Note;
cerpen pemenang harapan LMCR 2009
Entah
siapa yang mengajari Laila. Aku tidak tahu. Begitu pandai ia melukis. Tapi
begitu pula miris mataku dibuatnya. Melihat lukisan yang terpajang di dinding
kamarnya. Selalu saja lukisan yang berbau nisan. Kalau aku tanya kenapa ia
tidak melukis bunga, kumbang, hati, rumah, atau dedaunan yang indah di puncak
gunung talang ini, maka jawabannya hanya diam. Beku yang membekukan diam,
seperti pada akhirnya membekukan mulutku untuk mengulang pertanyaan yang sama.
Melainkan setiap kulihat lukisan-lukisan yang terpaku di dinding putih, hanya
hatiku yang semakin teriris.
Seperti
pagi ini, kembali Laila duduk di kamar menghadap jendela. Kamar yang menghadap
pohon-pohon palem jauh di depan. Masih pula tampak hijau taman rerumputan yang
membentang menumbuhi gundukan kecil, landai kecil. Tapi tidak ada taman di
lukisan Laila. “Sungguh anak yang malang,”
begitulah pikiranku yang lain mengatakan. Tapi tidak, “Sungguh anakku yang tak
beruntung,” begitulah sisi hati kecilku mengatakan.
Laila
duduk di atas sebuah kursi kayu. Aku hanya mengamati ia dari dipannya. Tak bisa
aku berkata apa. Kecuali hanya memperhatikan tangannya yang terus bergerak
lincah. Kini papan lukisan itu telah berada di kayu sandaran kemiringan 15
derjat dari gerak vertikal atas. Sungguh kemiringan yang selalu ia gunakan, seperti juga kemiringan hatinya yang
setiap melukis selalu saja ada tangis.
Ia
hadapkan wajah sebentar keluar jendela. Dapatlah ia pandang sebatang pohon palem
yang lebih dekat ke teras rumah. Palem yang lebih tepatnya dikatakan tumbuh di
halaman rumah. Tampaklah berjuntai sehelai daun palem mati yang berjuntai
lunglai. Itulah yang ia amati. Ia amati pula pohon yang berjarak tak kurang lima meter dari teras
rumah kaca ini.
Aku tak tahu apalagi yang
dipikirkan anakku itu, simatawayang yang setiap melukisnya gerak matanya yang
selalu menurunkan bulir. Tapi setiap itu pulalah lukisannya selesai. Kini kalau
dikumpulkan tidak kurang dari dua puluh lukisan Laila yang telah selesai
bertumpu pada lukisan Nisan. Sungguh ini lah yang membuat keberadaanku
keberadaan yang terasing. Di antara lukisan itu lima selalu terpajang di dinding ini.
Betapa dahulu Laila
seorang anak yang periang. Setiap tawanya adalah senyum keluarga ini. Tapi, ah,
semua itu telah tiada bisa Laila nikmati. Mungkin juga aku. Tapi tidaklah
seperti Laila yang terus melukis nisan dan kuburan. Dahulu semasih kelas tiga
SMPnya, setahun yang lalu, Laila adalah Laila yang suka berlarian ke pangkuan
ibunya, yaitu aku. Ia bawa semua lukisan kenangan kepadaku. Setelah selesai satu
lukisan mawar putih, ia kabarkan kepadaku.
“Ma, Lukisan Laila
dengan sukuntum mawar putih dengan kupu-kupu warna langit di kelopaknya, cantik
gak Ma?”
“Cantik Sayang, seperti
anak Mama.” Begitulah aku menjawabnya. Pada kesempatan lain ia bawakan lagi
lukisan yang lain.
“Ma, aku baru
selesaikan lukisan seekor anak kucing yang putih dari kepalanya sampai ekor.
Manis gak Ma?”
“Manis Sayang.
Kucingnya imut. Kamu melukis kucing putih yang ada di rumah tetangga sebelah,
ya!” Begitu pulalah aku menjawabnya.
Hari Laila hari yang
tertawa. Tiada hari tanpa senyum dan tertawa. Kurasa yang demikian kata yang
tepat untuk gambaran hati Laila. Betapa pula ia selalu menggambar sesuatu
dengan warna kesukaan. Ia lukis isi hati dari lubuk yang terdalam.
“Ma. Aku menggambar
adik dan papa sedang duduk santai memegang setangkai mawar putih menghadap ke
taman pohon palem, Ma. Aku ambil dari belakang dengan baju hijau muda papa dan
baju putih Annisa, Ma.” itulah perkataan Laila yang terakhir tentang keindahan.
Gambar yang bercorak lukisan gunung pada baju punggung papa. Gaun putih Annisa
yang berenda pita pink pada kucir rambut dua Annisa. Siapa sangka itu lukisan
Laila yang terakhir tentang keindahan sampai saat ini.
Dahulu tak pernah Laila
menangis setiap melukis. Sangat jauh duka baginya. Tidak penting yang namanya
kesedihan. Setiap lukisan putih nan berseri, indah nan permai, sejuk nan
membuai. Tapi lihat kini lukisan Laila, lukisan yang mati dengan gerak air mata.
Lebih tepat dikatakan menangisi kematian.
***
Laila lukis sebatang
pohon palem yang ia tarik dengan gerak kuas,––Cat minyak di atas kanvas.
Bolehlah aku mengatakan demikian. Ia lah yang membeli setiap pertemuan pasar. Aku
sungguh tidaklah begitu banyak paham dengan alat lukisan––Sebatang pohon palem
lengkap dengan garis lingkaran yang menjajari dari bawah. Hampirlah sampai pada
cabang daun. Barulah ia mulai meneteskan air mata. Aku sungguh tidak mengerti.
Kalau ia ditanya kenapa ia harus meneteskan air mata, ia hanya akan jawan, “Di
sini air mata harus terus tumbuh, Ma.” Sesudahnya hanya diam yang beku. Sedang
aku hanyalah makhluk yang terpaku di atas kasur Laila.
Aku ingat betul setelah
ia melukis papanya, suamiku dan Annisa, adiknya, saat itulah ia pertama kali
menangis.
“Kenapa dengan papa dan
Annisa, Ma? Hati Laila berdebur kencang dan perasaan tidak senang.”
“Tidak apa-apa dengan
papa dan adikmu, Sayang. Kan baru tadi pagi
papa dan Annisa pergi ke kota
membelikan baju untuk adikmu.” Ya, begitulah jawaban yang tenang. Papa pergi ke
kota dengan
mobil pribadinya. Papa katakan, “Aku juga ingin membelikan papan sandaran yang
baru untuk sandaran lukisan Laila.” Annisa dibawa papa. Annisa ingin baju
bergaun putih.
“Ma….” Ia menangis di
pangkuanku. Aku katakan papa kan
baik-baik saja. Kukatakan sebentar lagi papa dan Annisa tiba di rumah. Tapi apa
mau dikata. Papa tidak pernah pulang. Annisa tidak penah pulang. Hanya nama
yang pulang. Hanya tangis yang pulang.
Kalau saat itu
dikatakan bahwa di kota
telah terjadi pemboman pusat belanja, pemboman orang-orang tak bertanggung
jawab, pemboman yang juga merenggut nyawa papa dan Annisa, maka hatikulah yang paling
terluka. Tapi tidaklah demikian, hati anakkulah yagn paling terluka. Ya, memang
sesudah itu aku dilanda lemah yang berlama-lama. Tidak makan dan tidak minum,
sampai-sampai aku tidak bisa ke mana-mana seperti saat ini. Kehilangan memang
telah membuatku menjadi lumpuh, berdiam di kursi roda. Hidup tinggal dengan
pensiunan papa. Tapi apa yang terjadi kepada Laila, apa yang telah melumpuhkan
hatinya. Benar ia kelihatan orang yang sehat. Tapi siapa jamin kalau hatinyalah
yang paling sakit, paling sedih, paling menderita.
Ia tumpahkan semua yang
dapat tumpah dalam lukisan. Dahulu saat papa dan Annisa dikuburkan di kuburan
umum di gunung Talang ini, tepatnya di Tabek, sebuah gundukan bukit yang
terpencil dari kampung ini, itulah yang menjadi objek pertama lukisan nisan Laila.
Lukisan gundukan nisan yang masih merah. Kini itu lah salah satu lukisan yang
mengisi ruang kamar Laila. Lukisan yang sebuah. Lukisan yang agak panjang.
Entah kenapa tidak ada
lukisan kuburan Annisa di dalamnya. Padahal kuburan Annisa sama barunya dengan
kuburan papa. Apalagi kuburan papa dan Annisa berdekatan. Lukisan itu hanya
lukisan kuburan papa semata. Lukisan dengan tanah merah dari atas sampai bawah,
di tambah dua batu mejan pipih. Sekeliling gundukan tanah. Dilingkari batu-batu
pipih yang menancap.
Saat lukisan hampir
selesai dengan satu oresan nama di batu mejan, saat itulah Laila menangis
sejadi-jadinya. Hanya menangis dan hanya menangis. Tentu saat itu aku belumlah
menjadi orang yang lumpuh. Kecuali hanya aku yang terbaring di kamar anakku
yang tinggal seorang.
“Kenapa menangis anak
Mama?” dia tidak menjawab. Ia gerakkan tangannya sampai selesai ukiran nama.
“Kenapa lukisan itu
hanya satu gundukan,” kata hatiku. Laila menangkap bahasa hatiku. Barangkali
inilah ikatan batin.
“Annisa belum mati,
Annisa sedang dibawa malaikat. Annisa sedang terbang melayang ke langit Tuhan.”
Aku tak tahan menahan air mata. Sesudahnya tak ada kata-kata Laila.
Kini Lukisan itu
terpajang di dinding sebelah utara. Pas di bawah jam dinding.
***
Di sandaran kupandang lukisan
Laila. Sudah selesai gerak daun palem. Sudah utuh daun palem dengan daunnya yang
terjuntai mati. ia lanjutkan dengan garis warna yang serasi dedaunan. Entah
apalagi yang ia pikirkan. Aku tidak mampu menangkap isyarat hati Laila.
Ia tiada mau melihatku
ke belakang. Di dipan Laila aku hanya tersandar pada bantal yang sudah layu. Seperti
layunya gambaran kamar laila ini. Laila yang malang. Entah sudah puluhan yang ke berapa
kata-kata itu yang selalu terlintas dalam pikiranku.
Aku sungguh merasa
dibuat berada di tempat yang terbuang dari kehidupan. Tapi betapa pula Laila menjadi
orang yang lebih terbuang dari kehidupan ini. Betul kita tidak boleh menyesali
kehidupan ini. Bahkan agama juga melarangnya. Betul pula kita tidak boleh
meratapi kepergian orang lain. Tersiksa orang yang pergi, tapi bagaimana pula
untuk melakukan semua itu. Hanya di mulutnya saja yang bisa tapi di hati tetap
sajalah tidak bisa dilupakan. Tidak. Tidak pula ada niat membuat orang yang
telah pergi untuk tersiksa.
Laila ambil kuas sambil
mencelupkan ke dalam cat minyak. Kini ia lukis setiap sudut halaman dengan
gambaran tanah yang baru. Siap di kupas rerumputan yang menempel sepanjang
lapisan tanah. Sungguh, sangat berbeda dengan taman ini, taman halaman yang
penuh dengan rerumputan hijau. Setelahnya seperti kebiasaannya, kembali ia buat
kuburan.
“Untuk apa semua ini
Laila?” kataku. Suara sedikit berat.
“Aku ingin buat kuburan
di depan rumah kita ini, Mama,” katanya. Tak sanggup aku berkata apa-apa.
Sungguh ingin menangis aku sejadi-jadinya. Tapi tidak. Air mataku sudah habis
untuk masa yang lalu. Kini hanya ada pusara. Tapi entah betapa pula telah lama Laila
menjadi pusara.
“Kenapa kamu ingin
lukis lagi kuburan, anakku?” Ia tak menjawab. Hanya tangannya yang mulai terus
berjalan dengan kuas. Begitulah ia selalu. Bicara satu-satu, bicara yang pilu.
Tidak. Aku tidak menyalahkan ia. Terlalu berat beban ini baginya.
Kupandang lukisan yang
sebelah selatan. Tergantung lukisan gundukan kecil yang dilingkari rumput
hijau. Dengan dua batu mejan kecil. “Annisa, kembali ke maut jum’at, 17 Juli
2009”. Ya, itulah yang tertulis dalam batu nisan. Betapa aku merasa pilu dengan
kursi roda.
Lima bulan setelah
kepergian papa dan Annisa. Saat itu di kuburan tentu tidak lagi ada tanah
merah. Di kuburan hanya ada rerumputan. Kalau ada tanah merah, itu bukan lagi
kuburan papa dan Annisa. Tapi begitulah, lukisan Laila hanya lukisan Annisa
yang seorang. Tidak ada gundukan kuburan papa, tidak ada jejak batu mejan lain,
tidak ada rantng-ranting kayu. Hanya kuburan saja.
“Ke mana kuburan papa,
Laila?” kataku saat sehabis ia menangis menyambut kesudahan lukisan Annisa.
“Papa dan Annisa belum
bertemu,” katanya. Aku tidak paham. Apanya yang belum bertemu. Setiap pertemuan
papa dan Annisa sudah sampai pada kematian. Ia diam seribu bahasa. Aku saat itu
menangis yang tersembunyi. Begitu dalam rupanya keberadaan papa dan Annisa di
hatinya. Aku sungguh pilu. Apa yang dimaksudnya dengan belum bertemu, tidak
pernah ia uraikan.
Barulah pada kesempatan
lain ia buat lukisan kuburan papa dan Annisa pada posisi yang berdekatan.
Posisi yang aneh. Satu gundukan kuburan dengan tanah yang baru, satu gundukan
dengan rerumputan yang hijau. Berada dalam dua dunia. “Bagaimana bisa?”
Kini lukisan itu tetap
berada di atas kepalaku. Ya, aku tidak bisa melihatnya dengan posisi tersandar
ini. Jangankan untuk mengubah posisi duduk. Untuk bergerak saja betapa aku butuh
sedikit bantuan Laila.
***
Aku lihat Laila yang
telah menyelesaikan dua buah nisannya. Ia lukis ukiran nama, tidak salah lagi,
itu lukisan nisan papa dan Annisa. Gerak hatiku yang mengatakan. Aku hanya bisa
memandang dan terus memandang. Betapa pula teririsnya Laila ketika melukis
lukisan yang tepat berada di kepalaku. Ia terdiam, dalam diam ia menangis,
dalam diam ia menjadi muram. Ia lama bermenung.
Sedang dua lukisan yang
berada di dinding depan, di atas jendela yang terbuka, lukisan aku dan Laila
yang setiap bertandan ke pusara selalu dengan air mata dengan satu lukisan
nisan. Ya, itulah lukisan yang ditaruh di sandaran batu Nisa. Lukisan yang juga
ikut menangis seperti aku dan Laila yang menangis.
Aku yang berada di kursi
roda, berada di tengah-tengah batas pusara papa dan Annisa. Laila sedang
memegang pusara Annisa.
Dua lukisan yang di
atas dinding jendela itu sengaja dibuat mirip. Hanya saja pada lukisan yang di
sebelah kanan, Laila yang sedang di batu nisan papa. Dan aku, ah aku hanya
makhluk yang terasing di tengah pusara. Ya, betapa aku berada dalam titik di mana
aku merasa bukan diriku. Tapi bagaiama pula dengan Laila. Laila yang setiap
lukisannya hanya tinggal pusara dan air mata. Saat Laila melukis kedua lukisan
ini hanya dia dengan diamnya, isak tangis saat kuasan terakhir.
Berada dalam diri
lukisan betapa Laila telah jauh menjadi terasing dari pada diriku yang
terasing. Antara ia dan batas dunia lukisan siapalah yang lebih tahu. Saat itulah
ketika aku melihat Laila masih melukis nama, ada kunang-kunang yang
bergerombolan datang. Datang dan hinggap di atas lukisan Laila. Banyak sekali
dan semakin banyak saja. Tiba-tiba rambut Laila dihinggapi kunang-kunang. Badan
Laila, tangannya, punggungya, kakinya.
***
Aku lihat Laila
melukis, menambah dua gundukan di sebelah kanan Laila. Saat itu Laila aneh. Ia
ceria sekali. Aku berada di titik bingung.
“Mama! Mama!” katanya.
Aku masih tersandar di dipan.
“Mama! Mama! Dua
gundukan itu untuk kita. Satu yang di sebelah Annisa untuk Laila, satu yang di
tepi dekat papa untuk Mama.” Laila naik ke dipan. Ia menarik tanganku.
“Ayo Ma, lihat lukisan
Laila.” Laila tidak menangis, ia
tersenyum. Laila masuk ke dalam lukisan. Ia tarik tanganku. Aku tidak
bisa berbuat apa-apa. Antara dunia mana dan dunia apa aku tidak mengerti. Yang
aku tahu hanya ini lah yang terjadi. Cepat-cepat kutarik tanganku. Tapi Laila
sekuat itu pula menarik tanganku. Aku terantuk lukisan. Ada kunang-kunang yang lebih banyak hinggap
di kepalaku.
Aku pandang sekeliling,
kunang-kunang hinggap sepanjang tepian dinding kamar. Ada kuburan-kuburan yang dihinggapi
kunang-kunang. Tiba-tiba aku tersadar tersentak kaget dengan kunang-kunang yang
menyerang mataku. Betapa Laila sedang bersenang-senang dalam lukisan, pikirku.
Tapi pikiran itu buyar pula. Aku tersentak
Aku masih tersandar di
dipan, tangan Laila masih terus melukis. Entahlah. Hanya laila yang mengerti.
Ia buat empat kuburan dalam lukisan. Sesudah ia menangis sejadi-jadinya.
“Sungguh aku tidak
ingin,” katanya. “Aku sungguh tak ingin.” Kembali ia lukis batu nisan dan ia
terus menangis. Dua batu nisan yang belum bernama.***Lingkarputih, 22 Juli
2009