Cerpen Alizar Tanjung
Terbit di Berita Pagi
Ibu bilang ibu dulu sering mengunjungi pincuran batu. Pincuran yang
mengalir dari dalam batu. Kenapa ibu katakan demikian aku tak tahu. Aku sendiri
tak pernah melihatnya. Tapi ini benar. Kata ibu pincuran itu pincuran air yang
tak pernah kering. Biar panas biar hujan airnya tidaklah berkurang dan tidaklah
bertambah. Biar hujan biar panas airnya tidaklah berubah warna. Jernih dan
terasa manis. Kata demikian aku juga tidak tahu.
Kata ibu, air
pincuran yang deras. Memancar lalu membuat kolam kecil di bawah pincuran pas
dekat air berlabuh. Air itu mengalir ke hilir. Entah ke hilir yang mana yang
dimaksud ibu. Yang jelas air itu mengalir ke hilir. Dari hulu batu sampai ke
hilir, kata-kata orang juga terasa manis. Demikian ucapan ibu.
Yang manis dalam kanak-kanakku kalau aku masukkan
sesendok gula ke cangkir, lalu ditambah teh saringan, diaduk dan didinginkan.
Yang manis menurutku serupa ibu menggiling tebu yang ditarik kerbau. Airnya
disaring. Pas warna kuning pucat. Sedikit-sedikit busanya, lalu disedup. Yang
manis menurutku juga serupa air kelapa yang dibeli ibu dari pakan sekali
seminggu. Biar tua tapi tetap saja airnya enak. Menggiurkan dan ingin minta
ditambah.
Ibu katakan air itu memang manis. Ibu pernah
mencicipinya dalam masa kanak-kanak ibu. Tentu saja ibu juga sebesar aku kata
beliau. Umur lima
tahunan. Berambut di kepang dua. Hanya saja bedanya aku anak laki-laki ibu sedang
ibu anak perempuan nenek. Yang pasti kata ibu. Ibu dulu seorang anak yang
penurut sama nenek. Setiap nenek pergi kepincuran batu pagi-pagi sekali. Saat
yang mula-mula bising di atas bumi adalah ayam. Saat itu ibu juga ikut pergi. Ibu
katakan bahwa ibu senang ikut sama nenek. Seperti aku ini dan ibu. Tentu saja
nenek tidak setua yang sekarang. Nenek juga semudah ibu yang sekarang. Setiap
ke pincuran hal yang pertama-tama di lakukan ibu-ibu berkumur-kumur. Kumur tiga
kali. Tapi aneh memang. Ibu berkumur-kumur dua kali yang dibuang. Berkumur
ketiga langsung ibu telan. Saat nenek tanya kenapa ibu menelamnya. Ibu
sampaikan ibu sangat suka airnya.
Cerita ini disampaikan ibu ketika aku duduk di rumah
batu. Tepatnya rumah yang alas pondasinya adalah batu. Sedang tiang-tiangnya
tiang kayu bersegi empat. Lantai, dinding, sanggahan atap tetaplah kayu. Rumah
ini dinamakan Rumah Gadang. Sebab ukurannya mamang yang besar dan bentuknya
yang unik. Serupa tanduk kerbau dan punya kolam dan halaman. Di depannya
berdiri bangunan kecil tak berdinding, tempat orang menumbuk padi. Tentu saja
ada cekungan kayu tempat orang menumpahkan padi yag masih bersekam. Ibu
menamakannya rangkiang.
Aku duduk di tangga sehabis bermain di halaman depan.
Ibu datang dari belakang. Tanpa suara ibu duduk bersampingan denganku. Ibu
rangkul aku kepelukan pahanya. Aku diam dan merebah manja di paha ibu. Ibu
kresik-kresik kepalaku. Seperti kebiasannya mencari kutu rambut. Tapi yang
jelas bukanlah demikian tujuannya. Bukankah kedekatan anak dan orang tua
terjadi dalam bentuk yang bermacam-macam, berbagai fariasi yang terjadi tanpa
disadari. Menjadi suatu yang lumrah. Saat itulah ibu mulai bercerita.
Hari masih sepenggala dari ufuk timur. Pasnya pas
menantang matahari. Melihat maligai cahaya itu datang pada jendela.
Ibu bilang ibu sangat bahagia ketika merengguk air ke kerongkongan
pada kumur-kumur yang ketiga. Betapa manisnya, betapa sejuknya, betapa ibu
ingin mengulang masa kanak-kanaknya. Tentu saja kalau bisa kembali ke masa itu
dari cerita ibu akan ia bawakan air itu untuk pula kucicipi. Tapi itu tidak
mungkin. Mana ada waktu yang berbalik arah dalam pikiran kanak-kanakku. Mungkin
juga sama dengan pikiran ibu. Barangkali ibu ingin mengatakan saat itu, ‘Itu
hanya bisa kuangankan saja lagi anakku.’ Cerita itu tidak bisa kunyatakan
kepadamu.
Kutanyakan kepada ibu, “Seberapa manis air itu, Ibu?”
“Seberapa manis anakku! Entahlah. Ibu tak tahu seberapa
manis. Hanya bisa ibu bayangkan dan angankan bahwa ia sangat manis, Sayang. Air
yang keluar dari air batu itu air yang sangat jernih dan sangat memikat kerongkongan.
Ibu menelamnya maka dari pagi sampai sore manisnya masih juga terasa.”
Aku terkagum-kagum mendengar ucapan ibu.
“Lanjutkan Bu! Lanjutkan Bu! Lanjutkan Bu!” pintaku. Ibu
kibaskan penutup kepalanya yang dikibas angin hingga sampai terlihat rambutnya.
Ibu kalau sudah duduk di jenjang serupa menunggu orang lalu. Pada hal tidak ada
yang ditunggu. Tapi demikianlah sikap ibu yang serba unik. Setiap duduk di
jenjang dan kebutulan ada aku. Ibu lanjutkan cerita yang belum usai. Kerangka
dan kronologis cerita yang masih terbengkalai.
Ibu akan bercerita tentang asal dan mula. Tentang batu
yang sudah melegenda. Kenapa bisa? Kenapa tidak. Setiap kejadian ada musababnya. Tentu juga
kejadian Pincuran Batu juga ada musabab dan kurenah. Orang-orang sangat percaya
itu seperti percayanya ibu. Kalaulah tak dapat dijawab dengan logika, dengan
intuisi semuanya dapat dijawab.
***
Sini ibu carikan
kutumu. Kau sudah besar tapi tetap saja berkutu. Lain kali kau harus lebih
sering mandi
Anak ibu kau kini anak ibu tersayang. Cinta tiada
terbilang. Tumbuh dan hidup terus berkembang. Duduklah kembali bereskan cerita
Pincuran Batu, yang belum selesai anak ibu simpan satu-satu.
Suatu kala hiduplah tuan raja negeri makmur. Dilingkar
bukit di pagar hutan-hutan lebat. Di tengah pulungan berdiri megah gedung diapit
menara enam segi pada empat titik. Itulah yang dikabarkan sebagai kerajaan
negeri Makmur. Hidup bahagian dari cara, asal kita mau membangun bangunan-bangunan bercakar
langit.
Tuan raja punya seorang anak cantik nan jelita.
Berkeinginan orang tua mencarikan jodoh untuk sang anak. Tuan raja laksanakan
sayimbara untuk calon minantu tuan raja. Orang-orang sekampung diundang. Masih
ada yang bisa terjalang masih di sanalah surat-surat itu berdiam diri. Serupa
titah. Tepatnya begitulah.
Sayimbara di mulai anak-anak raja masing-masing utusan
negeri datang. Berpakaian rapi dan berpakaian bangsawan. Kecuali satu seorang
laki-laki yang rambutnya panjang sebahu, tebal dan hitam. Tamu-tamu penting duduk
di atas kursi bambu yang disediakan sang raja di sekeliling gelanggang. Pas di
atas bukit berhutan mengelilingi curam air. Tak terkecuali para petarung. Para petarung duduk kiri-kanan sang raja.
Raja sampaikan peraturannya. Maka bagi siapa yang bisa,
ia berhak dapatkan hadiahnya. Bagi siapa yang merasa kalah tidaklah ia berhak
membuat kerusakkan dalam negeri. Sayimbara ini sayimbara untuk sebuah kesucian,
begitulah titah raja sebelum sayimbara benar dilakukan.
“Bagi siapa yang bisa membuat batu itu mengalirkan air.
Ialah yang berhak menjadi calon bagi istri anak saya,” begitulah kata raja.
Batu yang berbentuk serupa cermin besar tegak di depan
curam. Dulu batu itu tak taklah menjadi tersohor. Kecuali setelah terjadinya
musim panas yang panjang. Di bawah batu pas di kakinya mengalit air yang
tidaklah besar dan tidaklah kecil. Lama kelamaan batu yang dinamakan orang batu
cermin menjadi pembicaraan buah bibir.
Tapi begitulah agaknya nama batu berubah dengan nama
lain. Tapi agaknya orang-orang belumlah tentu menemukan jawabannya. Sampai terjadi
sayimbara. Apalagi ini tradisi raja-raja. Kalaulah hendak carikan suami buat
anak tercinta, orang kehormatan haruslah adakan sayimbara. Adakalanya adu
kekuatan dalam menggunakan pedang. Adakalanya mengalahkan binatang raksasa yang
dipercaya sebagai penguasa hutan. Adakalanya mencabut pedang yang tertambat
dalam batu. Dan adakalanya seperti sayimbara kerajaan Makmur. Membuat air
keluar dari batu.
Satu-satu anak raja negeri mulai masuk ke langgang.
Sedang tuan putri duduk di samping tuan raja kerajaan Makmur. Menghadap ke curam
lembah.
Anak muda berpedang panjang berdiri menghadap batu. Ia
buka pedang sambil berjalan turun masuk curam bertangga batu, bersusun rapi. Ia
diam sejenak sambil menatap langit. Mulutnya komat-kamit, sesudahnya menunduk
dan beralih menatap batu. Ia angkat pedangnya sambil menarik ke arah belakang.
Pas ujung pedang siap menembus batu cermin. Anak muda lakukan. Semua bukit
tercenung, semua orang tercenung, kecuali bunyi air yang masih air semula. Batu
melebur serupa agar-agar. Pedang menembus masuk. Tapi tak lama pedang serupa
memantul dalam karet. Ia kembali keluar batu. Orang-orang tecenung. Anak muda
lakukan lagi. Masih juga tak mampan. Ia coba untuk yang ketiga kali masih juga tidak
mujarab. Anak muda kesal, berbalik ke kursinya.
Datang anak muda ke dua sambil menunduk kepada tuan
raja. Lain dari asal dan mula. Tiadalah ia berpedang atau berbilah pisau. Ia
letakkan bajunya di pohon bambu menjulai ke tengah curam. Mulailah ia duduk
bersila di atas batu pipih tempat pemuda pertama berdiri tadi. Pemuda
memicingkan mata. Entah apa yang ia lakukan. Orang-orang tiadalah yang tahu,
orang-orang hanya menaksir mungkin sedang bersemedi.
Pemuda letakkan kedua telapak tangannya menelungkup
angin di pahanya. Sekejap saja angin berhembus kencang dari atas tebing.
Dedaunan bambu berterbangan meniru musim di daratan negeri tirai bambu.
Dedaunan kayu kalek, meranti, bodi, langkisau juga tak kalah ubahnya serupa
tepung ke tengah angin.
Pemuda komat-kamit dan ia terbang dalam keadaan duduk.
Tak lama bajunya yang di batang bambu bergerak dengan gesitnya menuju batu. Ia
maju serupa pedang yang berputar kencang, laksana angin limbubur menembus bumi.
Lantas saja baju itu menembus batu. Masuk dan tak pernah keluar lagi.
Orang-orang tercenung lama, apa gerangan yang terjadi. Sebahagian
berbisik-bisik, “Oh hebatnya.” Yang lain, “Anak kerajaan mana dia?” juga da
yang berkata, “Tinggi sekali ilmunya.”
Tapi demikianlah orang masih saja menunggu. Sudah naik
matahari sepengggala. Tak ada baju kan keluar,
tak ada tanda air kan
mengalir. Pemuda memilih mundur ke belakang.
Pemuda lain maju. Lebih gagah lebih berani. Tapi tak
juga ada tanda-tanda batu mengalirkan air. Masuk lagi pemuda lain. Gagal. Lagi.
Gagal. Lagi. Gagal Lagi. Gagal. Hampirlah pupus harapan raja. Tinggallah
matahari sepenggal menjelang terbenam. Benang surai cahaya merah tampaklah ia
dari barat, indah jauh di nun sana.
Raja putuskan mencukupkan sayimbara. Tiadalah hari
berbilang baik saat ini, pikir raja. Namun saat raja akan melangkah ke belakang
seorang pemuda berkain sederhana warna putih, bertopi jerami, masuk ke
gelanggang. Orang-orang mula bersorak dan mengoceh, lama-lama sorak dan sorai
mulailah mereda. Pemuda tersenyum. Ia pancung sebatang bambu dengan pedangnya.
Orang-orang terdiam. Pemuda terus bergerak menuruni tangga batu. Sang raja
kembali bergerak duduk sambil tercenung. Para
pengawal mematung.
Pemuda berdiri di atas batu. Ia angkat bambu ke
belakang. Ia ayunkan pas ke tengah batu cermin. Bambu lepas menancap lurus.
Sebahagian bambu masuk ke dalam batu sebahagian lagi keluar menjulur. Tak lama
bambu menjelma batu, sesudahnya air rintik dari bambu batu. Terus rintik
semakin deras. orang-orang bersorak-sorai.
Demikianlah nak cerita batu pincuran berasal mula.
Sedang hidup tuan putri tentulah hidup yang bahagia.
***
Tapi kini ibu sudah
tiada. Ibu sudah lama pergi ke kuburnya. Ibu sudah lima tahun tidak lagi mengucapkan selamat
pagi. Mungkin selamat pagi tidak ada di kampung ibu. Akhirat sana selamat siang saja. Entahlah! aku tidak
tahu.
Berharri,
berminggu, berbulan, bertahun, kuceritakan cerita ibu ke teman-temanku. Teman-temanku
mengejekku. Kuceritakan cerita kepada adik ibu di kampung seberang. Aku
memanggilnya etek. Kata etek, “kamu ini kalau sudah gila jangan
mempergila orang.” Aku tak mengerti. Aku ceritakan cerita ini kepada mamak (saudara
laki-laki ibu), mamak malah katakan aku hanya manusia tidak membalasguna.
Aku tidak terima.
Aku turun sungai tempat ibu mengatakan di sana
berdiri pincuran batu. Tapi di sana
hanya ada semak belukar daun rinju. Aku berteriak. “Ibu jahat.” Tidak. Aku
ulang lagi, “Etek Jahat.” Tidak. Aku ulang lagi, “Mamak jahat.” Tidak. Aku
ulang lagi, “teman-temanku jahat.” Tidak! Tidak! Tidak! Semuanya jahat. Aku
lihat ke sungai. Teman-temanku tertawa.
“We we we Badul
gila… we we we Badul gila…!”
Berhari, berminggu,
berbulan, bertahun, orang-orang memanggilku, “We we we! We we we!”***