Hanya mata!”
            “Hanya.”
            Penulis juga sangat baik dari sudut pandang lain, sebab dialah yang menyatu dengan bola mata boca-bocah kecil. Penulis yang bersembunyi. Lukisan daun-daun mati yang dibelakangi boca-bocah kecil, sangat kental dengan aroma kehidupan yang sudah punah.
            Wartawan meninggalkanku. Aku maju ke depan meraba bagian dada yang dijahit serupa rajukan tali sepatu. Sangat halus terasa memang, paduan cat yang sesuai dengan keadaan gambar pada kehidupan nyata. Mencoba lebih mendekatkan mata. Ada gambar mata yang tersembunyi di antara hitamnya rajukan-rajukan benang. Kucoba untuk lebih mendekat, melihat fakta kepastian bahwa yang kulihat bukanlah praduga yang berlebihan, sebatas kehendak yang ingin dipenuhi atau memang sudah terlalu dalam menghayati sehingga timbul hal yang macam-macam.
            Kurabakan jari-jari kasar ke tumpukan benang yang berpintal tebal. Mata itu memandangku. Mata itu sayu, tak seperti bola mata di kepala bocah kecil.
            “Tak seharusnya kau mencari keberadaanku.” Dia juga pandai bicara. Mata itu mengerjap dengan kelopasan menjulai. Tak nampak urat-urat yang meregang. Ada air yang mengalir, mengaliri pelipisan bagian bawah yang memucat. Entah sudah berapa lama bendungan itu tak pernah kering.
            Mataku masuk ke ruangan dada mengitari mata satu. Di belakang mata itu urat-urat layuh, tak ditemukan setetes darah segar, hanya darah beku.
            “Ma’af.” Ucapku.
            “Kata ma’af tak berguna di sini. Kesalahan tetaplah sebuah kesalahan.” Ujarnya. Dia tidak menerima kedatangan mataku.
            “Ma’af.” Kuulangi kata yang sama.
            Setiap mata yang kutemui selalu saja ada mulut di bagian bawah, dengan gantungan lebah. Mata ini meyimpan rindu yang telah lama mati.
            “Tak kah kau tahu,  ma’af hanya akan menambah penderitaan yang tak pernah kau rasakan.” Mata itu melayang di rongga dada, di ruang grafitasi lemah.
            “Itu hanyalah sangkaanmu.” kataku melemahkan argumennya.
            “Bukan!” jawabnya
            “Lalu kenapa?” timbalku kembali
            “Apa hubungannya denganmu. Tak akan memberi manfaat. Yang jelas kau sudah lancang mengusyik kebahagianku. Mengusyik rinduku yang mati. Aku akan senang tanpa kedatanganmu dari dunia yang gagal.” Bocah kecil itu berubah drastis. Matanya mulai meregang. Urat syaraf tumbuh seperti kecambah kacang di ruang lembab.
            “Kebahagian katamu!” Jawabku heran.
            “benar!” Ujarnya
            “Kebahagian yang bagaimana?” Tanyaku.
            “Bukan urusanmu.” Senonoh jawabannya.
            “Bukankah kau dalam sunyi, dalam sedih, dalam air mata?” tanyaku lagi
            “Apa urusanmu?” Dia balik betanya. Sebenarnya marah.
            “Urusanku sebab perkataanmu. Kau sunyi, kau sedih, kau bagai mati, lalu kenapa?” kataku sok tahu.
            “Kebahagianku adalah sunyi, kebahagianku adalah air mata, kebahagianku adalah rindu yang mati.” Dia melayang menghampiri bola mataku.
            “Maksudmu!” Aku dibuat heran.
            “Kau harus menyerahkan telingamu.” Rupanya dia juga bengis.
            “Tidak! Kenapa kau kejam?” Aku menolak.
            “Aku mencoba berbaik hati. Toh ini hasil kesalahanmu.”
            “Kau pembohong!” Teriakku
            “Kesalahanmu telah merampas kebahagian sunyiku. Kesalahanmu telah lancang mengintip keberadaanku.” Kilahnya.
            “Itu bukan sebuah kesalahan. Itu sebuah keinginan mencari kepastian.” Aku membenarkan pendapatku.
            “Itu bagimu. Jangan pungkiri lagi. Kau harus menyerahkan telingamu secara suka rela atau terpaksa.” Dia marah.
            “Kau kejam!” Teriakku.
            “Kau penyebabnya.” Dia membalas dengan bentakan.
            “Tidak!” Jawabku.
            “Kau.”
            “Tidak! Tidak! Tidaaak!”
            “Ha, ha, ha.” Mata itu menikmati kesengsaraanku. Dia lebih dekat, lebih dekat, lebih dekat ke telingaku yang kanan.
            “Kau harus terima. Ini adalah takdir.”
            “Takdir di tangan Tuhan!” Kataku.
            “Tuhan menakdirkanmu begini. Kau harus terima. Tak ada alasan selain menyerahkan. Kau tahu?” dia sok mengenal Tuhan.
            “Apalagi?” Ujarku dengan masam.
            “Selain telinga kau serahkan, kau harus mengerti. Telingamu akan kujadikan teman sunyi sepanjang waktu datang melintasi jarak. Aku akan buatkan dia kolam renang dari darah di jantung bocah kecil. Percayalah bahwa kau harus bersyukur atas perbuatanku atasmu. Bersyukurlah karena kau memang harus bersyukur.”
            “Kau sial!” Aku benar dibuat tak berdaya.
            “Sekarang saatnya.”
Mata itu, sungguh tak terbayang bagaimana ia melepaskan daun telingaku. Menggergaji dengan giginya seperti gigi kucing.
            “Jangaaan! Jangaaan! Hentikaaan! Sakiiit! Jangaaan!” Gelap terasa, lenganku di injak turun naik oleh bola mata bocah kecil. Ia puas.
            “Pak, Pak, Bapak. Pameran sudah mau tutup. Kalau Bapak mau, besok Bapak bisa datang lagi. Insya Allah kami masih buka.” Satpam menggoyang tubuhku. aku berada di ruang istirahat para tamu lukisan. Aku tertidur. Aku tak tahu bagaimana prosesnya aku di sini. Di sekeliling tak lagi ada manusia selain kami berdua.
            Dalam perjalanan pulang. Dua bocah kecil dengan kepala botak tinggal di kepalaku. Satu boca kecil dengan tiga mata, dua di kepala, satu di dada dalam ranjau benang. Dia memasrahkan dada telanjang kepada saudaranya. Benang itu ditusukkan dari jarum kemudian ditarik kembali sambil menggarut perut bocah kecil. Benang itu berlilit begitu banyak, menimbulkan lubang-lubang kecil sepanjang dada membentuk resleting.
Dua bocah kecil dalam posisi jongkok, tanpa sehelai benang. Besok apakah dia masih terpampang di dinding? Atau sudah laku terjual. Dan Ah, aku sudah terlalu dalam memikirkannya sepanjang jalan pulang lewat Bagindi Aziz Chan.*Lingkar Putih, 2008
Lebih baru Lebih lama