Cerpen Alizar
Tanjung
(Terbit di Tribun Jabar, 4 Desember
2014)
Sebenarnya
saya tidak ada tujuan ke Jakarta, maksud saya menara Monas. Hanya saja waktu
yang mengizinkan saya. Ya, tepatnya waktu. Sebab kalau tidak ada waktu yang
mengizinkan tentu saja saya tidak akan sampai di Monas subuh-subuh hari. Sebab
waktu yang membuat saya terdampar di stasiun Gambir jam tiga dini hari. Kenapa
bisa? Ya, kenapa bisa? Pertanyaan ini juga menghuni kepala saya.
Saya
sampai di Gambir, jurusan Purwokerto-Gambir pada jam tiga dini hari. Benar
sekali. Jam tiga dini hari saya kebingungan. Sebenarnya menurut jadwal saya
harusnya sampai jam empat pagi. Artinya saya cukup menunggu setengah jam sampai
waktu subuh masuk.
Menurut aturannya perjalanan Purwokerto-Gambir, delapan
jam dengan kereta. Saya berangkat dari stasiun Purwokerto jam sembilan malam
lewat seperempat. Sebenarnya saya pun bukan asli Purwokerto. Ke Purwokerto pun
hanya persoalan kekasih. Ah, kekasih, kekasih benar-benar membuat saya dimabuk cinta.
Tujuan sebenarnya TIM (Taman Ismail Marzuki). Ya, saya diundang dalam
penghargaan pemenang cerpen. Pekerjaan saya memang pengarang cerpen.
Orang-orang bilang cerpenis. Biar saja orang-orang bilang cerpenis.
Saya sampai di Purwokerto karena tidak ingin waktu
saya sia-sia ke pulau Jawa. Saya naik pesawat dari Bandara BIM Padang, Sumbar.
Turun di Cingkareng. Mengambil jurusan mobil ke Purwokerto di Kalideres.
Bertemu sang kekasih. Seminggu di Purwokerto, kembali ke Jakarta. Ya, di
Jakarta-lah kejadian aneh itu bermula.
Sialnya saya itu pertama kali ke Jakarta. Maksud
saya juga ke Purwokerto. Maklum kota-kota itu terlalu asing bagi saya yang
tinggal di pedalaman Sumatera Barat. Dan sampai ke Jakarta-Purwokerto-Jakarta
tak lebih sebagai keberanian cari mati. Cari mati! Saya lebih suka menamakannya
demikian. Kepergian saya tak lebih sebagai bagian dari nekat saja.
Sampai di Jakarta. Ah, jam tiga dini hari saya
berjalan menelusuri ke kanan. Berjalan dengan ransel di punggung. Dua puluh
menit saya sampai di Monas. Saya tidak begitu tertarik berdiam, di dini hari
yang masih kelam Monas tidak ubahnya hantu jahat. Saya teruskan jalan kaki
memutar setengah lingkaran. Saya sampai pada pagar-pagar besi, pagar-pagar besi
yang memanjang dan melingkar. Pagar besi yang kekar dan memiliki ketinggian
tiga meter.
“Malam, kerja-malam-malam Pak,” kata saya menyapa kepada
tiga orang yang sedang memasang keramik tempat duduk di depan pagar yang
melingkar. Seorang sedang melicinkan semen dengan kuas. Seorang mengaduk semen.
Seorang memasang keramik “Kenapa pasangnya malam-malam Pak?”
“Hidup Nak,” kata seorang yang sedang memasang
keramik. Saya teruskan berkeliling pagar besi. Hujan rinai, turun. Pada pagar gerbang
yang tingginya saya taksir empat meter, sebuah mobil traveling berhenti di
depan pagar. Beberapa orang asyik bercengkrama. Dua orang saya lihat merokok
sambil bersandar ke dinding gerbang. Saya tidak ingin ikut campur. Saya
teruskan berjalan dan pada menjelang gerbang kedua, saya menemukan seorang
meringkuk di bawah hujan rinai. Sedikit berteduh dengan kerobeng halte bus.
Lelaki kurus itu meringkuk dengan kain sarung menutupi separuh badan. Ah, ini
kota besar. Pada gerbang kedua, dua orang kembali saya temukan meringkuk di
bawah rinai. Seorang di bawah pos satpam. Seorang merapat ke dinding gerbang
masuk. Kota besar memang menyimpan banyak kisah.
Saya buka jam hp, masih jam empat dini hari. Sudah
satu jam saya rupanya berjalan.
Saya lanjutkan berjalan mengelilingi pagar.
Kemanakah pagar ini akan berakhir? Sampai pada gerbang ketiga, pintu gerbang
telah dibuka. Seorang baru saja membuka gemboknya. Saya beranikan bertanya.
“Maaf Pak, gedung apakah di dalam pagar tinggi ini?” Kata saya kepada seorang
yang lebih mirip ustad. Entah karena pakaiannya.
“Ini masjid Istiqlal, saudara.”
“Oh Masjid Istiqlal ya Pak?”
Isya
yang belum saya laksanakan sebelum berangkat dari Purwokerto saya tunaikan di
masjid itu. Apa namanya? Oh ya, Masjid Istiqlal. Setengah jam sebelum subuh
masuk. Selesai subuh saya kembali mengangkat ransel ke punggung. Bertemu
pengemis di pintu keluar masjid. “Abang orang Padang?” katanya. Saya
mengangguk. “kalau begitu kita sekampung.” “Darimana Anda tahu?” kata saya.
“Dari cara Abang bersikap dan berbicara kepada tukang parkir sepatu di dalam,”
katanya. “Abang, saya mohon pinjam uang lima ribu. Saya belum makan.”
Pinjam, ah, kemanakah akan ia balikkan? Mungkin ia
membalikkan kepada Tuhan. Saya pinjamkan uang sepuluh ribu. Ya, saya pinjamkan.
Saya pergi, berfoto, kembali memutar dan bertemu dengan Monas.
Pagi-pagi sekali saya menjulurkan kepala di Monas.
Jam enam pagi. Dua orang asyik berpose dari kejauhan di belakang saya. Seorang
perempuan muda berpose dengan sangat genitnya. Lidahnya menjulur. Tangan
kanannya menyentuh pipinya. Seorang laki-laki memotret. Mereka bergantian
saling memotret. Kemudian mengaktifkan tombol otomatif. Mereka berpose bersama.
Itu saya saksikan ketika kepala saya memutar tiga ratus enam puluh derjat
dengan sendirinya.
Orang-orang yang menyaksikan kepala saya berputar,
hanya berkomentar, “Anda pemain akrobati ya?” “Oh, sangat mirip dengan yang di
film-film.” “Maukah Anda mengajarkan bagaimana caranya kepada saya?” “Salup
untuk Anda.” Salup, oh, benarkah orang-orang itu benar-benar salup. Atau hanya
karena senang melihat ada sesuatu yang aneh saja. Saya abaikan orang-orang yang
memuji kepala saya. Saya sendiri tidak memuji kepala saya. Melainkan, ya,
melainkan merasakan aneh saja. Bagaimana mungkin kepala saya berputar.
Kepala saya itu lepas dari leher saya saat saya
memutar kaki hendak meninggalkan Monas. “Tinggalkan saya di Monas,” kata kepala
saya. “Anda silahkan pulang. Keluarga Anda sedang menunggu di Padang.”
“Maaf, Anda harus pulang bersama saya. Anda datang
bersama saya dan pulang bersama saya,” kata saya menarik kepala itu dari pagar.
Meletakkan kembali di leher saya. Saya rekatkan erat-erat di leher saya.
“Kalau Anda tidak meninggalkan saya, saya akan
melepaskan mata saya,” kata kepala saya. Kepala saya melepaskan dua bola mata
saya. Saya sungguh tidak percaya, bagaimana mungkin kepala saya melakukan hal
itu. Mata saya itu masuk ke balik pagar. Turun naik bak bola pingpong. Dua bola
mata kepala saya itu berdiam di pot bunga, di bawah lampu taman. Mata saya
memandang kepala saya yang bolong.
“Kalau anda tidak juga melepaskan saya, saya akan
melepaskan gigi-gigi saya. “Kepala saya melepaskan gigi-giginya. Gigi-gigi itu
menari di atas halaman taman. Gigi-gigi itu melompat bagaikan liliput.
Gigi-gigi itu berkumpul bersama bola mata. Saya tertegun di balik pagar. Apa
yang dipikirkan oleh kepala saya.
“Mari kita pulang,” kata saya mengambil ransel yang
bersandar ke pagar, meletakkannya ke punggung. Kepala saya memutar-mutar tidak
beraturan.
“Kalau anda tidak melepaskan saya, saya akan
melepaskan rambut-rambut saya.
“Anda ini gila!”
Kepala saya melepaskan rambutnya satu-satu. Rambut
itu serupa kumpulan benang hitam yang putus-putus. Makin lama rambut di kepala
saya makin habis. Ketika saya rasakan kepala saya dengan usapan telapak tangan
kanan, saya rasakan kepala saya yang licin.
“Anda ini neko-neko saja,” kata saya. Kemudian
kepala saya menyentak kuat. Dan saya tiba-tiba sudah melihat kepala saya
berkumpul dengan mata, gigi-gigi, rambut saya. Dua bola mata saya kembali masuk
ke lobang mata kepala saya. Gigi-gigi saya kembali tersusun miring di bagian
bawah dan rapi di bagian atas. Rambut-rambut saya kembali terbang dengan
perlahan dan menutupi kepala botak saya.
“Trimakasih,” kata kepala saya yang melihat saya
terpaku dari balik pagar.
Saya pulang dari Monas membawa kaki, tangan, dada, punggung,
leher tanpa kepala. Menyetop kopaja.
Sebuah kopaja berhenti di depan saya. Saya duduk di bangku nomor dua dari
depan. Saya tahu orang-orang sedang memperhatikan leher saya tanpa kepala.
“Kemana kepala Anda?” Kata kondektur.
“Kepala saya sedang mendirikan sejarah,” kata saya.
“Di mana?” Kata kondektur sambil meminta uang tiga
ribu. Saya keluarkan uang limar ribu. Kondektur membalikkan dua ribu uang
receh.
“Di Monas.” Kata saya.
“Kemana Anda membawa badan tanpa kepala?” Kata kondektur.
Oh, betapa tampak kurusnya kondektur itu dengan kumisnya yang tipis. Matanya
yang sipit. Giginya yang jarang-jarang dan kuning.
“Saya
pertemuan penghargaan pemenang cerpen di TIM,” kata saya mengeluarkan surat
undangan dari panitia penyelenggara lomba cerpen. Kondektur itu mangguk-mangguk.
“Anda seorang pengarang?” saya diam saja. “Anda
turun di depan. Anda nanti berjalan ke kiri. Nanti Anda akan melihat tulisan
TIM di gerbang pintu masuk,” kata kondektur sembari mengembalikan surat
undangan saya. Kemudian saya turun dengan tubuh tanpa kepala.
Sesampai di tempat acara penerimaan penghargaan,
saya katakan kepada panitia lomba, “Maaf saya datang tanpa membawa kepala saya.
Kepala saya meminta izin tinggal di Monas,” kata saya ketika registrasi di meja
panitia. Saya masuk melengggangkan tangan. Dalam pertemuan saya melihat
badan-badan tanpa kepala.
“Kemana kepala Anda, Bung?” Kata saya kepada peserta
yang hadir. Peserta yang hadir menoleh kepada saya.
“Kepala kami sedang mendirikan sejarah di Monas.”
Lebih mirip bunyi paduan suara. Saya pulang ke Padang dengan tanpa kepala, membawa
hadiah tropi, tabanas, antologi, dan tanda tanya. Tanda tanya kepala saya.***Padang, Oktober 2011-2014