Panggung Ulama

Oleh Alizar Tanjung
 
Suatu senja Selasa Oktober Saga berkunjung ke rumah salah satu ulama dari Koto Gadang. Sebut saja Buya Mas'oed Abidin. Kunjungan itu sebenarnya kunjungan yang direncanakan. Saga disambut dengan lontong, rak-rak buku, dan karangan buku Buya. Dipersilahkan mencicipi lontong dan berbagi cerita tentang perjalanan Buya Mas'oed. "Saya bukan ulama," ujar Beliau kepada Saga.

Buya Mas'od enggan diwawancarai tentang diri beliau. Sepanjang kunjungan, Beliau lebih banyak menceritakan tentang orangtua Beliau. Sedangkan tentang diri Beliau hanya sedikit saja.
"Kalau ingin mengetahui tentang diri saga jangan tanyakan kepada saga. Tanyakan kepada orang-orang yang dekat dengan saya. Mereka yang lebih mengenal saya, kelebihan saya, kekurangan saya, siapa saya. Silahkan juga berkunjung ke Masjid Almunawwarah Siteba kalau ingin lebih tahu lebih banyak tentang saya."
Hal ini membuat Saga kesulitan mendapatkan data langsung tentang diri Buya dari Buya sendiri. Saga harus mengungkit hal-hal yang memancing supaya Buya mau bercerita. Seperti ungkapan "kalau masa kecil Buya sendiri tentu hal ini Buya yang dapat menceritakan?" Pertanyaan ini membuat Saga dan Buya tersenyum kecil.
"Kalau tentang Buya tanyakan kepada orang-orang yang kenal dengan Buya," ulang Buya yang saat itu mengenakan baju bergaris putih dan celana dasar hitam, beserta peci nasional. "Secara keilmuan Saga bukan ulama," ujar Buya untuk sekian kalinya.
Ya, ulama. Saga menghubung-hubungkan kalimat "ulama yang bukan ulama." Muncul kalimat berikutnya "ulama dahulu dan ulama sekarang". Kemudian muncul kalimat selanjutnya "ulama akademis dan ulama praktek". Merumuskan pengertian ulama dalam arti definitif memang sulit. Muncul kalimat selanjutnya "panggung ulama".
Kenapa Buya Mas'oed mengatakan bukan ulama atau lebih tepatnya ulama yang bukan ulama. Saga bercerita-cerita dengan Buya Mas'oed tentang ulama di masa dahulu. Bahwa kehidupan ulama menyatu dengan aktifitas keseharian ummat. Kakek Buya adalah seorang pandai emas, dia juga seorang hafizul Qur'an 30 juz, dan dia juga seorang ulama. Bahkan memiliki anak-anak yang selalu belajar mengaji setiap sore bersama istrinya di rumah.
Pekerjaan pandai emas. Dia ulama yang pekerjaannya adalah pandai emas. Tidak seorang pun dari anak-anaknya yang diajarkan pandai emas. Kenapa? Alasannya sederhana, pandai emas bukanlah pekerjaan yang mudah. Pandai emas membutuhkan kesabaran untuk menahan diri. Bisa jadi inti emas yang tadinya utuh menjadi setengah bagi orang yang tidak mampu menahan emas. Pati emas dapat menjadi patigoan emas, berkurang ukurannya. Orang pilihan yang benar-benar mampu mengontrol diri.
Hal ini bukan persoalan pandai emasnya, melainkan persoalan mengendalilkan harimau dalam diri. Kakek Buya orang Koto Gadang. Keulamaan juga terdapat pada ayah Buya. Ayah Buya juga seorang ulama. Pekerjaan setiap pagi mengalirkan air ke sawah-sawah masyarakat Koto Gadang. Subuh pergi ke Surau Lakuak. Menjadi orang yang bergelar Imam Mudo di Koto Gadang.
Seorang Ulama pekerjaannya mengalirkan air ke sawah di pertigaan malam. Tidak meminta upahan. Ini ulama masa lalu, memberi tanpa meminta. Ulama adalah pekerjaan yang diwariskan nabi. Intinya adalah persoalan memberikan teladan bagi umat. Saga diingatkan dengan mimbar-mimbar yang bertebaran di setiap masjid hari ini. Setelah turun dari mimbar diserahkan amplop. Mereka juga bergelar ulama, tetapi pertanyaannya apakah sama dengan ulama dahulu. Jawabannya terletak di dada masing-masing ulama saat sekarang.
Apakah amplop yang menjadi persoalan atau isi materi yang dihargai? Sekarang makna ulama memang semakin dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Sebab itu Saga ingin bercerita-cerita dengan buya Mas'oed. Pengalaman adalah apa yang dirasai dan marasai, dirasakan dan terlibat di dalamnya, inilah pengalaman. Pengalaman adalah guru. Pengalaman inilah yang ingin diajak bercerita bersama Buya. Ulama dahulu pada dasarnya memang dibesarkan oleh pengalaman, perjalanan hidup dari satu tempat ke tempat lainnya demi menuntut ilmu kepada sang guru.
Cerita memang tidak akan selesai-selesai kalau diperturutkan. Buya menceritakan soal berdakwah adalah soal materi yang kita sampaikan kepada ummat. Ulama ada baiknya mempunyai orang-orang yang mengikutinya. Ceramah adalah tentang isi yang kita bukakan kepada ummat, sehingga ummat mendapatkan sesuatu. Tidak persoalan tentang apa-apa yang telah didapatkan dalam keseharian ummat. Keulamaan adalah apa-apa yang telah dilalui dalam hidup, dilihat, dihayati, direnungkan, di sampaikan.
Pada pertemuan di lain kesempatan dengan ulama yang lain, muncul sebuah ungkapan panggung ulama. "Panggung ulama" saat ini yang masih tinggal adalah mimbar khatib. Mimbar tidak mungkin digantikan oleh TV, radio, video, rekaman. Menjadi sebuah keprihatian masa kini kalau fakta bahwa panggung ulama tinggal mimbar khatib di hari Jumat.
Hal ini membuat kita berfikir-fikir tentang dakwah dalam pengertian dahulu dan sekarang. Dahulu ulama turun ke pasar, ke pengairan sawah, ikut dalam ekonomi, sosial, perang. Sekarang dakwah lebih banyak terfokus dari mimbar ke mimbar.[Rumahkayu, 2013]


Lebih baru Lebih lama