Tempo 21 Juli 2013, Mata Cangkul Menyusup ke Pangkal

Puisi-puisi Alizar Tanjung

Sajak Alizar Tanjung
Kembang Tali Sepatu
 

pada perjalanan seperempat menuju lorong
di jantungmu, sebelum sampai
aku telah berhenti.
putus tali sepatu ini,
kembang berurai benangnya,
apakah karena pendakian
tidak pernah sampai,
atau karena detak jantung
berdetak di luar kebiasaan.
kira-kira tiga per empat lagi perjalanan ini
kenapa kembang bunga
yang tumbuh dari serpihan benang,
memusar, menjerat,
di nadi-nadi menuju jantungmu.
(padang, 2013)



Sajak Alizar Tanjung
Rumah Orang Mudiak
 
kau orang mudiak, aku tahu benar itu, penanam cabai
di tanah kubang, aku hafal benar bau tubuhmu.
aku orang hilir, tahu benar jalan ke sana, jelas benar
jejak kerikil di telapak kakiku, antara rumput sarut
dan rumput gajah, aku tanam tubuhku.
ada angin mudiak, aku tahu benar itu berarak ke hilir,
menelusuri tebing tubuhmu, seperti angin hilir
berara ke mudiak membawa kain panjang.
di hilir kusimpan angin darimu, di mudiak kau simpan
kain panjangku, panjang tak menutup badan,
tak terbungkus tubuhmu, tapi tak apa, ada aku datang
ke mudiak, apa kabar Mai.
(rumahkayu, 2013)





 
Sajak Alizar Tanjung
Percakapan Angin dan Jendela
 
angin bertemu ke jendela dengan tangan besar dan kasar,
ia tampar jendela, berdentang daun jendela kayu ke kusen.
berbalik jendela menampar angin, angin dan jendela berulang
saling tampar. angin dan jendela sama-sama tertawa.
lucunya pertemanan ini, pikir mereka.
air mata angin dan jendela tumpah karena tertawa.
“seberapa lama lagi kau setia menamparku,” ujar angin
sembari meringankan sakit di pipinya.
“selama perantau itu mengunci pintu dari luar.” jendela
memandang dirinya: papan, balok tipis melintang, paku,
gorden tua. “selama kau mencumbuku sehabis panas dan
hujan,” goda jendela mengedipkan mata.
diri jendela perlahan luntur, dia mencium bibir angin,
melepaskan hasrat bertemu, membiarkan daun di halaman
jatuh menimpa mereka, jatuh ke tanah, lebur.
(rumahkayu, 2013)
 

Sajak Alizar Tanjung
Buluh Pencongkel Gigi
 
dia seiris badan buluh, dipisah dari bilah, diraut tajam mata
pisau, terbentuk dia, runcing ujung dan pangkal, halus tubuh
padanya,
rupanya membentuk si berguna harus meraut tubuh sendiri,
ia sadari itu.
di meja makan ia ditaruh, ditating bersama piring, garpu,
sendok, gelas, serbet, berlagak dia sebagai si berguna,
tidak tahu dia arti si pencongkel gigi,
diambil jempol dan telunjuk dari meja, tak peduli ujung dan
pangkal mengorek sisa di sela tulang gigi, tumpu ujung dan pangkal,
tukang makan pergi, dia dibuang begitu saja dalam kebasuh,
air kebasuh dibuang ke comberan di got depan kedai nasi
orang padang.
(rumahkayu, 2012)
 

Sajak Alizar Tanjung

Mata Cangkul Menyusup ke Pangkal
 


aku melihat sendiri kayu itu diraut jadi tangkai cangkul,
bertemu mata kapak, mata pisau, batu asahan, pedih air,
yang diraut terbuang sudah, tinggal tangkai telanjang,
diasap, dikering, dipasang di punggung besi cangkul,
dipasak kayu kecil biar pas masuknya dengan rasa sakit
dipalu batu.
cangkul ini cangkul orang sini yang diasah dari tumpul
menjadi tajam, seperti menajamkan hidup sendiri
dengan panas, hujan, dingin, nyeri tulang malam hari.
kami cangkul tanah, urat kayu, batu terselubung,
masa depan yang abu-abu di balik masa lalu yang ditimbun
kenangan garis perih telapak dan telapak tangan.
aku melihat sendiri mata cangkul ini kembali tumpul,
bertemu batu, serupa tumpul hari depan yang menimbun
kepala kami yang sesak, anak-anak yang katanya susah
mendapatkan tangkai cangkul yang bagus, tangkai pena
katanya tidak pas, kami asah kembali mata cangkul
yang tumpul, tapi perlahan mata cangkul itu menyusup
ke pangkal, hilang dan habis.
(saranggagak, 2013)
 

Sajak Alizar Tanjung
Jarimu Manis
jarimu manis, apa yang kau ikatkan?
bentuknya cincin bermata limau manis,
kadang-kadang lebih mirip mata kucing,
dipikir-pikir mirip pula
lumut merah.
limau manis berpituah
semakin cerah rona engkau,
mata kucing berpituah makin jelas gelap ini,
tapi ini si mata kucing buatan,
serupa perkiraan ini lumut merah.
tapi aku tulang dan daging
ditautkan kau pada sakit daging dan tulangku.
(padang, 2013)



Alizar Tanjung tinggal di Padang. Ia pernah belajar di IAIN Imam Bonjol, Padang.
Lebih baru Lebih lama