Terbit di Singgalang
Hidup takkan berhenti serupa hayat yang menyerup di lukisan ini.
Pandanglah ia. Kalau kau berani, kau kan
menemukan bocah kecil, serupa aku menemukannya di pameran ini. Maka
sewaktu-waktu kau harus menjelma serupa aku yang menyelam ke dalam bola
matanya. Itu hanya sebahagian kisah. Sedikit yang perih dari sisa hidup.
Di ruangan
pagelaran ini. Aku menangkap bola mata, menatap lama sebuah gambar di dinding
sebelah utara. Tatapannya padaku bahwa kemarahannya bukanlah untuk dinikmati.
Apalagi oleh aku yang tak tahu menahu pembuat lukisan kanvas ini, sebenarnya. Namanya
yang ada di sudut kanan bawah hanyalah sebagai simbol. Bukankah kalau hanya
sekedar nama, tanpa melihat wajah yang menyimpan dunia di kedua bola matanya,
bearti aku sama saja sebagai penikmat lukisan yang belajar menjadi semu?
Kuiringi alis mata
tipis yang melingkari bola mata bocah kecil. Bagaimanapun dalamnya lukisan
mengambarkan keperihan pembuatnya. Keperihan itu ia tumpangkan pada bola mata
bocah kecil yang duduk jongkok, menyerahkan dada pada saudara di depannya. Mata
itu sedang menantangku. Dia bergerak layaknya mata orang yang bernafas. Aku
dapat dengan jelas menangkap garis-garis merah di bagian warna putih. Kemudian secara perlahan bola mata bocah kecil
keluar dari tengkorak, melayang masuk ke
bola mataku yang coklat bercampur hitam. Di dalam mataku bola mata bocah kecil
mengajukan permintaan, permintaan yang tak mampu aku penuhi seumur hidupku.
Hanya dengan keterpaksaan semua itu berlaku. Dia berhasrat sekali aku setuju
dengan kehendak, seperti meminta langit untuk dibungkuskan di pangkuan bocah
kecil.
“Kau sudah
merampasku, dasar pecundang! ” Katanya. Mata itu bergumam. Kata yang pertama
muncul bagai akrobat.
“K…k…ka…kau siapa?”
Aku tak dapat menyimpan kekagetan.
“Kau sudah merampasku.” Dengan bentakkan yang hampir
sama.
“Ti…ti…tidak! Mana mungkin itu kulakukan.” Aku masih
terpana.
“Kau sudah
menangkapku dengan kedua bola matamu untuk terlepas dari ruang di kedua mata
bolong bocah kecil,” ujarnya.
Bocah kecil itu kini matanya kosong, tanpa cahaya atau
warna coklat berbintik hitam pekat. Dari lobang mata kecil, aku dapat menangkap
bahwa darah segar baru saja mengalir dengan mencret, seperti membuka sebuah air
kram yang ditembakkan ke atas. memercik ke boca kecil, saudaranya yang asyik
menjahit dada bocah kecil lepas dada. Kini boca kecil di depannya bermandi
darah yang merobah tubuh telanjang tanpa sehelai benang bagai baru keluar dari
kubangan.
“Kau harus
bertanggungjawab,” katanya lagi
“Atas kesalahan apa?”
Jawabku
“Kesalahanmu telah
menatapku dalam-dalam, bahwa aku adalah mata yang menyimpan sunyi. Kesunyian
yang hanya dapat kutumpahkan ke bocah-bocah kecil. Kesunyian yang di dalamnya
selalu tersimpan bekas genangan air mata lama mengering. Kesunyian yang juga
menyimpan ciprakan rindu yang mendalam terhadap kekasih. Kesunyian itu kau bawa
ke dalam bola matamu.”
“Apa aku tidak
boleh menatapmu?” Tanyaku.
“Tidak!” Dia
meninggi.
“Atas dasar apa?”
tanyaku lagi.
“Atas dasar
kesetian.” jawabnya
“Kesetian apa
maksudmu!” Aku penasaran.
“Ia. Kesetian bahwa aku bahagia berada di
bola mata bocah kecil. Di sana
aku membangun rumah sunyi dan genangan rindu juga keperihan. Oleh sebab itulah
kau harus memenuhi permintaanku.”
“Maksudmu!”
“Kau harus
melepaskan bola matamu.”
“Kau gila!”
Dua bola mata itu menari di bola mataku, bukan tarian Tari
Payung lemah gemulai khas melayu, bukan tarian anak randai yang menabuh Endong
Hitam ketika Putri Andam Suri ditinggal kekasih hendak ke rantau, bukan juga
tarian dangdut dengan gaya yang dibawakan tahun 70-an, seperti Rhoma Irama yang
berlari kecil di taman mengejar sang kekasih. Tarian itu adalah tarian setan. Bola
mata bocah kecil melonjak-lonjak bagai pingpong dengan dahsyat. Matanya
memberikan kemarahan dengan urat-urat yang meregang sepanjang pembuluh syaraf.
“Kau harus
menyerahkan dengan suka rela atau terpaksa. Kesakitanku terlepas dari bocah
kecil tidaklah sebanding dengan
kesakitan yang akan kau rasakan. Aku sudah terlalu cinta dan rindu di sana hingga kau datang
merampas.” Dia benar-benar tak punya perasaan.
“Kau memang gila.”
Kataku sambil berteriak.
“Gila! Ha, ha, ha.”
Dua bola mata boca kecil itu bagaikan malaikat pencabut
nyawa. Terbang sepanjang ruang yang jelas sah milikku.
“Jangaaan!”
“Hentikaaan! Ouh….hentikaaan!”
Bola mata bocah
kecil itu melepaskan urat-urat syaraf mataku. Mereka punya tangan serupa akar
di bagian belakang, tangan itu bagai mencabut-cabut urat kayu. Tanpa ada rasa
prihatin sedkitpun yang akan menyisakan kenangan manis di rongga mataku,
sebelum bola-bola mataku terlepas dari tengkorak.
Bola mataku
benar-benar lepas. Darahnya menyemburat seperti halnya bocah kecil yang
memandikan saudaranya. Hanya di mataku, aku tak menyimpan sunyi dan kepedihan.
“Sakiiit!”
Otot-ototku
meregang. Semua tinggal gelap. Inikah sakitnya mati. Mati seperti kambing yang
dikabarkan, kulitnya dikelupas hidup-hidup. Kematian yang dirasakan di bagian
jasad.
“Kembalikan bola
mataku!” Aku meronta kesakitan.
“Kau harusnya bersyukur.”
Bola mataku dibawa
ke dalam lukisan kanvas, berkumpul di lobang mata bocah kecil. Permintaannya
kupenuhi dengan segala keterpaksaan. Tapi, ah, apa hubungannya dengan syukur?
Atas dasar bagaimana harus disyukuri?
Aku berada dalam
gelap.
“Bapak, Bapak, bagaimana pendapat Bapak dengan lukisan ini?”
“Oh, oh, yah!”
“Dari sorot mata
Bapak, Bapak tampaknya sangat menikmati
lukisan ini. Bagaimana kesan Bapak?” Seorang yang membawa kamera berlensa
kekuatan tinggi bertanya dari arah samping kananku. Sambil memegang bahuku. Mungkin sudah dari tadi bersamaku, hanya aku
tak menyadari. Barangkali dia wartawan atau bisa saja sang pelukisnya sendiri
dengan rambut gondrong, tubuh kekar kuning langsat.
Aku masih menatap lukisan bocah kecil. Tepatnya dua bocah
yang memilikki mata-mata aneh. Pelukisnya sangat lihai dan pandai menghidupkan
kisah, yang barangkali adalah pembenaran terhadap fakta kehidupan.
Bola mata bocah
kecil itu masih tetap pada tempatnya dengan guratan urat-urat syaraf memerah.
Sedang satu lagi bocah kecil yang sedang jongkok asyik dengan jarum menjahit
dada saudaranya.
“Aku wartawan.” Dia
berusaha meyakinkanku.
“Ma’af.”
“Gak apa-apa.
Bagaimana menurut bapak?” Mendekatkan perekam suara yang diambil dari tas kecil
di pinggangnya.
“Sangat baik,”
komentarku
“Dari segi mana
menurut bapak sangat baik?”
“Mata.”
Tak dapat digambarkan
dengan kata-kata. Sejauh mana penulis menghendaki pesan sampai kepada penikmat
lukisan.
“Hanya mata!”
“Hanya.”
Penulis juga sangat
baik dari sudut pandang lain, sebab dialah yang menyatu dengan bola mata
boca-bocah kecil. Penulis yang bersembunyi. Lukisan daun-daun mati yang
dibelakangi boca-bocah kecil, sangat kental dengan aroma kehidupan yang sudah
punah.
Wartawan
meninggalkanku. Aku maju ke depan meraba bagian dada yang dijahit serupa
rajukan tali sepatu. Sangat halus terasa memang, paduan cat yang sesuai dengan
keadaan gambar pada kehidupan nyata. Mencoba lebih mendekatkan mata. Ada gambar mata yang
tersembunyi di antara hitamnya rajukan-rajukan benang. Kucoba untuk lebih
mendekat, melihat fakta kepastian bahwa yang kulihat bukanlah praduga yang
berlebihan, sebatas kehendak yang ingin dipenuhi atau memang sudah terlalu
dalam menghayati sehingga timbul hal yang macam-macam.
Kurabakan jari-jari
kasar ke tumpukan benang yang berpintal tebal. Mata itu memandangku. Mata itu
sayu, tak seperti bola mata di kepala bocah kecil.
“Tak seharusnya kau
mencari keberadaanku.” Dia juga pandai bicara. Mata itu mengerjap dengan
kelopasan menjulai. Tak nampak urat-urat yang meregang. Ada air yang mengalir, mengaliri pelipisan
bagian bawah yang memucat. Entah sudah berapa lama bendungan itu tak pernah
kering.
Mataku masuk ke
ruangan dada mengitari mata satu. Di belakang mata itu urat-urat layuh, tak
ditemukan setetes darah segar, hanya darah beku.
“Ma’af.” Ucapku.
“Kata ma’af tak
berguna di sini. Kesalahan tetaplah sebuah kesalahan.” Ujarnya. Dia tidak
menerima kedatangan mataku.
“Ma’af.” Kuulangi
kata yang sama.
Setiap mata yang
kutemui selalu saja ada mulut di bagian bawah, dengan gantungan lebah. Mata ini
meyimpan rindu yang telah lama mati.
“Tak kah kau
tahu, ma’af hanya akan menambah
penderitaan yang tak pernah kau rasakan.” Mata itu melayang di rongga dada, di
ruang grafitasi lemah.
“Itu hanyalah
sangkaanmu.” kataku melemahkan argumennya.
“Bukan!” jawabnya
“Lalu kenapa?”
timbalku kembali
“Apa hubungannya
denganmu. Tak akan memberi manfaat. Yang jelas kau sudah lancang mengusyik
kebahagianku. Mengusyik rinduku yang mati. Aku akan senang tanpa kedatanganmu
dari dunia yang gagal.” Bocah kecil itu berubah drastis. Matanya mulai
meregang. Urat syaraf tumbuh seperti kecambah kacang di ruang lembab.
“Kebahagian
katamu!” Jawabku heran.
“benar!” Ujarnya
“Kebahagian yang bagaimana?”
Tanyaku.
“Bukan urusanmu.”
Senonoh jawabannya.
“Bukankah kau dalam
sunyi, dalam sedih, dalam air mata?” tanyaku lagi
“Apa urusanmu?” Dia
balik betanya. Sebenarnya marah.
“Urusanku sebab
perkataanmu. Kau sunyi, kau sedih, kau bagai mati, lalu kenapa?” kataku sok
tahu.
“Kebahagianku adalah
sunyi, kebahagianku adalah air mata, kebahagianku adalah rindu yang mati.” Dia
melayang menghampiri bola mataku.
“Maksudmu!” Aku
dibuat heran.
“Kau harus
menyerahkan telingamu.” Rupanya dia juga bengis.
“Tidak! Kenapa kau
kejam?” Aku menolak.
“Aku mencoba
berbaik hati. Toh ini hasil kesalahanmu.”
“Kau pembohong!”
Teriakku
“Kesalahanmu telah
merampas kebahagian sunyiku. Kesalahanmu telah lancang mengintip keberadaanku.”
Kilahnya.
“Itu bukan sebuah
kesalahan. Itu sebuah keinginan mencari kepastian.” Aku membenarkan pendapatku.
“Itu bagimu. Jangan
pungkiri lagi. Kau harus menyerahkan telingamu secara suka rela atau terpaksa.”
Dia marah.
“Kau kejam!”
Teriakku.
“Kau penyebabnya.”
Dia membalas dengan bentakan.
“Tidak!” Jawabku.
“Kau.”
“Tidak! Tidak!
Tidaaak!”
“Ha, ha, ha.” Mata
itu menikmati kesengsaraanku. Dia lebih dekat, lebih dekat, lebih dekat ke
telingaku yang kanan.
“Kau harus terima.
Ini adalah takdir.”
“Takdir di tangan
Tuhan!” Kataku.
“Tuhan menakdirkanmu
begini. Kau harus terima. Tak ada alasan selain menyerahkan. Kau tahu?” dia sok
mengenal Tuhan.
“Apalagi?” Ujarku
dengan masam.
“Selain telinga kau
serahkan, kau harus mengerti. Telingamu akan kujadikan teman sunyi sepanjang
waktu datang melintasi jarak. Aku akan buatkan dia kolam renang dari darah di
jantung bocah kecil. Percayalah bahwa kau harus bersyukur atas perbuatanku
atasmu. Bersyukurlah karena kau memang harus bersyukur.”
“Kau sial!” Aku
benar dibuat tak berdaya.
“Sekarang saatnya.”
Mata itu, sungguh tak terbayang bagaimana ia melepaskan
daun telingaku. Menggergaji dengan giginya seperti gigi kucing.
“Jangaaan!
Jangaaan! Hentikaaan! Sakiiit! Jangaaan!” Gelap terasa, lenganku di injak turun
naik oleh bola mata bocah kecil. Ia puas.
“Pak, Pak, Bapak. Pameran
sudah mau tutup. Kalau Bapak mau, besok Bapak bisa datang lagi. Insya Allah
kami masih buka.” Satpam menggoyang tubuhku. aku berada di ruang istirahat para
tamu lukisan. Aku tertidur. Aku tak tahu bagaimana prosesnya aku di sini. Di
sekeliling tak lagi ada manusia selain kami berdua.
Dalam perjalanan
pulang. Dua bocah kecil dengan kepala botak tinggal di kepalaku. Satu boca
kecil dengan tiga mata, dua di kepala, satu di dada dalam ranjau benang. Dia
memasrahkan dada telanjang kepada saudaranya. Benang itu ditusukkan dari jarum
kemudian ditarik kembali sambil menggarut perut bocah kecil. Benang itu
berlilit begitu banyak, menimbulkan lubang-lubang kecil sepanjang dada
membentuk resleting.
Dua bocah kecil dalam posisi jongkok, tanpa sehelai
benang. Besok apakah dia masih terpampang di dinding? Atau sudah laku terjual.
Dan Ah, aku sudah terlalu dalam memikirkannya sepanjang jalan pulang lewat
Bagindi Aziz Chan.*Lingkar Putih, 2008