Oleh Alizar Tanjung
Diterbitkan, 2 Februari 2014
Hujan. Hujan. Hujan. Saya sering mendengar
kata-kata hujan belakangan ini. Kata-kata itu saya dengar dari mulut saya
sendiri. “Hujan lagi hari ini. Besok pasti juga hujan. Besoknya hujan lagi.”
“Kapan ya hujan akan berhenti?” Saya pikir dia akan berhenti setelah puas turun
ke bumi dan bermain-main dengan orang-orang di bumi. Pasti senang sekali hati
hujan.
Tetangga saya juga bilang hujan ke hujan saja. Kadang dia mengupat-upat.
Habis bajunya yang telah dijemur, basah karena hujan. Ulang lagi menjemurnya
besok hari. Kalau besok hari hujan tidak berhenti, bearti harus menjemur lagi
esok harinya. Menjengkelkan.
Saya di kamar rumah saya juga menghujat sendiri.
Rumah saya dekat sawah, banyak genangan airnya. Kalau hari sudah hujan dan
tiba-tiba panas, nyamuk serentak saja jadi banyak. “Benar-benar gatal kulit
daging saya. Nyamuk sialan.” Kalau dirunut peristiwanya ya yang kena hujan
lagi. Mungkin hujan melakukan banyak dosa, sebab itu dia turun tidak pandang
bulu. Mau lebat mau tidak, terserah dia.
Belakangan kampung saya yang menghujat-hujat
dirinya. Hujan tiada henti beberapa bulan belakangan. Bahkan kabut kelam
semakin marak. Jarak pandang di daerah Dusun Karangsadah, Kecamatan Danau
Kembar, Kabupaten Solok, hanya berkisar 10 sampai 20 meter. Pagi kabut siang
hujan, para petani mengeluh tidak bisa ke ladang. Mereka harus bertanam lobak,
cabai, kentang, bawang, namun karena hari penghujan jadi mereka mengundurkan
niat untuk bercocok tanam. Meski terkadang hidup mereka begitu-begitu saja.
Ah, tapi belakangan mereka bersyukur pula karena
hujan. Mereka tahu Jakarta, Bandung, dan daerah sekitarnya dibanjiri hujan.
Bahkan ada yang mati terseret karena dibawa banjir. Medan juga dilanda banjir
yang berkepanjangan. Ketinggian air mulai dari setengah meter sampai ada yang
dua meter. Manado malah meninggal 15 orang gara-gara banjir. Pesisir Selatan
kemarin juga dilanda banjir. Kata seseorang yang di sana, jembatan di rumahnya
di Dharmasraya sana juga ambruk ulah hujan. Mereka bersyukur bukan karena
daerah lain banjir, melainkan karena harga sayur-mayur melonjak naik. Harga
tomat menjadi delapan ribu satu kilogram. Lobak menjadi seratus tujuh puluh
ribu satu karung. Hal ini karena pasokan dari Jawa, Medan, berkurang, terhalang
banjir.
Kemarin saya pulang dari membeli buku di Toko
Gramedia Padang. Pas saya masuk toko buku hari sedang baik-baik saja. Ketika
saya keluar toko, rupanya hujan sudah berhenti. Ketika saya melewati Batang
Kuranji, air sungai Batang Kuranji sedang bergulung denga kayu-kayu dari hulu.
Saya taksir lebat benar hujan di hulu.
Hujan. Hujan. Hujan. Hujan rupanya tidak hanya
meributkan saya, tetangga, petani di kampung. Belakangan ini TV makin nyinyir.
TV berkicau dan terus berkicau. Kicaunya
tentang Hujan. Puisi Sapardi Djoko Damono juga berkicau tentang hujan “Hujan
Bulan Juni”.
Telinga saya makin nyaring saja mendengar hujan.
Sekarang tidak hanya air yang menjadi hujan di telinga saya. Suara-suara para
reporter TV juga menjadi hujan di telinga saya. Kicaunya ya seputar hujan yang
mengguyur Jawa. Gubernur Jawa Barat menolak bahwa banjir di Jakarta adalah
kiriman dari Jawa Barat. Jelas saja dia menolak disalahkan daerahnya sebagai
penyebab malapetaka.
Rupanya hujan sudah menjadi masalah lama bagi
Indonesia. Ternyata masalah banjir di daerah Jakarta telah melanda semenjak
zaman kolonial. Belanda membangun kanal untuk mengatasi banjir. Eh, rupanya
banjir juga nggak mau berhenti-henti mencintai Jakarta. Padang juga sama. Masih
ingat peristiwa galodo di Bukit Tui, atau banjir di Batu Busuak?
Oh, hujan, hujan apa yang salah dengan dirimu.
Baik, aku ingin meninggalkan dirimu sebentar. Belakangan selain hujan air,
hujan hujatan yang makin panas pula. Semalam saya mendengar Johan Budi meminta
ke Karni Ilyas ketika acara berlangsung, “Jangan Potong”. Johan Budi lagi
bicara menanggapi pembicara yang meminta KPK dibubarkan saja. KPK dihujat tidak
benar menjalankan proses peradilan. Kemarin-kemarinnya saya juga mendengar
hujan rakyat yang meminta Anas digantung di Monas. Sebelum-sebelumnya saya juga
mendengar SBY yang dihujat loyo. Ya, saya capek sendiri juga dibuatnya. Kasihan
juga saya kepada hujan dan hujatan-hujatan itu.***Padang, 2014