Cerpen Alizar Tanjung
Terbit
di Berita Pagi
Saat ayah pergi dia hanya tertegun di pintu. Namanya
Sultan. Umurnya tiga belas tahun. Maka saat ayah tak lagi menengok ke belakang
baru dia berucap, “Selamat tinggal Ayah.” Kemudian dia masuk ke rumah panggung
bergonjong kerbau. Ia tutup pintu, tentunya ketika hari sudah senja. Arah ayah
ke matahari terbenam menuju matahari yang tinggal sepotong.
Sultan hidupkan damar dekat jendela. Ia cetus api
itu. Damar menyala. Ia duduk menghadap keluar jendela. Ia lihat jalan kerikil
ayah memanjang. Tentulah bukan Sultan tidak sedih. Dia sangat bersedih
ditinggal ayah tercinta. Tentu pula ia tidak berkehendak menghalang ayah. Sudah.
Sudah dia minta ayah jangan meninggalkan dia, ayah pergi jua.
Sebelum ayah pergi masih ia ingat pesan ayah, “Kelak
kalau Kau dewasa nanti Kau tak usah cari Ayah. Barangkali saat itu Ayah sudah
tidak ada. Kau hanya perlu suarakan bahwa Kau pernah hidup bersama Ayah untuk
waktu yang sebentar.” Nasehat itu diucapkan ayah tengah malam, menjelang Sultan
benar-benar tidur.
“Ayah, kenapa Ayah harus pergi. Mengapa Ayah harus
meninggalkanku di rumah panggung ini sendirian.”
“Ayah tidak meninggalkanmu. Ayah hanya pergi untuk
waktu yang sebentar menurut ukuran Tuhan. Kau bersama etekmu, Sultan. Sudah
Ayah pesan sama etekmu. Siar. Bersamanyalah kau ayah tinggalkan.”
“Kenapa Ayah tidak mau tinggal bersamaku di sini?”
“Ayah tinggal bersamamu, Sultan. Ayah tinggal di
hatimu. Ayah tinggal di rumah ini. Hanya jasad Ayah yang tidak tinggal di sini.
Rumah ini Ayah tinggalkan, ujung jalan sana menanti Ayah. Nanti tikungan di
balik pepohonan rinju batas desa ini Ayah kan pergi.”
“Ayah sedih atas kepergian ibu dan Fatimah?!”
“Ayah mencintaimu. Sultan, tidurlah. Ayah kan tidur
sebentar lagi di sampingmu.”
Sultan tahu, malam itu ayah tidak tidur. Seperti
malam-malam kemarin ayah yang juga tidak tidur. Sultan juga tahu ayah selalu
bermenung di jenjang turun rumah setiap ayah selesai membacakan cerita.
***
Aku dan ayah sudah tiga hari menanti
evakuasi itu. Tapi selama tiga hari pula alat berat belum datang ke tempat ini.
Maka selayiknya saja evakuasi dilakukan dengan cara yang sangat sederhana.
Mereka, orang kampung Tandikek ini, mereka yang berinisiatif menggunakan deras
air sungai untuk menggerus tanah. Mereka yang mengail tanah-tanah timbunan
kedalaman 15 meter ini, mereka yang mencari sanak saudara, andai taulan dalam
negeri. Mereka yang menginjak tanah-tanah merah ini, mereka yang juga mencampur
air hujan langit dengan air mata.
“Sudah ayah cari tak ada jejak ibumu
dan adikmu, Fatimah.” Kata ayah menggugurkan airmata. “Sudah! Sudah tiga hari
kita berulang-ulang ke tanah ini, Sultan. Sudah! Tidak ada tanda-tanda ibumu
dan adikmu selamat. Kalaulah ia selamat tentulah tahu dia jalan pulang,
kalaulah hilang tentulah kabar dari burung di mana tempat dan rimbanya,” kata ayah
sambil menggenggam tanganku melewati gundukan-gundukan tanah yang licin.
“Ayah.”
“Sultan, hari ini hari yang sudah
senja. Lengkap sudah pencarian kita dahulu. Besok kan kita ulang mencari ibumu
dan fatimah. Kalaulah ia mati bolehlah kita bawa jasadnya. Biarlah aku yang
akan carikan kuburanmu, Radiah. Kau obat juga kerinduan Sultan, kerinduanku.
Belum selesai percintaan kita yang baru terasa kemarin.”
Ayah bicara sendiri dengan orang
yang tak ada. Antara aku dan ayah, tentu sudah lama tanggung lebam deritanya.
Kini ayah kan terus sepi seperti aku yang juga tak beribu kehilangan adik.
Kasihan ayah yang mengucap kuburan, “Kalau jelas matimu, biar aku yang menggendong
jasadmu dalam bentuk rupa apapun. Tapi kini jangankan bertemu dengan jasadmu, bertemu
puncak rumah kau bertamu kondangan seperti mimpi kesiangan.”
Maka siapakah yang seharusnya lebih
membicarakan tentang makna kepedihan melebihi ayah, yang sesudahnya mengubah
dirinya tanpa waktu? Ia percakapkan dirinya dan ibu dalam cara khayalnya
sendiri. Seperti ayah yang meninggalkan bagaimana cara berbaju rapi. Kecuali
baju putih yang sudah tiga hari melekat di badannya, sudah tiga hari pula tanpa
sentuhan air.
***
Ayah dan ibu dapat kondangan di
Lubuk Laweh. Baralek orang di kampung maka datang orang sekampung. Datang ibu
dan fatimah di senja raya. Begitu adat perempuan, acara bertamu baralek pada
petang-petang hari, mereka kan berarak panjang membawa baju, piring, selusin
gelas, kain panjang, nasi kunik, pisang buai, ke rumah mempelai laki-laki
mapupun perempuan. Sedang acara laki-laki berlansung di malam hari.
“Nanti sebelum magrib Ibu sudah tiba
di rumah. Nasi dan sambal sudah ibu taruh dalam tudung.” kata-kata terakhir
yang tinggal dari mulut ibu. Tidak ada ucapan selamat perpisahan. Seperti ayah
yang juga sudah bersiap dengan pakaian hitam putih yang rapi lengkap beka.[1]
Hendak bertandan terlebih dahulu, minum agak segelas air kopi. Membicarakan
persoalan kemarin dan sekarang, hama yang menyerang tanaman. Hasil panen yang
jauh dari ladang.
Tapi pada jam 5 yang barusan usai,
bumi itu berguncang, tidak tanggung-tanggung, meruntuhkan rumah-rumah,
menjadikan pohon kelapa bergoyang menyentuh tanah, membuat orang-orang yang
berjalan jatuh rebah. Adegan parodi guncang dinding-dinding jadi pecahan
bebatuan bata.
Gempa itu tidak tanggung-tanggung
meruntuhkan bukit Lubuk Laweh, kecamatan Tandikek. Bukit menenggelamkan orang
sekampung, menenggelamkan orang yang baralek gadang. Entah ada sisa atau tidak,
tapi ujung puing rumah tak satupun bertemu ujung pangkal. Tercatat jam 5 lewat 16 menit. Ratusan nyawa
dipertanyakan keberadaannya, ratusan tangis menggenang pelupuk mata. Masih ada
duka yang lebih duka.
***
Dari balik tikungan itu ayah dan
baju putihnya menghilang. Bagaimana ayah berpesan, “ Apapun kondisinya kamu
harus tegar. Tidak seperti Ayah yang tidak bisa lagi tegar. Mungkin Kau bisa
menghadapinya. Perjalanan waktu kan menunjukkan bagaimana Kau harus
memahaminya.”
Aku masih kelas 4 SD ayah ajarkan
aku memagar diri. Anak laki-laki harus jadi orang kuat. Anak laki-laki
bertanggung jawab menjaga Ibu dan saudara perempuannya. Kehormatan saudara
perempuan terletak di tangan saudara laki-laki. Perempuan limpapeh di rumah nan
gadang, bertugas jadi ibu dan membantu pekerjaan dapur. Laki-laki menjaga dari
gangguan luar. Kalau saudara perempuan diganggu orang lain, maka saudara
laki-laki bentengnya yang di depan.
“Untuk itulah Sultan Ayah ajarkan
silat.”
“Silat itu untuk berkelahi kalau
begitu Ayah.”
“Sultan! Silat untuk memagar dirimu
agar menjadi lebih kuat dan tegar. Dalam silat kamu diajarkan siap menerima
kondisi apapun. Silat bukan untuk berkelahi, Sultan. Hanya saja kalau diserang
orang maka pantang menghindar. Musuh tidak dicari, tapi kalau bertemu pantang
bersurut langkah.”
Ayah bukakan langkah. Ayah lihatkan
gerak-gerak irama indah, lentik tangan, lihai gerak kaki, tangkisan. Ayah mulai
bimbing gerak tanganku, gerak kakiku, gerak lentur tubuhku, kuat kedudukanku.
“Apa yang mesti di pegang dari silat
Ayah. Diri, Sultan. Dirimu dan diri keluargamu, diri orang lain.”
Kelas 6 SD aku lihai silat. Ayah
serahkan satu buah pisau. Aku tahu semacam keris minang. Ayah serahkan
bungkusan kain putih yang kata ayah isinya mushaf al Quran yang dari turun-temurun.
“Kelak dengan ini kamu membimbing saudaramu. Kalau
ayah sudah tidak ada ibumu juga kan jadi tanggunganmu. Kau jagalah baik-baik
pemberian Ayah ini, seperti menjaga dirimu sendiri.” Sejak itu aku senang, terus
mendapat kepercayaan ayah yang tidak seperti ayah-ayah yang lain.
Fatimah pernah diganggu teman sekolahnya. Tas
Fatimah dimasukkan dalam got jalan pulang. Di antara pematang sawah. Tas itu
penuh lumpur. Ia menangis pulang. Saat ia keluarkan bukunya Fatimah langsung
tersedu di pangkuan ibu. Buku fatimah basah. Buku fatimah hancur. Aku geram
mendengarnya. Tapi ayah ajarkan aku sabar dengan hidup.
Saat hari kedua terjadi lagi. Aku masih diam diri.
Saat hari ketiga masih terjadi, aku benar-benar marah. Aku hadang tiga orang
boca itu di rimbun bambu. Aku sapu kakinya, aku kipas tangannya, aku labrak
dagunya. Ketiganya runtuh, ketiganya menangis pulang. Sejak itu fatimah tidak
pernah diganggu mereka lagi. Aku bangga, “Apa yang mesti di pegang dari silat
Ayah. Diri, Sultan. Dirimu dan diri keluargamu, diri orang lain.” Tapi kini,
aku tidak dapat menolong Fatimah. Melihatpun tidak.s
***
Hari keempat, lima,
enam, ayah dan aku terus lakukan pencarian. Aku dan ayah sengaja berpisah.
Berharap jejak Ibu dan Fatimah bertemu.
Barangkali mereka berada di tempat yang terpisah. Ayah putuskan cari ibu, aku
putuskan mencari fatimah. Ikut masuk dalam rombangan relawan yang mulai
berdatangan. Alat berat masih sedikit masuk daerah bencana.
Bagaimana Fatimah imut-imutnya masih
terbayang dalam pikiranku. Ketika Fatimah diganggu teman-temannya di halaman, betapa
pula harus bersusah payah mendiamkannya. Tapi betapa kini dirasakan sudah
sangat dalam rupanya kasih sayang kakak dan adik. Fatimah yang sering menangis
betapa menjadi kenangan terindah. Sikap manja Fatimah membuat aku harus rela
mendukungnya berlama-lama dipunggung.
Fatimah dan ibu sangat mirip dengan
perawakan wajah yang hitam manis, sedang aku ambil perawakan ayah dengan wajah
yang memanjang, kulit kecoklatan. Mengingat Fatimah mengingat betapa begitu
dekat ia dan aku.
Sampai sore di petang-petanh raya,
aku dan ayah masih lakukan pencarian. Tak ditemukan ibu, tak ditemukan Fatimah.
Ini harapan terakhir, kalau tak ditemukan hari ini, usai sudah pencarian. Besok
evakuasi dihentikan. Telah disepakati masyarakat banyak dan majelis ulama,
tempat ini dijadikan kuburan masal. Tidak mungkin penggalian melewati batas
tujuh hari.
Sampai
senja semua malang harus kembali dengan tangan hampa
“Malang benar nasibmu, Radiah. Matimu tak berkapundan suku. Kuburmu tak bernisan.
Anakku, Fatimah, begitu sepakat kau dengan ibumu. Sungguh berdosa aku tak dapat
mengangkat jasad salah satu dari kalian. Malang benar nasib si anak gempa,” gumam
ayah sepanjang jalan pulang. Hingga malam itu ayah ucapkan, “Besok ayah pergi.
Ayah kan meninggalkan kampung ini, Ayah pergi berkelana, tak usah Kau cari Ayah.
Ayak yakin Kau bisa menjadi anak yang tegar.”
***
Sultan betapa merasa bodohnya ia
tidak mengikut jejak ayah. Cepat-cepat sultan bangkit membuka pintu. Berlari ke
jalan memanjang menuju barat. “Ayah! Ayah! Ayah!” himbaunya untuk ayah yang
sudah menghilang di balik tikungan. Sudah begitu lama ia rupanya melepas
kepergian dari jendela.
Sultan berlari menelusuri jalan
berkerikil dengan sendal yang terpelanting. Tak peduli ia kerikil tajam. Sultan
menuju tikungan. Ayah sudah tidak terlihat lagi. “Ayah aku ikut bersamamu.”
Tapi bersamanya ayah sudah tidak ada. Sultan tinggal tak beribu, tak beradik,
tak berayah.***Padang, 30 Oktober 2009