Gadis Kecil di Perempatan Lampu Merah

Oleh Alizar Tanjung
Cerpen ini masuk Antologi Rendezvous di Tepi Serayu

           
Dia yang bermenung di bawah gardu lampu merah itu sambil memegang perut. Menantikan lampu bertukar roman dari satu warna ke warna lain.  Menanti lampu itu kembali merah sampai sekian detik. Kembali bermenung saat lampu itu menghijau untuk sekian detik. Pada saatnya sebelum lampu merah benar datang, akan melewati jalur kuning beberapa detik.  Dia yang datang tiba-tiba entah dari negeri antah barantah. Menatap setiap mobil dan motor yang lalu lalang di depan batang hidungnya, lalu memberikan senyum yang pasi bagi setiap pengguna jalan yang lewat. Seperti dalam kabut dia tak pernah menyesal dalam hidup. Tegar menghadapi liku yang sebenarnya tidak pernah ia harapkan. Tapi apa boleh dikata dia sendirilah yang merasakannya. Gadis kecil yang membawa giringan tutup botol yang dirangkai sebagai alat musik seadanya, dengan rambut kucekan. Melewati setiap pintu dari angkot ke angkot jika lampu kembali merah. Menyanyikan segala yang dihafal, walau sebenarnya suaranya yang fales takkan membuat penumpang terhibur sedikitpun. Tapi itulah hidup ia harus berjalan dengan apa yang kita milikki.
            Melewati pintu pertama angkot baris depan seperti yang biasa ia lakukan. Dengan tangan mungilnya, mulailah ia berkenang dengan lagu-lagu yang itu ke itu. Mengerakkan giringan tutup botol sambil melantunkan ke telapak tangan kirinya. Hal rutin dan hal yang biasa baginya seraya menikmati terik yang tentu saja akan melelehkan keringat.
            “Permisi pak! Permisi buk.” Begitulah ia datang bertamu pada penumpang. Tak penting siapa orangnya, yang penting hanya recehan yang dijatuhkan, digeser dari satu penumpang ke satu penumpang hingga sampai juga di pintu. Penumpang senyum, senyum yang sebenarnya dibuat-buat, senyum yang di baliknya tersimpan rasa jijik dan sindiran melihat wajah kumal.
Belum habis lagu ia nyanyikan selalu saja ada yang menyodorkan uang lima ratusan, sebagai gerak yang sebenarnya adalah mengusir. Tapi apa mau peduli. Hidup tetap mesti berjalan seperti dalam kabut. Kita adalah bagian yang tak boleh menyerah. Demikian mimik usiran adalah hal yang biasa bagi anak jalanan.
            “Makasih Pak! Makasih Da! Makasih Buk!” Demikian kalimat penutupnya. Kadang juga diiringi senyum yang tak lagi bearti. Dia lemparkan ke wajah-wajah penumpang angkot, sebelum ia meleset ke pintu-pintu angkot lainnya. Menghilang dari pintu yang satu, muncuk di pintu yang lain. Dengan kata yang sama, ia akan terus mengulang adegan yang sama. Lagu-lagu yang tak pernah masuk irama liriknya sebagai tangga nada.
            Sehabis lampu merah itu, ia akan kembali ke bawah gardu lampu merah. Bersama kantong permen berisi recehan, berbunyi yang sengaja berderit sepanjang langkah sebelum sampai ketepian. Memandang mobil, motor lalu lalang sebagai pecundang. Mengeluarkan asap sebagai kabut lain. Menimbulkan batuk-batuk yang bagi anak jalanan adalah hal yang biasa.
            Lalu saat lampu merah berikutnya. Di sana rutintas berulang dan berhenti sesaat, jika lampu itu kembali menghijau sebagai padang rumput setumpak dalam lampion kaca, peroleh peruntungan para penumpang. Dari perulangan akan terus mengumpulkan recehan, yang barangkali saat sore nanti telah tenggelam tidak menahan perut lapar di kolong jembatan. Lima ratus meter di depan jalan ini. Tempat ia mengasah mimpi bersama anak-anak lainnya.  
            Begitulah hidup kami selalu. Dia yang datang enam tahun tahun silam. Menangis di simpang lampu ini, meminta jalan pulang yang tak pernah kukenal. Sambil merentak-rentakkan kaki menggeser aspal panas dengan kakinya. Terkelupas bukanlah bagian yang  sesalkan, asal ia kembali akan pangkuan ibu. Cukup demikian menghentikan tangis anak ingusan.
            “Adik kecil, mamanya adik di mana? Jangan nangis ya?” Kataku yang baru saja menghentikan aktifitas, saat lampu hijau itu kembali melaju di tengah terik. Menyandang gitar kecil lima senar yang lebih tepatnya untuk anak SD, tidak untukku. Aku merunduk di depannya yang mengucel mata dengan tangan sambil bergantian. Tidak seperti sekarang. Sangat jauh dari yang pernah kutemukan. Berbaju berendo Merah Jambu dengan topi yang serasi. Gambar Mikimos di tengah atas bagian topi. Dengan haruman bunga Melati menyelimuti badan gadis kecil berumur tiga tahunan. Tapi lihat sekarang. Kulit hitam dengan rambut acakan, oblong kuning––baju caleg––besar menutupi sampai lutut dan rok yang tak lagi mencerminkan milik manusia.
            “Oummm um um oummm um um oummm um um um. Mama jahat! mama jahat! mama jahat!” Katanya membanting-banting segala yang ada di samping, hingga sepatu pun melayang. Ke dinding pos polisi yang kosong. Seperti alam ia menangis ditinggal alam keluarga yang baginya mungkin adalah ketenangan. Siapa yang tega meninggalkan anaknya? Tentu saja tidak. Setiap orang tua punya hati dan perasaan? Tapi benarkah demikian sebelum kuputuskan gadis kecil jatuh kepangkuan pengemis, kepangkuanku. Membawanya pergi melewati gang-gang sempit. Masuk ke kolong jembatan, di dalamnya berjajar orang-orang yang seprofesi denganku. Tinggal bersamaku dalam rumah kardus.
            “Adik mari ikut sama Uda? Yuk Uda gendong!” Kataku sambil memegang tangan mungil, yang terasa lebih dingin dari orang siap berhujan. Dia menangis lebih keras. Hingga mata-mata di balik kaca spion sana memandang ke pada kami. Beberapa saat kembali berlalu. Hanya sebagai basa-basi yang tak lebih rasa perhatian yang pias sebelum kembali melejit. Dia menghentak-hentakkan tangannya menarik dorong tanganku. Menyenangkan anak kecil bukanlah bagian dari pekerjaanku, lebih tepatnya tak pernah. Seperti adik yang tak pernah kudapatkan dari ayah dan ibu yang tak dikenal rimbanya.
            “Lepaskan! Oummm um um. Lepaskan! Lepaskan! Orang jahat! Lepaskan!” Dia menandang-nendang tanganku. Meris juga mendengarnya.
            “Uda bukan orang jahat, Dik. Yuk!”
            “Orang jahat! Lepaskan!”
            “Kalau gitu mari ikut sama orang jahat, Dik.” Canda yang boleh dikata tak pernah keluar dari wajahku. Dingin terasa seperti dalam kabut dalam diriku. 
Bagi siapa? Bagi aku anak jalanan. Bagi manusia yang tinggal di alamat tanpa rumah. Tapi memang hidup harus bersosial, bagian kecil di bagian diriku. Hanya itu. Yang kecil tempat mendapat kasih dari yang besar. Yang tak punya tempat meminta pertolongan bagi yang punya. Hingga keputusanku untuk membawanya adalah atas dasar kemanusia yag sedikit. Dari manusia setidaknya ada sedikit hidup yang manusiawi dari sisi hidupku yang lain.
Dalam perjananan yang panjang kami hidup sebagai gelandangan. Makan sebagai hasil dari perempatan jalan. Dia yang rutin menggemas pagi sebagai pencaharian. Saat azan subuh baru saja berkumandang. Dalam jalanan lengang, ada bingkisan yang sengaja dicampakkan malam, saat orang makan di ampera ujung jembatan. Dia yang membawakan bingkisan ke dalam lorong jembatan, ke rumah kardus. Beginilah hidup. Siapa yang mau menyesali, hanya akan berlarut dalam penderitaan yang tak berujung. Semakin memikirkan tak lebih dari keperihan yang hinggap dalam rasa lapar.  Mengalirkan air mata hanya akan memambah sungai meluap dalam hati. Tapi. Ah, dia gadis yang malang yang kutemukan diperempatan jalan. Bergelandang sepanjang jalan perempatan dari angkot ke angkot. Dari sinisan ke sinisan.
Dia tak pernah tahu. Tak lagi mau tahu bapak atau ibu. Hidup sudah mengajarkan menjadi tegar sebagai gadis kecil. Akan berlama menyulam pagi hingga senja sepanjang lampu merah. Dia lupa bagaimana ia beribu. Dia lupa apakah dia pernah punya  ayah yang pernah membuatnya lahir sebagai manusia. Sejauh manakah itu? Dia tidak tahu. Ayah baginya adalah waktu yang mendidiknya dengan cara kasar. Ibu adalah subuh yang ia jadikan mengumpulkan makanan sampah di seberang jalan. Sedang kasih sayang telah lama ia tahu. Penderitaan adalah kasih sayang. Semakin perih hidup di jalanan semakin berteka-teki dengan kasih sayang.
            Gadis malang dengan piasnya yang lebih dewasa dari umurnya. Tidak sempat seperti gadis-gadis kecil di luar sana, seperti anak TK yang berada di seberang lampu merah sedikit melewati badan jalan. Gadis-gadis sana masih asyik bermain dengan segala permainan; melompat-lompat kecil sepanjang arena, naik turun dari seluncur besi yang didesain khusus bagi arena bermain, berayun ayu di atas ayunan besi yang berjajar tiga buah. Tidak sempat ia demikian. Pernah juga kusaksiakan wajahnya yang menatap keluar sana. Sebentar berhenti di tepi pagar lalu kembali saat lampu merah berganti hijau, berlari ke arah angkot-angkot baris depan, kemudian baris dua, kemudian baris tiga. Yang demikian juga telah lama berlarut.
            Tentang ibu yang ia lupakan. Samakah denganku? Ibu suatu hal yang tak pernah hadir dalam diriku. Entah bagaimana aku prosesnya lahir? Kabarnya aku sama dengan yang lain, kata orang yang pernah mengasuhku. Aku didapatkan dalam kardus bekas dekat kali sedang mengeak. Lalu pemulung memungutku. Kelak ia yang menjadi bapakku. Hidup dalam keterbatasannya. Pada saatnya dia yang mengajarkan aku jadi pengemis di pesimpangan. Mengenal hidup ini, hingga orangtuaku yang tidak sebenarnya orangtuaku meninggal tujuh tahun yang lalu. Mungkin itulah yang mengajarkan aku peduli dengan orang lain. Sedikit sisi yang tertinggal.          
            Hingga pada akhirnya ia harus sendirian dari angkot ke angkot. Serupa dengan cobaan ataukah lebih tepat ujian? Pada pagi yang buta itu.  Menjelang mentari terbit dari timur dan beranjak perlahan ke arah ia akan kembali ke ujung laut kota padang. Inilah rutintas. Serupa kabut dalam diri gadis kecil. Kubiarkan ia tertidur puas. Berselimutan karton. Membiarkan wajahnya yang lugu sebelum semuanya terjadi. Melewati lorong jembatan, melintasi sungai dua puluh meter membujur dari timur ke arah barat. Gadis kecil yang sedang keletihan terbaring lemas. Aku tahu dia sakit, sakit yang selalu ia rahasiakan. 
            Aku bergegas menuju tempat pembuangan sampah. Mengail kehidupan dari bekas-bekas nasi yang terbuang malam. Memilah mana yang masih bisa berada dalam keadaan basi sedikit. Memisahkan antara bekas potongan tulang ayam yang masih ditempali sisa daging, lauk-pauk yang padanya terbentuk bekas gigitan dan tulang menyembur di sebahagian. Seperti yang lainnya bersaing dengan binatang mengambil apa yan bisa diambil. Juga pengemis lain yang datang sebagai merecah kehidupan, mengisi lambung yang kosong.
Pada pagi yang sesaat azan subuh baru saja lewat. Dengan senyum yang sedikit tertahan. Seginilah yang bisa kuberikan gadis kecil. Biar aku yang berjalan melewati bak sampah dan lorong jembatan ke arah pulang. Bingkisan hitam di dua tanganku dengan potongan roti-roti berjamur, serta makanan sampah sudah cukup menghilangkan rasa lapar yang mendulam dalam perut.
Dengan mengayunkan plastik  maju-mundur sambil berjalan, orang yang kegirangan. Kegirangan yang sampai persimpangan kembali ramai, saat rutinitas kembali sebagai wajah senyum yang pasi. Dan jangan kau tanya apa yang terjagi? Peristiwa yang menaaskan. Kalau aku menemukan tubuh kecil yang telanjang kalau di selangkang kutemukan cairan kental. Itu sudah cukup meyakinkan. Gadis kecil yang menangis menahan perih tak sanggup berdiri hingga ia biarkan terbuka membuka pada alam. Menangis dan menangis. Saat itu apa yang bisa kuperbuat? Dengan makanan yang sentak terjatuh. Orang datang. Aku di hajar. Kakiku patah. aku lumpuh. Gadis kecil jatuh pingsan. Setelahnya aku datang menjemput sebahagian riwayat, sebagai orang pincang di atas trotoar menunggu gadis kecil.
Demikian kisah ini dan kukatakan kepadamu agar kamu mengerti. Gadis kecil yang berjalan melewati pintu dari angkot ke angkot kalau di rahimnya bisa saja sudah berisi janin tiga bulan. lebih dewasa dari dirinya anak ingusan. Maka saat nanti kau menemukan gadis kecil bermenung di bawah gardu lampu merah sambil memegang perutnya. Itulah dia Sisyana. Gadis berambut kucel. Dan orang-orang melejit seperti tak pernah mengenalnya.sedikit.  Maka terserah kepadamu, apa kau akan memberi uang lima ratusan atau kau saja sama saja dengan mereka, melejit ke arah jalan utara atau selatan melewati sungai membujur timur ke barat.* 2008
Lebih baru Lebih lama