Esai Alizar Tanjung
Terbit di Singgalang, 2013
"Giring-giring
Perak". Membaca satu kalimat ini mengingatkan kita kepada novelis Makmur
Hendrik. Giring-giring Perak adalah judul dari novel Makmur Hendrik yang ke
sekian yang diterbitkan secara bersambung di Harian Umum Singgalang.
Dalam
Giring-giring Perak pembaca akan bertemu dengan aliran-aliran silat. Mulai dari
silat tuo, silat lintau, silat harimau, yang terkenal di antaranya langkah
empat. Langkah yang mematikan bagi lawan di dunia persilatan.
Makmur
Hendrik memang sangat lekat dengan sebutan sebagai pengarang novel silat. Di
samping Makmur Hendrik tersebut pula nama Syeiful Yazan. Pengarang novel silat
yang sekarang menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi Islam negeri di Kota
Padang. Novelis yang akrab dipanggil Kang Ipul ini meski sudah berusia setengah
abad lebih, masih produktif dalam tulisan-tulisannya yang berbaur silat.
Membaca
novel yang berbaur dengan silat kita juga akan dingatkan dengan Harimau-harimau
karya Mohtar Lubis. Ini mempertanyakan harimau di dalam diri manusia. Namun
juga tidak terlepas dari dunia persilatan.
Novelis
lainnya yang juga mengarang novel silat Amran SN. Beliau telah almarhum. Salah
satu novel silatnya terbit di awal tahun 2013 yang lalu. Naskah-naskah silat
beliau banyak yang belum diterbitkan. Entah ada orang yang cinta kebudayaan
yang akan menerbitkan suatu saat nanti. Atau naskah-naskah yang belum terbit
itu akan terkubur bersama kepergian Amran SN. Kita tunggu saja.
Pengarang-pengaran
novel silat ini adalah laki-laki. Pengarang-pengarang novel silat ini sudah
almarhum, kalau ada yang masih di atas dunia ini seperti Makmur Hendrik dan
Kang Ipul itu sudah di usia senja. Siapa yang akan melanjutkan kepengarangan
novel silat di Minangkabau?
Rupanya
novel silat tidaklah dalam keadaan sepi pengarang. Menjawab pertanyaan ini
muncullah sosok novelis silat dari kaum hawa. Dia Maya Lestari Gf dengan novel
silatnya Kupu-kupu Fort De Kock. Maka pertanyaan siapa pengarang novel silat
berikutnya tidak perlu dijawab untuk sementara waktu. Memang hujan datang
sekali-sekali di tempat yang tandus, tetapi bukan berarti hujan tidak akan
pernah datang ke sana.
Saya
melihat bahwa novelis silat akan terus bermunculan di tengah sepinya para
novelis silat hari ini di Minangkabau. Kehabisan sesuatu akan selalu
menimbulkan kerinduan kepada kenangan itu.
Saya
melihat latar belakang penggarapan novel
silat itu sendiri yang menjadi sesuatu menarik untuk dikupas. Kenapa muncul
garapan novel yang bararoma silat? Hal inilah yang menarik dari garapan-garapan
novel silat yang telah bermunculan.
Saya
membahasakan kegersangan dalam dunia silat Minangkabau. Termasuk kegersangan
itu dirasakan dalam novel Kupu-kupu Fort De Kock. Kupu-kupu Fort De Kock lahir
dari keprihatinan dari dunia silat hari ini di Minangkabau.
Minangkabau
dalam hal ini bukan Sumbar memiliki ciri khas silat. Guru adalah alam. Gerak
alam adalah gerak langkah silat. Langkah-langkah silat semuanya digarap dari
alam yang terkembang. Saya menyadari bahwa Minangkabau adalah negeri yang kaya
dengan silat. Setiap daerah memiliki ciri khas Silat sendiri.
Kita
mendengar silat lintau. Silat ini diciptakan, bukan adopsi dari silat dari
tempat lain. Kita mendengar silat tuo. Silat paling tua di Minangkabau. Hanya
sedikit orang yang masih memiliki silat ini. Kita juga mendengar silat harimau.
Silat yang memang mengikuti langkah-langkah harimau. Kita juga mendengar silat
kumango.
Saat
ini hanya kata-kata mendengar yang dapat diucapkan. Kenapa demikian? Silat
adalah khasanah intelektual orang Minang. Silat bukan untuk menyerang, silat
untuk mencari kawan. Inilah yang ditanamkan dalam dunia silat.
Perguruan-guruan
silat di masa lampau beredar di pelosok-pelosok negeri. Setiap koto memiliki
perguruan silat. Ada dua hal penting yang ditanamkan dalam diri pesilat.
Pertama kesederhanaan. Kedua kebertuhanan. Hal inilah yang diajarkan oleh
silat. Silat semakin mendekatkan diri kepada Tuhan.
Masuk
ke dalam perguruan silat akan bertemu dengan syarat kain kafan, satu pisau,
seekor ayam. Terkadang ada pula yang bersyarat kain sarung, ditambah satu
gantang beras. Kenapa kain kafan yang menjadi syarat masuk perguruan silat?
Kain kafan pertanda hidup dan mati sang murid. Bahwa guru memiliki kewenangan
terhadap muridnya baik ketika berbuat benar maupun ketika melakukan kesalahan.
Guru memberikan hukuman yang setimpal. Kalau murid menyimpang guru berhak untuk
menindak meski sampai kepada nyawa. Ayam juga menjadi syarat agar dia
berkembang menjadi mata pencaharian. Hal ini berarti keseimbangan dunia
akhirat. Seorang pesilat adalah dia yang mampu menyeimbangkan dunia dan
akhirat.
Hal
ini kiranya patut dicamkan dalam dada pesilat.
Sekarang
persoalannya adalah perguruan silat itu sendiri. Masihkah terdengar
perguruan-perguruan silat di Minangkabau? Kalau masih terdengar hanya tinggal
dalam hitungan. Orang-orang yang pandai bersilat terkadang seperti tidak
pandai. Saya mengatakan bahwa para guru hari ini mulai mengambil langkah diam,
beranggapan silat tidak lagi dibutuhkan. Padahal silat adalah kebutuhan hidup,
seni dalam menggerakkan hidup orang minang. Silat bukan untuk bertarung, silat
adalah cara mengontrol diri. Bersilat dengan diri sendiri yang di dalam tubuh
ada nafsu, ada akal, ada pikiran, ada hati. Inilah silat dalam kandungan keminangkabauan.
Silat
hari ini seperti sengaja disembunyikan dari kehidupan orang-orang Minangkabau.
Sehingga perguruan silat seperti menghilang dari bumi Minangkabau, walau
sebenarnya tidak menghilang.
Kerinduan
ini didapatkan dalam novel Kupu-kupu Fort De Kocok. Maya sebagai seorang perempuan
dibesarkan dalam peradaban kota. Kerinduan terhadap silat membuat dia kembali
menjelajah ke alam kenangan. Bukankah silat itu sebenarnya amat romantis, amat
berharga, dan sebuah seni dalam hidup.
Kupu-kupu
Fort De Kock kembali mengangkat citra silat ini ke permukaan. Silat sebenar
sesuatu yang berharga yang ada pada Minangkabau. Kekhasan dan keunikan dalam
menata hidup terdapat dalam silat.
Kupu-kupu
Fort De Kock kembali mengungkap jenis-jenis silat yang nyaris tenggelam dari
ingatan anak-anak muda. Hanya orang tua-orang tua saja yang masih menyimpan
memori itu. Langkah-langkah silat yang seperti sudah menjadi legenda diingatan
anak muda, kembali ingin dijadikan ingatan real kembali. Bahwa silat bukan
imajinasi adalah fakta. Silat adalah benar adanya di Minangkabau.
Kupu-kupu
Fort De Kock menggunakan pendekatan modern untuk masuk ke dunia persilatan.
Tahun terjadinya dalam novel pada tahun-tahun terdekat dengan tahun 2013 ini.
Ada tahun 2005, ada tahun 2008. Sehingga pembaca terkesan diajak untuk menelusuri
latar kejadian.
Tempat-tempat
kejadian dalam novel ini juga real.
Kedai kopi Si Man terletak di By Pass. Jembatan Sitinurbaya juga masuk
dalam bagian cerita. Siteba, Kurao, hotel The Hill Bukittinggi, Jam Gadang,
Lubang Jepang, air terjun Lembah Anai, tempat-tempat ini disebutkan dalam novel
Maya Lestari Gf. Sehingga benar-benar dekat dengan pembaca.
Silat
di tengah kehidupan modern menjadi menarik ketika diolah dengan amat baik.
Kehidupan modern tidak mesti selalu identik dengan glamor kota. Ada sisi-sisi
menarik dari daerah pinggiran yang membuat kehidupan modern menjadi menarik.
Salah satunya adalah silat. Mengolah silat yang identik dengan gaya lama,
dileburkan dalam kehidupan modern menjadi sebuah novel adalah ciri khas dari
novel ini.
Saya
melihat ada sedikit ruang kebahagian yang benar-benar dapat dinikmati dari
novel yang diterbitkan Koekoesan, 2013 ini. Silat memang tidak buming seperti
dahulu di Minangkabau, setidaknya dia masih dapat dinikmati dalam rekan jejak
kenangan dalam novel. Tangan, kaki, siku mungkin tidak lagi bergerak dalam
gerakan silat, setidaknya isi kepala masih mengikuti gerakan itu melalui
bacaan, sebagai pengobat kerinduan bagi orang-orang Minangkabau saat ini.
Membuat mata masih bisa berkaca-kaca bahwa silat masih ada di negeri Minang
ini.[rumahkayu, 2013]