Batu Perahu
Terbit di Singgalang
Ana menatap ke luar jendela dari
rumah panggung tanah melayu ranah Minangkabau, melepaskan pandangan lewat kain
beranda yang ditiup angin. Begitu sudah menjadi kebiasaannya. Menemukan
sesuatu, sosok batu berbentuk perahu di sudut taman dekat rumpun mawar. Ukiran
ayah atas permintaan Ana dua tahun sebelum hari ini. Ia memandang batu perahu
mungkin sudah ribuan kali. Setiap bangun subuh saat embun masih belum turun
dari daun mawar, saat-saat dia menjelang makan, setiap dia menyiram bunga
dengan ember berlobang yang diambil dari dekat sumur belakang rumah, setiap dia
akan meninggalkan rumah, setiap dia melihat bulan dan bintang. Dia percaya
dengan melihat bintang, dia dapat menentukan hari baik untuk mendayung batu
perahu ke laut.
Dalam kesempatan lain. Dia lebih sering berlama-lama di atas batu
perahu. Batu itu akan ditantang dalam bola mata Ana. Ana telah menyimpannya
lekat-lekat lalu mencerminkannya pada
bayang malam. Ana tak dapat melihat jikalah gelap, maka angannya membantu
menampilkan bayang batu perahu. Di badan luar ukiran sejarah, sejarah hidup Ana,
relif Arab Melayu yang belum lengkap (Dia sudah belajar menulisnya dari ustad
di surau). Mungkin suatu saat tinta Cina akan melengkapi dinding dalam perahu
dengan relif yang sama.
Hanya Ana yang mau menemani perjalanan batu perahu, perjalanan yang
hanya di sudut taman. Tak terlepas dari serumpun mawar merah di sebelah kiri
batu perahu. Jauh di depannya terbentang laut yang luas. Saatnya bunga mekar saatnya Ana akan
berlama-lama dalam perahu.
PAGI ini Ana duduk di atas perahu. Perahu
itu masih terasa lembab, lumutnya masih menyimpan tetesan embun, membuat
pakaian tidur Ana menjadi basah. Tapi
semua itu tidak dia hiraukan. Dia lebih tertarik dengan Mawar. Sekuntum
diselipkannya di telinga. Bunga Mawar baru saja mekar. Sebagian kelupasan
kelopak tersebar di tengah perahu. Ana menghirup udara menyimpan ciut, menantang mentari yang menyembur dari balik dari
deretan bukit yang mengelilingi kota padang dari arah timur.
Ana mengambil dayung, menjelajahi lautan luas. Ana gembira
mengalirkan matanya ke laut lepas, ke tengah gelombang berayun setengah batang
kelapa. Gelombangnya menarik membuat lengkungan serupa dalam buaian. Ana puas.
Dayung ia rangkaikan lebih indah membentuk simfoni di tengah lautan.
Ana sendirian tetapi ia gembira. Ia senyum lepas menawarkan
kebahagian pada laut, pada ikan lumba-lumba yang loncat-loncat air, membentuk
lingkaran delapan puluh derjat. Mulutnya menyemburkan cairan bening. Ana basah,
lalu mencemburkan diri bersama lumba-lumba, menampik air membentuk kecipak
menyemburai menjadi kristal-kristal.
Ana juga berbagi rindu pada penghuni lain. Matanya memandang ikan Tuna
bergerombolan besar. Sinar mentari membantu Ana ke arah penghuni laut
berwarna-warni; kuda laut, cumi-cumi, tongkol, belut laut, udang laut, kepiting
laut, kerang putih, kerang hijau, si imut ungu si bintang laut.
Gelombang makin melambai indah, simfoni, mengukir pada langit bahwa
pada laut seorang anak berbagi rindu. Anak itu pecinta batu perahu. Di sana ia mengarang bunga
mawar. Mawar itu menari persembahan buat kasih cinta pada laut. Anak itu Ana.
Tapi tak lain semua adalah imajinasi Ana. Ana masih tetap pada batu
perahu di sudut taman. Laut itu padang
rumput mini menghiasi taman indah dihinggapi bilalang, kupu-kupu kuning,
kumbang bewarna hitam mencuri madu. Mengepak sepanjang rumpun Mawar Merah mekar. Baunya setaman bagi
anak peminat batu perahu.
Kupu-kupu kuning mengelilingi bunga. Kupu-kupu itu semakin ramai
entah dari mana datangnya, harum bunga mawar menariknya untuk berfose di
kelopak Mawar, di kepala putik, di bunga sari. Di kedua sayapnya berukiran
lingkaran putih dengan bulatan coklat di tengahnya. Sangat manis rupanya, tak
kalah dengah bola mata Ana yang menarik rembulan untuk bersarang di kedua matanya. Ana melemparkan
senyum buat kupu-kupu kuning. Kupu-kupu itu hinggap di ujung batu parahu. Ana
senang sambil memegang bersalingan kedua tanganya, di dekap ke dada. Dari
matanya mengalir cahaya kerinduan laut. Ana punya teman berlayar, kupu-kupu kuning
menemani batu perahu.
Bunga-bunga kembang merah mekar sangat cepat dari praduga, Hujan malam
kemarin membawa benih pupuk dari laut, juga racun-racun pemusnahan pemakan
kelopak mawar. Mawar itu subur harumnya ikut bersama angin membelai rambut Ana.
Di sana tak ada
melati. Ana takut melati cepat mati.
Ana turun dari batu perahu. Di taman Ana memetik mawar, kupu-kupu
kuning beterbangan dari sana.
Ana sangat takjub, kupu-kupu itu membentuk dunia lain. Dunia yang diciptakan
dalam dunia peri. Kupu-kupu itu jelmaan dari para peri. Dia menyebarkan senyum
buat Ana. Peri itu imut dan menggemaskan.
Kelopak bunga mawar di kupas satu-satu oleh tangan centil Ana. Ana
punya bunga sebagai kembang tebar di laut. Pasti baunya menyebar ke seluruh
ombak, ke seluruh kapal di tengah laut, ke seluruh pantai sepanjang garis pulau
dengan cerita seorang anak dari batu perahu. Laut pasti akan menyapa dengan ribuan
busa istana-istana gelombang.
***
Lama sebelum hari ini. Anak aneh yang menyembur dari rahim seorang
ibu, hasil tumpangan yang sebenarnya adalah benih ayah. Anak yang lahirnya
mungkin sudah sengaja dijadikan sebagai peminat, pemilik watak unik. Barangkali
titipan buyutnya.
Menyerang bapak di pagi yang rimbun-rimbun embun. Masih terkesan
pada kelopak mawar, buliran air berbentuk kristal. Seorang anak menindih
punggung ayah. Bergelantungan manja.
“Ayah, buatkan Ana batu perahu,” kata Ana membujuk ayah yang sedang
membersihkan rumpun bunga.
“Batu perahu?”
“Ia.”
“Batu perahu?” Ayah memegang kepala bagian belakang. Ayah bingung
permintaan semacam apa. Mana mungkin ada batu perahu. Ana membaca kebingungan
ayah, rasa penasaran ayah, ketidak tahuan ayah.
Ana turun dari punggung ayah. Menunjuk batu di sudut taman. Ana
melukisnya di tanah lewat sepotong ranting. Gambar itu besar. Sebesar lingkaran
kaki orang dewasa yang sedang jongkok.
“Ana ingin berlayar mengarungi lautan. Lautan itu indah Ayah. Di
laut ada banyak sahabat. Mereka rama tama. Kerajaan bawah laut sangat cantik
Ayah. Ikan-ikannya manis.”
“Itu hanya dalam dongeng Ana,” jawab ayah.
“Tidak, itu bukan dongeng, Ayah,” tegas Ana.
“Kalau begitu apa…?” Kata ayah memanjakan Ana sambil jongkok dan
memegang ke dua bahu Ana.
“Itu fakta, Ayah.” Timbal Ana.
“Fakta hanya permainan Ana.” Ujar balik ayah.
“Karena itu lah Ana ingin bermain dengan fakta.” Ana berlagak
dewasa.
“Buatin ya, Ayah…” Ana merajuk.
“Tapi Nak…”
Ayah tahu permintaan anak satu-satunya itu harus dituruti. Ayah
terpaku menatap batu sebesar gajah duduk. Bukanlah waktu sebentar memahat batu
perahu, lengkap relif, ukiran desain tempat duduk, gayung penimbunan air.
Ayah menuruti pikiran Ana. Tuh semuanya punya makna, daya tarik tak
akan terlepas, nilai juga sebuah unsur sastra kehidupan perahu, laut lepas
dalam imaji adalah seni yang barangkali disanalah letak bahwa hidup itu manis.
Hidup itu rangkain jalinan mentari yang menyapa di pagi hari.
“”Baik.”
“Cepat, cepat, cepat Yah! Cepat Yah! Ana ingin membeli ikan di laut,
memetik bunga karang yang menghijau sepanjang tebing. Ana akan memotret kuda
laut.” Ia, gadis itu punya banyak harapan. laut menyediakan semuanya. Laut itu
manis, sebuah pemandangan alam sadar. Surganya laut. Ana sudah menikmati di majalah-majalah
bahari milik ayah, di petualang-petualang laut televisi. Mereka menyelam laut,
di punggung tabung oksigen. Insang-insang di kaki.
Ana merekam dalam jangka panjang
tentang laut. Di imaji batu perahu siap
berlayar. Kini perahu itu berdiri kokoh. Persaksian bahwa laut itu sedang
menunggu Ana, ingin meyelam lebih dalam. Semua orang juga sudah mengenal, alam bawa laut menakjubkan. Mukjizat yang
tiada terduga. Keajaiban alam yang tak lain adalah milik Yang Maha Pencipta.
Kehadiran batu perahu berlumut hijau
mendatangkan harapan seorang anak. setiap pagi, siang, sore remang, malam ia
akan berlayar. Menjadikan bintang penunjuk arah yang tak pernah salah.
Ana berbaju biru laut. Dari mulutnya
keluar bau parfum dari karang dan amis lumba-lumba. Posisinya benar-benar siap
memulai perjalanan. Perjalanan yang hanya ditempuh oleh seorang Ana. Layarnya
terkembang. Perjalanan lain baru dimulai. Tali dilepas.
Ana tak memikirkan ayah. Ayah sudah
melaut entah sejak dari kapan. Tak sempat dipikirkan Ana, kapan ayah pertama
kali merindukan laut. Ana juga tak memikirkan ibu, juga tak memikirkan
saudaranya, hanya dia sebatangkara anak ayah. Ibu juga sedang melaut bersama
ayah, bermesraan bersama gelombang, berterang bulan di malam hari di tengah lautan.
Lautan itu romantis, buktinya ayah sangat senang dengan laut. Sampai
sekarang tak ada berita ayah sangat rindu pada darat, tak ada satu surat kalengpun dari ayah.
Mungkin ayah sudah terlena laut, juga ibu. Laut itu malam bagai istana. Di
dalamnya permadani intan mutiara. Kilaunya takkan didapatkan di darat, juga tak
tertinggal di ranting, di kayu jambu, kenari, jati, meranti, mahoni. Disana tak
ada tempat bagi intan dan mutiara.
Ana mulai berlayar. Dia lebih suka suasana malam saat ini. Terompet
berbunyi tanda siap mengarungi lautan. Ana tertawa lepas mengarung lautan pada malam,
pada sunset bersembunyi di ujung lautan. Dan relif kapal sangat menawan,
menarik penghuni laut ikut menerjemahkan, seorang anak kecil pelaut tangguh
dari rahim ibu.
Disana dalam kisah Ana tergambar Nuh. Sang pemilik kapal besar
berkekuatan super power. Nuh membangun kapal pada bukit tertinggi.
Orang-orang menganggap Nuh gila, walau dia waras. Nuh dikucilkan
umat, sedangkan Ana tidak. Ana hanya sendirian. Ana senyum bangga bearti ia
lebih leluasa menerjemahkan laut. Dia kan
menyediakan lampu togok kalau saja bintang tak bersinar.
Umat Nuh memang tak paham makna kesetian. Ribuan anus sengaja
menumpang di kapal, hasil keserakahan perut. Tidak pagi, tidak siang, tidak
sore asal masih ada waktu, kapal Nuh WC raksasa, tidak sampai demikian dengan
Ana. Allah sayang pada umat Nuh. Penyakit datang, teguran kembali kejalan
Tuhan. Lalu semua penyakit kembali lenyap lewat pembuangan di kapal Nuh.
Kembali licin.
Sang umat Nuh tanpa tahu ucapan terima kasih. Banjir datang melanda kota, menghancurkan rumah,
tumbangkan pohon, menamatkan riwayat manusia. Lalu sepasang-sepasang binatang
menaiki kapal Nuh, orang-orang shaleh ikut andil, berlayar di laut 2 tahun 2
bulan 22 hari.
Ana melambaikan tangan. Laut menyediakan tempat bagi Nuh, juga bagi
Ana. Batu perahu terus berlayar tanpa lelah, tanpa gurat keletihan, tanpa
kepasrahan. Ana tahu ini bukan permainan. Bagi dia semua adalah fakta dan bukti
bahwa Ana lahir ke tanah ini.
Ana menembus pekat malam. Di tengah laut ayah ibu sedang menunggu.
Ke empat tangan mereka terbuka lebar. Mata mereka berbinar. Bahu berguncang
naik turun. Sedang gelombang semakin memperdekat jarak. Jarak waktu, perjalanan
hidup. Bagai timur dan barat yang punya titik pertemuan.
Ana semakin giat mendayung sampan dengan relif Arab Melayu. Cerita
masa silam permata yang menemani perjalanan. Di saat ayah, teman berperahu Ana.
“Ayah apa itu laut?”
“laut itu rindu.”
“Rindu siapa, Ayah?”
“Rindu anak manusia, Nak. Rindu laut. Laut itu diciptakan untuk
manusia agar manusia itu bisa menjaganya, melestarikannya, memperindah dan mengembangkannya.”
“Kenapa harus manusia, Ayah? Kenapa tidak ayam, sapi, kerbau, anjing,
babi?”
“Sebab manusia punya hati dan akal, punya moral dan sosial.”
“Ana tidak tahu apa itu Ayah?”
“Tak apa suatu saat pasti akan tahu.”
“Ayah!”
“Umm, umm.”
“Kenapa rindu adalah laut ayah? Kenapa tidak darat?”
“Di darat tidak ada tempat bagi hati.”
***
Laut adalah tempat suci untuk mensucikan diri. Pohon di darat sudah
dulu pergi ke laut, rumah-rumah juga sudah berpindah tangan ke laut. Darat
takkan mau menerima mereka, darat sudah terlalu cepat menerima bangkai manusia,
telanjang di pinggir kota,
pinggir desa, pinggir dusun, darat sedang bersenang mandi darah. Hanya
masjid-masjid masih tersisa satu dua. Di darat sudah terlalu sempit kuburan.
Tak ada tempat bagi mereka. Laut masih luas. Di darat mesin dor-dor sedang
berkuasa.
Ana masih mendayung batu perahu. Laut adalah rumput. Di dalamnya
kembang mawar bersemai semi bagai di negeri sakura. Semua cerita di rumpungkan
dalam Arab Melayu di badan perahu. Di saat-saat mendatang orang-orang mulai
mengartikan batu perahu, bahasa Arab Melayu, bahasa para pelaut ulung. Diawali awali nama “Riana Putri Rindang” dan
ah, di akhiri hari dan tanggal. Minggu, 26 desember 2004.
Saat ayah ibu tugas penyelidikan gerakkan Aceh Merdeka lima bulan yang lalu, Ana tinggal di padang bersama saudari ibu. Ana akan terus
berbatu perahu setelah ayah dan ibu ditelan gelombang setinggi batang kelapa, walau
dia berada dirumahnya sendiri, rehabilitas sakit jiwa. Lumpur menelam ribuan
nyawa terseret gelombang. Mayat-mayat bergelimpangan di tengah pusaran kota. tanpa rumah, tanpa
nama, tanpa alamat. Hanya puing-puing sisa kehidupan kemaren. Kesan genangan air
mata mengering ribuan bola yang sudah memerah.
Besok-besok, Ana-Ana yang baru akan bermunculan bak cendawan di
musim hujan, memesan batu perahu. Barangkali kapal Nuh sudah sarat penumpang.***