Airmata Sunyi

Cerpen Alizar Tanjung
Note: Terbit di Singgalang, Minggu, 26 Juli 2009


           
Tentang airmata. Entah. Sunyi tidak tahu kapan tidak lagi mengalir. Tidak ia ingat dengan jelas kapan Sunyi benar tidak lagi meneteskan airmata. Entah apa dan kenapa ia sudah benci dengan tangis. Tangis hanya derita. Semakin banyak tangis semakin banyak derita. Sebab itu ia tidak lagi menangis. Dari tangis beranak pinak kepedihan. Dari kepedihan hanya sifat orang-orang lemah. Begitulah penilaiannya dan sekarang ia menjadi orang kuat. Ia orang kuat. Ia tidak menangis bearti ia orang kuat. Dengan tidak menangis menurutnya tidak lagi ada derita, tidak lagi ada kepedihan, tidak lagi ada orang yang lemah. Hanya sebatas pendapatnya, tapi ia yakin tidak ada yang keliru. Ia, tidak ada yang keliru. Sunyi benar, tidak ada air mata bearti lenyap kesedihan. Dan melenyapkan kesedihan sudah belajar menjadi orang hebat.
            Seperti saat ini Sunyi menjadi orang kuat di rumah ini, di rumahnya. Maka ia tidak pernah lagi meneteskan airmata. Dalam kuatnya ia lihat keluar jendela. Ia biarkan terbuka. Entah dari kapan? Hanya Sunyi yang bisa menjawab. Tapi ia takkan menjawab. Siapa yang bertanya? Ia hanya sendirian. Dalam kesendirian, sudah terbiasa. Ia tatap keluar, tanpa pernah lagi ia sentuh kacanya. Tentu saja berlumut. Tidak salah memang, ada bekas hujan menghijau sepanjang sudut jendela. Sepanjang kaca itu mulai kabur, kabur bersama hujan yang memancar pada jendela. Bukan saat ini tentunya, alasannya sudah tahunan hujan datang. Tapi ia tidak harus bersama hujan, atau melihat hujan. Ia benci hujan, hujan sama seperti airmata. Hujan itu turun tidak pernah tanpa suara. Selalu saja ada suara, semua serentak. Maka tidak lebih dari tangis. Hujan menangis, ia tidak suka tangisan. Sesuatu yang tangis terlalu lemah. Dan ia menjadi orang kuat di kursi rotan tua. Rotan yang lama menemaninya.
            Maka ia ingat segala kenangan pahit, tidak lagi sebagai luka. Sudah bosan ia menyebutnya demikian. Luka hanya sesuatu yang bodoh. Sama dengan tangis. Ia hadapi sendiri dengan tanpa airmata. Ia kuasa jika airmatanya tidak pernah menetes. Semakin ia tak pernah menetes, Sunyi semakin leluasa memaknai hidup. Ia memaknai hidup, Sunyi yang lebih sunyi dari namanya. Seperti sekarang ia lihat matahari seperempat di barat. Dari rumahnya, rumahnya menghadap ke barat sedikit menjorok ke barat daya. Tak perlu ia susah-payah. Ia tegar seperti matahari itu, walau sebentar lagi ia akan tenggelam. Tenggelam. Meninggalkan siang. Tapi Sunyi tak akan tenggelam dengan matahari. Sunyi lebih kuat dari matahari.
            “Kenapa kau tinggalkan aku dalam kesepian panjang, Mas. Terlalu dalam kuhayati hidup ini. Dan kau lihat Mas, sekarang aku telah tenggelam di rumah ini. Kenapa Mas begitu cepat luruh dari hidup ini. Dan kau bergegas pergi. Pergi jauh. Pergi takkan pernah kembali. Telah kau tinggalkan segala sepi bersamaku. Di kamar ini Mas, di kamar ini aku harus mengingat-ingat tentangmu. Tentunya kau tahu Mas, akulah yang seharusnya pergi. Bukan kau! Kau mungkin senang di sana, Mas. Aku di sini telah mengajarkan untuk tegar dengan derita. Aku selalu berada dalam kabut. Dalam kabut rumah ini, kabut yang tak pernah berhenti, kabut yang takkan pergi jauh dari rumah ini. Kau tahu, Mas. Kabut itu datang beriringan kepergianmu, Mas,” Sunyi bicara. Bicara dengan angin. Bicara dengan dinding. Bicara dengan sunyi. Sunyi bicara dengan masnya. Masnya dalam angannya. Sunyi mengungkapkan kabutnya, kabut paling jahanam dalam hidupnya. Kenapa harus tinggal? Kenapa? Sunyi tidak tahu jawabannya. Sunyi menceracau sendiri. Ia biarkan jaring-jaring lawah ruang mendengarnya. Ia biarkan kain putih menutupi perabotan rumah mendengarnya. Rumah itu seperti mati, tak ada penghuni, begitulah kesannya. Tapi di sana ada Sunyi.  Sunyi menelan kabut. Sunyi yang selalu manatap keluar jendela.
            “Kau sungguh tak adil, Mas. Tapi. Ah, untuk apa mau dibahas. Kau sudah melupakanku, Mas. Kau lihat bingkai foto dua bersanding di dinding itu, Mas. Itu kita, kita yang mengeja cinta di bahtera rumah tangga. Kita yang dulu bermain kejar-kejaran di pantai di depan rumah kita, Mas. Kau lihat kan Mas. Sudah kuserahkan hidupku kepadamu, Mas. Dengan sengaja atau tidak kau sudah menjadi bagian hidupku, tepatnya aku yang menjadi bagian hidupmu. Dengan demikian kau bertanggung jawab terhadapku, Mas. Tapi lihat tuh sekarang? Lihat aku Mas tanpa dirimu. Padahal aku menunggu Mas. Tidak. Aku tidak akan menangis, tak ada tempat bagiku untuk menangis. Menangis buat orang-orang lemah, aku orang tegar. Orang tegar dalam kabut. Tentu kau mengerti Mas mengapa aku begini. Karenamu, Mas. Waktu telah mengajarkan untukku mencicipi duniaku, dunia kabut.” Sunyi tidak akan puas. Sunyi akan terus menceritakan hidupnya. Ia ingat bagaimana pertama kali berkenalan orang lain. Sunyi tidak akan berhenti mengingat orang lain itu. Dalam bingkai foto itu lah orang lain itu sekarang. Orang lain yang membuat Sunyi tinggal di rumah ini. Sendirian.
            Sunyi tahu persis di ujung pantai ini. Ia bertemu. Dua sejoli yang mempertemukan perasaan. Pantai ini saksi. Pasir ini pasti menyimpan cerita, cerita anak manusia. Dua puluh tahun yang lalu. Sunyi yang masih suka meneteskan airmata. Sunyi beranggapan bahwa tangis dapat menghilangkan rasa gundah. Dengan menangis ia dapat menghilangkan rasa sunyi. Dengan menangis ia hilangkan rasa sedih. Sunyi wanita yang gampang menangis. Di pantai ini Sunyi menangis bersama gelombang. Suara tangis Sunyi tak kalah sedunya dengan bunyi gelombang bersama batu karang. Dengan tangis Sunyi membuat dunia sendiri. Tapi lihat sekarang, Sunyi tak meneteskan airmata. Lihat tak lagi bekas di matanya. Sunyi yang sekarang sunyi yang benar menjahui airmata.
            “Kau lihat kursi di sudut ruang itu, Mas? Itu kursi Mas. Di sana kau sering memandang laut. Kau biarkan laut berkejar-kejaran dalam matamu. Aku akan senang melihat tingkahmu, Mas. Dan kubawakan gorengan pisang paling enak, buatan tanganku sendiri. Kuambil secangkir kopi di sore-sore begini. Kuhidangkan di mejamu. Sambil memandang laut, asap kopi mengepul ke langit-langit rumah. Dan sekarang tanpa kau di kursi rotan itu sudah cukup melelahkan bagiku. Perempuan yang tak bisa menerima keberadaanmu di dunia lain. Seharusnya aku yang pergi duluan. Agar aku senang menunggumu.” Sunyi memandang sudut rumah itu. Entah. Entah sudah berapa lama kain itu menutupinya. Ia diamkan suaranya sebentar.
Kembali Sunyi pandang laut. Di sana ia menemukan burung-burung sebangsa elang menangkap ikan. Terbang tinggi, melayang-layang, menancap dalam air. Burung itu gembira sekali. Tidak seperti Sunyi. Sunyi diam. Dia pandang laut ada gelombang menghempas batu karang. Pecah. Kembali berulang gelombang pecah yang sama. Dia pandang anak-anak pantai mengejar ombak. Berenang, tertawa, berenang, tertawa. Sunyi diam. Dia geser kursi rotan. duduk.  memandang laut. Dia biarkan kakinya menjulang sandaran jendela. Dia biarkan angin menggerakkan kain roknya. Sekarang Sunyi lebih tua dari umurnya. Kepala empat. Sunyi tatap kaca jendela, dipersilahkan aroma laut menyentuh wajahnya. Wajah kehilangan senyum, wajah kehilangan tangis.
            Sunyi bicara. Pada siapa? Masih pada sunyi, pada dinding, pada kaca, pada angin. Tidak ada masnya. Mungkin masnya datang dalam kabut. Di belakang sunyi. Memegang kursi rotan. Memandang laut, membelai rambut sunyi yang sudah berubah warna di sebahagian tempat. Sunyi tahu, terlalu perih untuk menerima kepergian mas. Takkan dapat ia terima. Sampai kapan? Entah sampai kapan. Sunyi takkan mampu menjawab. Ia, lagian takkan peduli dengan hidup. Dengan airmata? Airmata juga takkan mampu menjawab. Sunyi sudah mendurhakakan airmata untuknya. Dengan tangis? Sama saja tak ada beda keduanya. Dengan sunyi? Ia hanya dengan sunyi akan mampu menjawab. Habis sunyi mungkin sampai di sana riwayat hidup? Benar, mungkin sampai di sana dia akan berhenti.
“Kau sangka enak, Mas! ditinggalkan sendirian di tepian pantai ini. kau pergi ke laut.  Katamu menyelamatkan korban Tsunami Aceh yang menimpa Kota Serambi Mekah itu 26 desember 2004, 26 Desember yang luka. Aku tak mengijinkanmu. Kau tetap bersitegas. Aku larang kau sekali lagi dengan wajah harap cemas agar kau mau mengundur keberangkatanmu. Setidaknya untuk melepaskan bulan madu kita yang baru berjalan lima bulan. Aku mengemis berharap kau memahami perasaanku. Aku pegang tanganmu. Kau angkat bahuku hingga sejajar denganmu. Kau sekap airmataku. Ia, saat itu aku adalah orang yang gampang mencurahkan airmata. Aku semakin meneteskan airmata. Kau rangkul aku dalam pelukanmu. Aku menurut. Basah bajumu oleh airmataku. Tapi itu tinggal kenangan, Mas. Ah, keputusanmu sudah cukup jelas untuk semua itu.
Dinda Sayang, Mas pergi hanya sebentar. Percayalah! Mas Insya Allah akan kembali setelah urusan Mas dengan anak-anak dan para korban di sana selesai. Mereka butuh perhatian dari kita. Kita lah saudara mereka satu-satunya setelah keluarga mereka berangkat ke laut. Keluarga mereka sudah berangkat ke dunia lain. Tangisan mereka adalah tangisan kita dan airmata mereka adalah airmata kita. Kepedihan mereka adalah kepedihan kita,’ kata Mas panjang lebar. ‘Tapi… Mas….’ aku meneteskan airmata semakin deras, bukan lagi sebagai gerimis. Tak mau aku melepaskan pangkuan Mas.
‘Ssst. Percayalah tujuan Mas baik, baik buat mereka, baik buat kita, baik buat calon bayi dalam kandunganmu itu,’ kata Mas menggodaku. Godaan itu terlalu sulit kuterjamahkan ke dalam senyum. Dan kau benar-benar pergi.” Sunyi mengingat semuanya, semua yang bisa ia ingat. Ia goyangkan kursi rotan, terdengar irama derit. Irama yang pedih seperti pedihnya irama hidup yang harus dijalani Sunyi. Sunyi diam sejenak. Ia tarik nafas pelan-pelan kemudian lepaskan pelan-pelan. Ia tarik lagi, ia lepaskan kembali. Ia tarik lagi, ia lepaskan lagi. Sunyi tidak bisa terima kepergian suaminya begitu saja. Terlalu berat. Terlalu berat beban hidup ini dipikul. Mengapa tidak ia yang duluan pergi ke laut, begitulah yang selalu terpikir olehnya. Setiap ia membuka kain penutup kursi rotan. Duduk. Setelahnya ia tutup lagi. Dan seperti dulu-dulu.
            “Kau menyesal dengan kepergianku ke negeri mereka, Dinda?”
Tidak. Tidak ada orang lain di sampingnya. Hanya ia sendirian. Tidak. Ia tidak gila. Ia yang bicara sendiri, ia yang menjawab sendiri. Setelah ia puas ia akan kembali merenung. Kadang ia menjadi dirinya. Kadang ia menjadi orang di sisi lain. Kembali ia pandang foto terpancang di dinding. Hanya peninggalan dan warisan abadi sampai hidup ini ada yang menjemputnya. Dia bicara dengan foto itu.
“Tidak! Tidak! Aku tidak menyesal dengan kepergianmu ke tanah seberang. Ke tanah itu telah kau alamatkan tujuan. Sama sekali aku tidak menyesal atas dasar kemanusian. Aku sudah lihat mayat-mayat bergelimpang tanpa busana dalam tubuh televisi, aku telah lihat puing-puing merapung pergi ke laut. Aku telah lihat tangisan yang menggebu bagai orang bertanding. Bersamanya anak-anak menghapus airmata. Bersamanya telah kusaksikan para relawan mengungkit mayat-mayat dari timbunan puing-puing gedung. Telah kusaksikan kota itu bersih dari pemukiman. Tidak. Tidak. Aku tidak menyesal kau berada di tanah seberang. Lalu apa yang aku sesalkan sepanjang perjalanan hidup yang tinggal sisa? Ah apa aku harus menjawab. Kau tahu Mas betapa aku merindukanmu. Seberapa besar? mungkin sebesar gelombang di lautan.” Sunyi kembali diam. Ia lihat anak-anak pantai masih di sana. Ia lihat tawanya. Ah, tawa mereka terlalu pahit bagi Sunyi. Ia lihat kaki-kaki mungil menendang-nendang ombak. Ombak paling menyepikan hidup Sunyi. Ombak mula mempersilahkan suaminya pergi ke laut. Melewati pulau, menyeberangi lautan.
“Dan kau, Mas. Kau tinggalkan aku menengguk rindu. Waktu yang sebentar yang kau janjikan tidak pernah berkurang dari yang sebentar. Sebentar untukmu menungguku setelah kau pergi ke laut. Tapi waktu yang sebentar itu tak lagi pernah kudapatkan dari dirimu. Dari waktu yang sebentar hingga ia berubah menjadi kesepian. Kesepian yang menjalar semacam parodi tali layang-layang. Semakin lama semakin banyak saja tali yang naik menuju langit. Semakin tingkat inginnya pada angkasa. Maka tinggallah pemintal di pangkal tali. Tak sadar saja tali itu terputus di pangkal layang-layang. Dan kau Mas…,” Sunyi tersendat. Ia menakur sejenak. Kembali ia angkat wajahnya. Ia tidak tahan. Ia pandang seluruh ruang. Ia pelototi cap dinding orange yang tak pernah lagi berganti. Sunyi sudah semakin sunyi.
“Dan kau, Mas pergi ke laut bersama mereka. Setelah yang aku dapat kabar dari penjaga pantai ini. Saat ia terburu-buru menuju rumah ini. Dengan langkah terbirit-birit. Dia ujarkan kepadaku perihalmu, perihal kapalmu. Perihal angin badai. Ah, betapa bagaimana aku bisa menerima. Kalau kau harus pergi selamanya sebelum kau sempat sampai ke serambi itu. Mas! mengapa tidak aku yang pergi ke laut? Mengapa kau tinggalkan kesepian ini? Kau tahu betapa aku lebih lama menahan sepi dan kuburmu pada laut yang tak menentu semakin memperdalam sepi ini. Sedang janinku….” Sunyi kembali diam. Sunyi tegar. Ia tidak menangis. Jangan bilang ini tangisan, ini telaga sunyi di hatinya.
“Janinku gugur bersama sunyi dan air mata yang menghanyutkan. Sepanjang malam dan bunyi gelombang yang menghempas batu karang. Ah, sudahlah kau tak akan mendengar. Tidak! Jangan katakan kau mendengar. Sudah, lupakan bagi dirimu di alam sana. Ini adalah sisa hidupku dalam sunyi.” Ia pandang laut yang sudah gelap. Tak lagi terlihat tawa anak-anak pantai. Hanya ada bunyi gelombang yang menghempas batu karang. Ia biarkan jendelanya sebentar disapu angin laut. Kembali ia diam. Ia tutup jendela. Ia nyalakan sebatang lilin dekat kursi rotan. Ia duduk dan berjuntai. Entah. Entah jam berapa malam nanti ia kembali menutup dengan tirai putih sebelum ia tidur.
 Di pantai, ombak akan terus berkejaran.  
***
            Konon kabarnya, lama setelah itu orang-orang semakin ramai membicarakan. Sepasang foto pengantin di rumah pantai. Pada matanya airmata bewarna darah yang mengalir. Dan hanya orang-orang singgah sebentar, kemudian berlalu.***Lingkarputih, Juli 2009
Lebih baru Lebih lama