Oleh Alizar Tanjung
Cerpen ini masuk Antologi Rendezvous di Tepi Serayu
Melewati pintu
pertama angkot baris depan seperti yang biasa ia lakukan. Dengan tangan
mungilnya, mulailah ia berkenang dengan lagu-lagu yang itu ke itu. Mengerakkan
giringan tutup botol sambil melantunkan ke telapak tangan kirinya. Hal rutin
dan hal yang biasa baginya seraya menikmati terik yang tentu saja akan
melelehkan keringat.
“Permisi pak!
Permisi buk.” Begitulah ia datang bertamu pada penumpang. Tak penting siapa
orangnya, yang penting hanya recehan yang dijatuhkan, digeser dari satu
penumpang ke satu penumpang hingga sampai juga di pintu. Penumpang senyum,
senyum yang sebenarnya dibuat-buat, senyum yang di baliknya tersimpan rasa
jijik dan sindiran melihat wajah kumal.
Belum habis lagu ia nyanyikan selalu saja ada yang
menyodorkan uang lima
ratusan, sebagai gerak yang sebenarnya adalah mengusir. Tapi apa mau peduli. Hidup
tetap mesti berjalan seperti dalam kabut. Kita adalah bagian yang tak boleh
menyerah. Demikian mimik usiran adalah hal yang biasa bagi anak jalanan.
“Makasih Pak!
Makasih Da! Makasih Buk!” Demikian kalimat penutupnya. Kadang juga diiringi senyum
yang tak lagi bearti. Dia lemparkan ke wajah-wajah penumpang angkot, sebelum ia
meleset ke pintu-pintu angkot lainnya. Menghilang dari pintu yang satu, muncuk
di pintu yang lain. Dengan kata yang sama, ia akan terus mengulang adegan yang
sama. Lagu-lagu yang tak pernah masuk irama liriknya sebagai tangga nada.
Sehabis lampu merah
itu, ia akan kembali ke bawah gardu lampu merah. Bersama kantong permen berisi
recehan, berbunyi yang sengaja berderit sepanjang langkah sebelum sampai
ketepian. Memandang mobil, motor lalu lalang sebagai pecundang. Mengeluarkan
asap sebagai kabut lain. Menimbulkan batuk-batuk yang bagi anak jalanan adalah
hal yang biasa.
Lalu saat lampu
merah berikutnya. Di sana rutintas berulang dan
berhenti sesaat, jika lampu itu kembali menghijau sebagai padang rumput setumpak dalam lampion kaca,
peroleh peruntungan para penumpang. Dari perulangan akan terus mengumpulkan
recehan, yang barangkali saat sore nanti telah tenggelam tidak menahan perut
lapar di kolong jembatan. Lima
ratus meter di depan jalan ini. Tempat ia mengasah mimpi bersama anak-anak
lainnya.
Begitulah hidup
kami selalu. Dia yang datang enam tahun tahun silam. Menangis di simpang lampu
ini, meminta jalan pulang yang tak pernah kukenal. Sambil merentak-rentakkan
kaki menggeser aspal panas dengan kakinya. Terkelupas bukanlah bagian yang sesalkan, asal ia kembali akan pangkuan ibu.
Cukup demikian menghentikan tangis anak ingusan.
“Adik kecil,
mamanya adik di mana? Jangan nangis ya?” Kataku yang baru saja menghentikan
aktifitas, saat lampu hijau itu kembali melaju di tengah terik. Menyandang
gitar kecil lima
senar yang lebih tepatnya untuk anak SD, tidak untukku. Aku merunduk di depannya
yang mengucel mata dengan tangan sambil bergantian. Tidak seperti sekarang.
Sangat jauh dari yang pernah kutemukan. Berbaju berendo Merah Jambu dengan topi
yang serasi. Gambar Mikimos di tengah atas bagian topi. Dengan haruman bunga Melati
menyelimuti badan gadis kecil berumur tiga tahunan. Tapi lihat sekarang. Kulit
hitam dengan rambut acakan, oblong kuning––baju caleg––besar menutupi sampai
lutut dan rok yang tak lagi mencerminkan milik manusia.
“Oummm um um oummm
um um oummm um um um. Mama jahat! mama jahat! mama jahat!” Katanya membanting-banting
segala yang ada di samping, hingga sepatu pun melayang. Ke dinding pos polisi
yang kosong. Seperti alam ia menangis ditinggal alam keluarga yang baginya
mungkin adalah ketenangan. Siapa yang tega meninggalkan anaknya? Tentu saja
tidak. Setiap orang tua punya hati dan perasaan? Tapi benarkah demikian sebelum
kuputuskan gadis kecil jatuh kepangkuan pengemis, kepangkuanku. Membawanya
pergi melewati gang-gang sempit. Masuk ke kolong jembatan, di dalamnya berjajar
orang-orang yang seprofesi denganku. Tinggal bersamaku dalam rumah kardus.
“Adik mari ikut
sama Uda? Yuk Uda gendong!” Kataku sambil memegang tangan mungil, yang terasa
lebih dingin dari orang siap berhujan. Dia menangis lebih keras. Hingga mata-mata
di balik kaca spion sana
memandang ke pada kami. Beberapa saat kembali berlalu. Hanya sebagai basa-basi
yang tak lebih rasa perhatian yang pias sebelum kembali melejit. Dia
menghentak-hentakkan tangannya menarik dorong tanganku. Menyenangkan anak kecil
bukanlah bagian dari pekerjaanku, lebih tepatnya tak pernah. Seperti adik yang
tak pernah kudapatkan dari ayah dan ibu yang tak dikenal rimbanya.
“Lepaskan! Oummm um
um. Lepaskan! Lepaskan! Orang jahat! Lepaskan!” Dia menandang-nendang tanganku.
Meris juga mendengarnya.
“Uda bukan orang
jahat, Dik. Yuk!”
“Orang jahat! Lepaskan!”
“Kalau gitu mari
ikut sama orang jahat, Dik.” Canda yang boleh dikata tak pernah keluar dari
wajahku. Dingin terasa seperti dalam kabut dalam diriku.
Bagi siapa? Bagi aku anak jalanan. Bagi manusia yang
tinggal di alamat tanpa rumah. Tapi memang hidup harus bersosial, bagian kecil
di bagian diriku. Hanya itu. Yang kecil tempat mendapat kasih dari yang besar.
Yang tak punya tempat meminta pertolongan bagi yang punya. Hingga keputusanku
untuk membawanya adalah atas dasar kemanusia yag sedikit. Dari manusia
setidaknya ada sedikit hidup yang manusiawi dari sisi hidupku yang lain.
Dalam perjananan yang panjang kami hidup sebagai
gelandangan. Makan sebagai hasil dari perempatan jalan. Dia yang rutin
menggemas pagi sebagai pencaharian. Saat azan subuh baru saja berkumandang. Dalam
jalanan lengang, ada bingkisan yang sengaja dicampakkan malam, saat orang makan
di ampera ujung jembatan. Dia yang membawakan bingkisan ke dalam lorong
jembatan, ke rumah kardus. Beginilah hidup. Siapa yang mau menyesali, hanya akan
berlarut dalam penderitaan yang tak berujung. Semakin memikirkan tak lebih dari
keperihan yang hinggap dalam rasa lapar.
Mengalirkan air mata hanya akan memambah sungai meluap dalam hati. Tapi.
Ah, dia gadis yang malang
yang kutemukan diperempatan jalan. Bergelandang sepanjang jalan perempatan dari
angkot ke angkot. Dari sinisan ke sinisan.
Dia tak pernah tahu. Tak lagi mau tahu bapak atau ibu.
Hidup sudah mengajarkan menjadi tegar sebagai gadis kecil. Akan berlama
menyulam pagi hingga senja sepanjang lampu merah. Dia lupa bagaimana ia beribu.
Dia lupa apakah dia pernah punya ayah yang
pernah membuatnya lahir sebagai manusia. Sejauh manakah itu? Dia tidak tahu.
Ayah baginya adalah waktu yang mendidiknya dengan cara kasar. Ibu adalah subuh
yang ia jadikan mengumpulkan makanan sampah di seberang jalan. Sedang kasih
sayang telah lama ia tahu. Penderitaan adalah kasih sayang. Semakin perih hidup
di jalanan semakin berteka-teki dengan kasih sayang.
Gadis malang dengan piasnya yang
lebih dewasa dari umurnya. Tidak sempat seperti gadis-gadis kecil di luar sana, seperti anak TK yang
berada di seberang lampu merah sedikit melewati badan jalan. Gadis-gadis sana masih asyik bermain
dengan segala permainan; melompat-lompat kecil sepanjang arena, naik turun dari
seluncur besi yang didesain khusus bagi arena bermain, berayun ayu di atas
ayunan besi yang berjajar tiga buah. Tidak sempat ia demikian. Pernah juga
kusaksiakan wajahnya yang menatap keluar sana.
Sebentar berhenti di tepi pagar lalu kembali saat lampu merah berganti hijau,
berlari ke arah angkot-angkot baris depan, kemudian baris dua, kemudian baris
tiga. Yang demikian juga telah lama berlarut.
Tentang ibu yang ia
lupakan. Samakah denganku? Ibu suatu hal yang tak pernah hadir dalam diriku. Entah
bagaimana aku prosesnya lahir? Kabarnya aku sama dengan yang lain, kata orang
yang pernah mengasuhku. Aku didapatkan dalam kardus bekas dekat kali sedang mengeak.
Lalu pemulung memungutku. Kelak ia yang menjadi bapakku. Hidup dalam keterbatasannya.
Pada saatnya dia yang mengajarkan aku jadi pengemis di pesimpangan. Mengenal
hidup ini, hingga orangtuaku yang tidak sebenarnya orangtuaku meninggal tujuh
tahun yang lalu. Mungkin itulah yang mengajarkan aku peduli dengan orang lain.
Sedikit sisi yang tertinggal.
Hingga pada
akhirnya ia harus sendirian dari angkot ke angkot. Serupa dengan cobaan ataukah
lebih tepat ujian? Pada pagi yang buta itu.
Menjelang mentari terbit dari timur dan beranjak perlahan ke arah ia
akan kembali ke ujung laut kota padang. Inilah rutintas.
Serupa kabut dalam diri gadis kecil. Kubiarkan ia tertidur puas. Berselimutan
karton. Membiarkan wajahnya yang lugu sebelum semuanya terjadi. Melewati lorong
jembatan, melintasi sungai dua puluh meter membujur dari timur ke arah barat.
Gadis kecil yang sedang keletihan terbaring lemas. Aku tahu dia sakit, sakit
yang selalu ia rahasiakan.
Aku bergegas menuju
tempat pembuangan sampah. Mengail kehidupan dari bekas-bekas nasi yang terbuang
malam. Memilah mana yang masih bisa berada dalam keadaan basi sedikit.
Memisahkan antara bekas potongan tulang ayam yang masih ditempali sisa daging,
lauk-pauk yang padanya terbentuk bekas gigitan dan tulang menyembur di sebahagian.
Seperti yang lainnya bersaing dengan binatang mengambil apa yan bisa diambil.
Juga pengemis lain yang datang sebagai merecah kehidupan, mengisi lambung yang
kosong.
Pada pagi yang sesaat azan subuh baru saja lewat. Dengan
senyum yang sedikit tertahan. Seginilah yang bisa kuberikan gadis kecil. Biar aku
yang berjalan melewati bak sampah dan lorong jembatan ke arah pulang. Bingkisan
hitam di dua tanganku dengan potongan roti-roti berjamur, serta makanan sampah
sudah cukup menghilangkan rasa lapar yang mendulam dalam perut.
Dengan mengayunkan plastik maju-mundur sambil berjalan, orang yang kegirangan.
Kegirangan yang sampai persimpangan kembali ramai, saat rutinitas kembali
sebagai wajah senyum yang pasi. Dan jangan kau tanya apa yang terjagi?
Peristiwa yang menaaskan. Kalau aku menemukan tubuh kecil yang telanjang kalau
di selangkang kutemukan cairan kental. Itu sudah cukup meyakinkan. Gadis kecil
yang menangis menahan perih tak sanggup berdiri hingga ia biarkan terbuka
membuka pada alam. Menangis dan menangis. Saat itu apa yang bisa kuperbuat?
Dengan makanan yang sentak terjatuh. Orang datang. Aku di hajar. Kakiku patah.
aku lumpuh. Gadis kecil jatuh pingsan. Setelahnya aku datang menjemput
sebahagian riwayat, sebagai orang pincang di atas trotoar menunggu gadis kecil.
Demikian kisah ini dan kukatakan kepadamu agar kamu
mengerti. Gadis kecil yang berjalan melewati pintu dari angkot ke angkot kalau
di rahimnya bisa saja sudah berisi janin tiga bulan. lebih dewasa dari dirinya
anak ingusan. Maka saat nanti kau menemukan gadis kecil bermenung di bawah
gardu lampu merah sambil memegang perutnya. Itulah dia Sisyana. Gadis berambut
kucel. Dan orang-orang melejit seperti tak pernah mengenalnya.sedikit. Maka terserah kepadamu, apa kau akan memberi
uang lima
ratusan atau kau saja sama saja dengan mereka, melejit ke arah jalan utara atau
selatan melewati sungai membujur timur ke barat.* 2008