Cerpen Alizar Tanjung
Note: Terbit
di Tempo, 19 Juli 2009
Kejadian nol
Aku tak suka lukisan. Tapi bagaimanapun seseorang telah melukis
wajahku dalam kanvas. Mereka ukir aku di tepi pantai, sedang setangkai mawar
menyelip di telinga kananku. Merah yang mekar. Mereka ambil wajahku yang sedang
miring menatap langit senja di barat. Pas matahari tinggal sebelah di ujung
laut pantai Padang.
Aku tak tahu kapan mereka mengambil wajahku tapi yang
jelas saja pada saat acara pameran di taman budaya aku sudah ada dalam lukisan.
Tidak mungkin itu rekayasa. Bagaimana mungkin tailalat yang ada di hidung
lukisan sama dengan tailalat yang di hidungku. Bagaimana mungkin bibir yang
merah mekar mawar dalam lukisan sama dengan bibirku. Tidak salah lagi kalau itu
aku, aku yang sedang duduk di atas batu menangkap cahaya kemilau di tepi laut
di ujung sana.
Mungkin tidak ada ujung atau juga ada ujung pada pulau yang tak kukenal.
Aku pikir ini
sungguh menyakitkan, tapi aku pikir ini juga sungguh menarik dengan cat paduan
yang kemilau.
Aku tak suka lukisan tapi secara tak sengaja perjalanan
untuk rekreasi telah mengantarkan aku pada lukisan ini. Siapun dia, maka dia
seorang yang telah diam-diam mencuri wajahku. Siapapun dia bearti dia seorang
yang profesional dalam menggambar wajah orang.
Begitu saja lukisan
ini membuatku berlama berdiri menatap garis merah di ujung laut. Ujung merah
yang sebentar lagi dalam lukisan berkumandang suara azan, lalu bilal.
Sesudahnya orang membaca Allahu Akbar setiap gerakan. Begitu menarik, bisik
hatiku. Begitu sungguh membuatku jadi cemburu, bisik anganku. Pelukis telah
menduplicatku jadi dua. Satu aku yang berada dalam dunia nyata yang pertama,
satu aku yang barada dalam dunia nyata yang kedua. Pelukis telah membuatku berada
dalam dua tempat yang berbeda. Tidak bisa aku terima begitu saja. Pelukis telah
membuat kedua jiwaku saling menyimpan cemburu. Cemburu karena wajahku dan wajah
lukisan saling menuduh mencuri. Wajahku menuduh lukisan yang telah mencuri.
Lukisan menuduh aku yang telah mencuri.
Kejadian satu
Mulanya aku
berjalan melewati gerbang masuk ruang terbuka ini. Aku percaya akan sangat
indah laut setelah aku sampai di ujung gerbang yang satu lagi. Bagaimana tidak,
pas di depan gerbang telah terpampang wajah laut ketika matahari terbenam dan
mega merah sedang mekar di atas awan. Aku tahu begitu artistik ukiran gerbang
yang berbentuk gonjong rumah gadang, empat gonjong sejajar, satu gonjong
menghadap ke depan, beratap seng coklat pendek-pendek.
Mulanya aku masuk
bukan untuk melihat lukisan. Lukisan tidak menarik bagiku. Bagiku lukisan
hinggap dalam dunia imajinasi yang menyemukan. Aku tak berfikir menjadi
pengunjung, apalagi penikmat, tambah lagi pengamat. Sungguh tak terfikir yang
demikian.
Tentu saja aku
bukan menemui satu orang. Terlalu arogan untuk mengatakan demikian. Aku juga
tidak ingin mengatakan ini hanya sekelompok orang yang sedang bermain mencari
angin segar sore. Tidak demikian. Aku ingin katakan ini memang pasar lukisan
yang diadakan sehari. Kenapa aku datang juga pada pameran lukisan, bukankah aku
tidak suka lukisan? Itu lah yang ingin aku katakan.
Jalan ini jalan
menuju gerbang laut nan indah. Siapa sangka antara gerbang ke gerbang begitu
berkumpul seniman dari berbagai provinsi. Telah saja aku temukan lukisan indah
yang berjajar. Mula-mula pintu masuk gerbang, lukisan kupu-kupu putih yang baru
pertama aku lihat. Orang-orang berebut memandangnya. Dalam lukisan berlatar
hitam dengan sudut cahaya senja di titik sudut sebelah kanan atas.
Aku tak peduli dengan lukisan, tapi sejenak juga aku
berhenti. Apa yang begitu menarik? Bukankah lukisan dibuat tangan-tangan
imajinasi? Pelukis yang berimajinasi setinggi mungkin. Sedalam yang tak dapat
dicapai oleh orang ahli ilmiah.
Aku terus berjalan,
kutemukan lukisan perempuan sedang menggendong anak dengan kain panjang coklat
motif bunga rampai. Terus berjalan sambil menangkupkan telapak tangan di atas
kening, menghalangi cahaya matahari senja di belahan bumi barat. Seorang ibu
yang terbungkuk, di punggungnya anak yang meminum susu dalam tabung putih. Ibu
yang membungkuk di depannya terus ia gerakkan pengail besi merangkul
sampah-sampah, ia pegang sebuah kardus bekas sambil meletakkan di atas kepalanya.
Ibu itu berjalan dengan kain samping yang lusuh. Aku tak ingin memandangnya
terlalu lama.
Kenapa aku begitu tertarik untuk hari ini dengan lukisan.
Aku tidak suka lukisan, dengan lukisan aku terlalu dalam dengan segala angan. Aku
tidak suka lukisan sudah lama sekali, bahkan lebih lama dari yang aku kenal.
Biasanya sebagai perempuan berperasaan halus. Saya rasa tidak demikian dengan
diriku yang satu ini. Dan lukisan pemulung ini. Bukankah wanita itu menatap
dengan mata kabur sambil terus menggerakkan kakinya yang pengkol? Anak wanita
tua itu diam saja di punggungnya. Masih melekat di mulutnya butiran air susu.
Matanya membuka seperti ada yang sedang menghiburnya dari atas kepala.
Aku teruskan berjalan, begitu banyak gerombolan yang
sedang bicara tentang nilai estetik, pantulan nasib, sendu, asmara, pesan luka. Aku tak ingin mendengarnya.
Aku teruskan berjalan, begitu banyak yang dilihat. Lukisan hitam yang ternyata
setelah di amati lebih dekat, pusaran lingkaran kayu yang terdiri dari tiga
pusaran. Lukisan lain, induk kucing yang melompat ke dalam duri. Kucing itu
mengeliat dengan mata yang terbuka lebar. Lukisan lain, lukisan bayi di atas
daun talas di tepi pantai, bayi yang dijaga seekor buaya putih. Lukisan lain,
perahu yang tenggelam tinggal ujung. Di atas ujung satu mata tengah tertancap,
entah apa yang dipikirkan pelukis. Begitu sadiskah lukisan semua ini. Aku ini
perempuan tak tega melihat kesadisan.
Begitu menarikkah bagi pengunjung. Mereka potret setiap
sudut kejadian dalam lukisan. Diabadikan dengan foto bersama sambil berdiri di
samping lukisan.
Aku terus berjalan. Begitu letih, mungkin juga serupa
gedung yang melingkari ruang besar ini, menyisakan ruang terbuka di tengah
sudah pula menelam cerita suka, duka, pilu cerita lukisan.
Aku terus berjalan mendekati pintu gerbang ke dua. Belum
sampai di pintu gerbang aku terpaku dengan lukisan tak terjamah. Lukisan yang
terpencil di sudut gedung. Tiada orang yang berkunjung, tiada penjaga lukisan,
tiada gambar lain yang mendampingi. Hanya satu lukisan wajah yang bersandar
pada titisan kayu. Tiada pelukisnya. Hanya aku. Ia, diriku.
Siapa yang membuat lukisan ini seperti menggalikan
lubang tubuhku. Menggali kuburan rambutku pada dua tempat nantinya. Dua fakta
dalam satu warna.
Begitulah aku sampai ke lukisan ini.
Kejadian dua
Aku sungguh tak
percaya antara benar dan tidaknya. Bukankah ini alam nyata, tapi kenapa dalam
dua bentuk yang sama. Lukisan itu menarikku dengan tangan yang sama. Apa ini.
Bukankah ini diriku? Aku dalam diriku. Lukisan.
“Siapa kau,”
kataku.
“Aku kau,” katanya.
“Kau tidak benar
kataku,” ucapku.
“Aku dan Kau dalam
satu tubuh,” ucapnya.
“Mana ada yang
demikian,” kataku.
“Yang demikian bisa
diadakan,” ucapnya dengan nada yang keras.
Sebentar lagi
matahari itu benar-benar tenggelam. Tinggal aku, tinggal dari dunia nyata kedua.
Aku tatap wajah laut begitu indah dan menawan. Sebentar lagi yang indah dan
menawan pergi ke dalam gelap. Dalam gelap hanya ada remang. Itu pasti. Kecuali
tepi pulau ini yang bercahaya lampu.
Perempuan itu duduk
di atas batu seperti dalam lukisan. Aku tertegun. Ia menghadap ke laut dengan
melingkarkan jemarinya dirambutnya yang ditarik ke depan. Ia lihat warna senja
dan segerombolan burung di angkasa barat yang sedang menuju pulang memotong
arah selatan. Perempuan itu menarik garis rambutnya yang baru dijuntai angin
menyibak terberai.
Aku lihat ke samping
dekat sebuah batu yang menjorok ke laut. Sedikit di samping depan perempuan.
Aku sunguh tidak percaya dengan lelaki berambut panjang. Siapakah yang harus
dipertanyakan antar ia dan perempuan. Rambut yang hampir sama panjang. Lelaki
yang menegakkan kanvas di atas sandaran kayu. Sekali dia menakur, sesekali ia mengangkat
kepala, menakur, mengangkat lagi, menakur, mengangkat lagi. Ia gerakkan kuas.
Sungguh menarik sekali.
Sesekali angin laut
menggoyangkan daun kelapa di tepi pantai. Nyiur yang indah begitu kata penyair.
Tapi belum sempat aku memkirkan lebih dalam kata penyair. Aku terkejut. Aku
tidak suka lukisan kenapa aku di sini. Sungguh terkejut lagi aku tak tahu
sedang berada di mana. Tak jelas aku berdiri di atas apa. Tak paham aku sedang
dekat mana. Aku lihat sekeliling masih berderet nyiur kelapa. Kelompok batu
yang memanjang menuju laut.
Aku sungguh bingung
antara batas nyata dan tidak. Di alam nyata kedua, aku tidak mengerti sedang
seperti apa, sedang dalam keadaan yang mana. Perempuan di batu berseru,
“Kemarilah diriku.” Aku katakan, “siapa yang kau maksud!”, “Diriku,” jawabnya.
“Kau adalah aku!”
serunya.
“Bukan! Kau yang Aku,”
kataku membalas seruanya.
Perempuan itu kembali melihat ke laut. Cahaya senja yang
kemilau menyentuh pipinya, pipi yang tambun menurutku. Aku perempuan. Ia perempuan
lukisan menurutku. Tapi salah kiranya. Aku bukan peminat lukisan mana mungkin
aku adalah ia. Sesekali ombak yang pantai menyentuh batu karang sambil
menghempas terburai. Sungguh pemandangan yang indah. Di laut senja ombak dan
batu karang saling berbagi nasib.
Kupandang gunung Padang tempat Sitinurbaya
dikuburkan seperti cerita dalam novel-novel. Gunung yang masih tangguh berdiri.
Gunung yang sudah mulai kelihatan buram malamnya. Tapi ketika aku menunduk dan
mengangkat kepala kembali. Aneh. Ada
yang aneh. Aku sedang melihat lukisan di batu pantai tempat lelaki berdiam diri.
Lelaki dengan lincah menolehkan kuas dengan paduan warna yang khas. Di ujung
langit matahari tinggal sepotong, laut tengah menenggelamkannya. Lalu gambar
perempuan!
Bukankah…ini
perempuan itu. Ini aku dan dia. Aku dan ia dalam satu tubuh di dua alam nyata.
Lelaki itu tidak menyahut aku tegur.
“Bang aku mau
protes,” kataku.
“Dia meneruskan
menggambar tailalat di hidung lukisan. Aku heran kenapa dia tidak melupakan
satu bagian jasmani wajahku.
“Bang, tidak baik
abang mencuri wajahku.” Ia diam dan menggerakkan kuas ke dalam acuan warna. Ia
gambar warna mawar di telingaku. Aku tak percaya. Ia telah mencuri wajahku
secara diam-diam.
Aku tarik bajunya
denga kuat, tapi tidak bisa. Tanganku seperti menembus kulitnya. Mulai masuk
dari bahu, tanganku tembus ke bahu sampingnya lagi. Aku tarik rambutnya yang
panjang, tak bisa tanganku menggapainya. Dari laut perempuan bersorai,
“katakanlah Kau adalah Aku, maka kau bisa menyantuhnya” aku katakan, “Kau yang Aku.
Kau hanya objel lukisan, aku objek nyata dalam kehidupan.”
“Terserah Kau lah
itu. Aku yakin Kau akan mengaku bahwa Kau adalah Aku,” katanya sambil menggali
mengarahkan pandangan ke laut.
“Kau hanya buang
mulut,” ujarku.
“Persetan dengan
Kau, “kataku lagi.
Pelukis itu mulai memberi
sentuhan halus, alis mata sedikit ditebalkan, rambut dekat telinga sudah
tergaris rapi ke bawah. Dibuat seperti tidak ada kesan rekayasa. Perempuan yang
aneh dalam lukisan menurutku.
Aku pandang ke
belakang. Lagi di atas batu pas segaris tubuh perempuan. Itu bukankah lukisan
wanita yang terbungkuk dan anak….
Kejadian tiga
“Selamat datang Kau perempuan,” kata wanita tua itu. ia terus
mengambil sampah di ujung pengail besinya. Ia terus kail botol gelas, kardus
bekas, satu kardus ia letakkan di kepala. Perempuan itu terus saja membungkuk
dan berjalan perlahan. Hanya gerak bibirnya yang menyatakan ia sedang bicara
denganku.
Aku di sini dibuat menjadi aneh. Entah keanehan apa lagi.
Semua serba membimbangkan bagiku.
“Aku lukisan,” ujarnya.
“Lelaki itu yang telah melukisku dengan sangat penuh
perasaan. Ia tumpahkan rasa duka yang mendalam dalam diriku,” ujar wanita tua.
Anaknya tak menangis. Aku bingung bagaimana ini menjadi hal yang membuatku
sakit kepala. Aku tak tahu apakah aku sedang beban berada di sampingnya, hanya
saja aku merasa sangat dekatnya denganya.
“Aku ini pemulung tanpa kuburan,” katanya. Aku tak
mengerti dengan maksud katanya. Aku anggukkan saja tanpa ada suara mulutku. Tapi
sungguh merinding bulu kudukku.
“Bagi kami kuburan sesuatu yang mahal. Maka bagi kuburan
itu adalah kehidupan kami sendiri. Semakin hidup kami, semakin dalam kuburan
kami. Maka lelaki itu lelaki yang beruntung melukis kami. Di sini kami mendapat
kuburan. Kuburan kami menjadi kenangan bagi banyak orang. Setiap kami sedia
sajalah menjadi objeknya.
Ia pelukis yang melukis apa adanya. Setiap di mana ia
berdiri aku telah mendampinginya dalam lukisan.” Aku lihat ujung senja. Masih
sediakala. Perempuan itu masih ada di sana.
Aku lihat wajah bayi. ‘Pucat,’ bisik hatiku.
“Benar,” kata perempuan itu.
“Ia sudah meninggal,” katanya lagi.
“bagi kami tubuh kami kuburannya. Di sini kuburan barang
elit,” katanya. Aku tak sanggup lagi berbuat apa. entah. Sudah. Tak tahu.
Malam ternyata berlalu dalam kedip mataku. Aku tidak
suka lukisan. Tapi aku baru saja berada di ruang gelap. Lambat-lmbat hidup lampu
lilin. Itu!? lukisan itu….
Kejadian empat
“Aku ini kupu-kupu
dalam gelap,” kata suara entah di mana.
“Aku kupu-kupu
putih yang dibawa tersesat,” aku tahu apa ini. Ruang gelap menjadi remang cahaya
lilin. Seorang laki-laki yang di pantai tadi sedang melukis kanvas hitam.
“Aku kupu-kupu di
tengah gulita,” kata suara. Tidak ada kupu-kupu, tidak ada orang lain. Bulu
kudukku merinding. Tapi tiba-tiba laki-laki itu mulai menggambar titik cahaya.
Betapa merah betapa saga. Aku sungguh terpaku melihat gerakkan lembut luarbiasa.
Ia teruskan bayang cahaya dalam remang. Selebihnya gambar hitam.
Lelaki itu terus menggerakkan kuasnya. Tapi suara, “Aku
kupu-kupu yang hidup di tengah gelap di tengah kota pusar segala kegiatan. Aku tak menjawab.
Lelaki itu terus menggerakkan kuasnya. Dan ups…lelaki menggambar kerangka badan
kepompong, terus ia gerakkan sayap atas, lagi sayap bawah lagi antena, lagi
wana putih, kemilau merah diterpa cahaya senja di sudut lukisan.
Selesai sudah.
Lukisan kupu-kupu putih. Aku bersyukur kini aku punya peristirahatan. Tak ada
malam, tak ada siang, tak ada sore, hanya ada gerak lukisan.
Kupu-kupu
menghambur ke mataku. Gelap-gelap sekali. Terang-terang menyilaukan. Lambat
laun mereda ke warna senja.
Kejadian nol
Aku tak suka lukisan tapi lelaki itu telah melukisku. Aku tidak tahu
mau melakukan apa. Wanita tua, kupu-kupu putih aku tidak tahu. Sekelebat saja
aku tercampak keluar lukisan. Sungguh mirip sekali perempuan di tepi pantai
dengan perempuan yang berdiri di depan lukisan. Itu aku. Tapi, bukan, itu bukan
aku. Aku tak tahu, aku tidak suka lukisan. Seseorang telah menggambar wajahku.***