Sajak Alizar Tanjung
Sindo,
8 Mei 2011
MUSIM
DI SEPANJANG RIWAYAT (2)
Musim di
sepanjang sepi, kutanam dalam batu
agar direngkah
alir hujan. Semacam mata air,
ia mengalir yang
selalu ke arah muara. Sekali waktu
mengendap ke
dalam baju yang tersangkut di belakang pintu kamar
(kamar
perempuanku yang pada dindingnnya ia tulis namaku)
Sepi hanyut
semacam lamun ombak, tempat pertemuan muara,
buih terkapar,
gigil karang
cukup menyanyikan pada tiap hempas ombak
yang tibatiba
badai.
Musim rengkah
pada tiap batu, hanyut dikeping sepi,
di batu namaku
tertulis
(Padang,
28 Maret 2010)
RENGKAH
Rengkah kemilau
embun di tapak tilas.
Sang peziarah
termangu. Ia pikirkan amuk di ladang petani,
lalu ia ia
pergi.
(Cerup dicerup
bibir tak bertamu siulnya)
Rengkah ia
pikirkan jejak, sekali tak ia pikirkan mendung,
tentang abah di
tanah batu. Ia bertanya alamat jalan,
jawaban
memantul, sekali ia rengkah.
(padang,
27 Maret 2010)
ANAK
OMBAK
Anak itu
berjalan ke dalam ombak, ia rentangkan tangannya,
ia ceburkan
badan telanjangnya.
Pada sebuah batu
ia tinggal baju dan celana.
“laut berbisik
kepadaku tentang ikan-ikan kecil,
ikan-ikan
salmon,” katanya kepada bibirnya.
Ia tersenyum
kepada buih yang menghempas batu pantai,
persis air yang
menghempas karang rumahnya.
Pasir laut
menarik kakinya, ia turuti himbau ratu laut,
jejak ibunya
pasti dalam laut, di matanya.
Ia hilangkan
badannya, ikan terlalu jauh di tengah laut.
Ia mencilam
semakin dalam. “rupanya begini rasanya setelah tak lagi
dikenal pantai.”
Ia ingat ia meninggalkan baju dan celananya
di atas batu
pantai.
(Padang,
27 Maret 2010)
LAKNAT
cinta tak
berbakat kupersembahkan kepada api,
rencananya aku
berniat jadikan sesajen,
memuja neraka.
(Padang,
23 Maret 2010)
PERTEMUAN
DESA KECIL
i
Kepada ibu kita
sangat pandai melagukan syairsyair desa,
Syair anak
ladang yang kita bawa pada setiap perpisahan dan
pertemuan.
“bareh
solok bareh tanamo, di pagatok urang pario.”
dan entah atas
perjanjian apa, kita berniat mengukir
kota
masingmasing. Krayonnya peta hidup yang digarisi jalan
likaliku keluar
kampung. Akhirnya sampai juga di ujung jalan.
ii
kepada ibu kita
malu menyanyikan syairsayair desa,
“alamatalamat
sawah di nisan nama. Ladangladang
dalam
lukisan. Gambut tanah di suatu masa lama.”
Ujung jalan yang
buntu di simpang gang baru. Orangorang
Membuat miniatur
monas dua, untuk sebuah janji baru.
iii
untuk sebuah
larik singkat, yang tak pandai kita usaikan.
(Padang,
07 januari 2010)