ALIZAR TANJUNG*
(Media Indonesia, 25 Januari 2015)
Pagi Selasa yang berkabut itu, antara gonggongan anjing di
dalam kandang, dan kokok seekor ayam kuriak kinantan di halaman, Bapak
memanggil Sulaiman. Memberikan pelajaran bertanam kol, setelah
pelajaran-pelajaran lain diberikan di hari yang lain di kampung yang bersuhu
kisaran 16-18 derajat itu.
Sulaiman duduk di depan Bapak. Siap mendengarkan pelajaran
berladang kol. Jauh di depan mereka, ladang kol menghampar. Mulai berkecambah. Tiga
batang akasia melambai, dan jauh di depannya lagi dinding tebing menghampar
hijau. Memanjang dari selatan ke timur. Tapi pagi ini dinding tebing sedang
tidak terlihat. Kabut sedang tebal. Orang-orang akan memilih berdiam dalam
selimut. Menunggu pagi menjauh, sebelum pendakian di lereng tebing itu
dilanjutkan, untuk meneruka ladang-ladang mereka di balik tebing bukit itu.
“Kau harus tahu cara bertanam kol!”
“Apa tujuan sekolahku tinggi-tinggi kalau harus bertani
lagi?”
“Beda.”
“Aku ingin hidup di kota.”
“Darah kol ini mengalir dalam darahmu.”
Seperti biasanya, pelajaran akan dimulai dengan pertengkaran
ringan sebelum pelajaran serius. Dan ,Sulaiman menantang Bapak. Dia dibesarkan
kota besar, Bapak dibesarkan hutan besar.
“Santai Nak. Tarik nafas dan hembuskan kembali. Baik, kita
lanjutkan. Bukan itu maksudku.”
“Aku sungguh tidak tertarik.”
“Lambat laun kau akan tertarik, Nak. Begini, hidup seperti
tumbuhan, tumbuh ke atas, berkecambah, berbunga berbuah, dan kau menikmatinya.
Dan, ada sisi kehidupan tumbuh ke bawah, menjadi akar, menembus tanah, masuk
dalam kegelapan, kemudian terlupakan, karena dia kasat mata.”
Bapak membetulkan gulungan kain sarung di pinggang dan
memilin kumis yang juga sudah bengkok. Dia melakukan itu karena sudah menjadi
kebiasaan. Sulaiman menyerup kopi dan memakan satu potongan gorengan ubi.
“Baik. Silahkan Bapak lanjutkan.”
“Kau tentu kenal kol?”
“Tentu.”
“Apakah kau benar-benar mengenal kol?”
“Bapak sudah tahu jawabannya.”
“Ya, akan aku beritahu! Hidupkan nipahku.”
Sulaiman memantik api, mendindinginya dengan telapak tangan,
agar tak padam ditiup angin.
“Seperti sebatang nipah yang kuisap ini. Api membakarnya,
habis perlahan-lahan, dan kita membeli lagi yang baru.” Bapak memiringkan
kepala, melepaskan asap nipah ke udara. “Kol itu bagian dari badan kita
sendiri.”
“Bagiku kol adalah serupa mata air yang mengalir di sekujur
tubuhku. Dia mengalir dan terus menjadi sumber kehidupan bagi anggota tubuhku.
Mulai dari aku lahir dan sampai dirimu dibesarkan, kol itu terus mengalir, dan
sekarang mengalir dalam badanmu.”
“Aku harus berbuat apa, Pak?”
“Cukup mendengarkan, pelajaran bertanam kol ini belum
selesai. Pelajaran ini sangat penting agar kau mengerti betul filosofi bertanam
kol, silakan kau memutuskan bertanam kol atau tidak setelah pelajaran ini
usai.”
“Baik!”
“Nah begitu.”
“Lanjutkan Pak!”
“Kau kubesarkan dengan ladang kol ini. Tentunya juga ladang
kol di ladang kita di balik bukit itu: ladang kol garogok, ladang kol parakdalam,
ladang kol anakaia. ladang kol tanahkuniang. Kol dari ladang ini yang mengantarkan
engkau ke kota, sekolah menjadi orang beradab dan tentunya aku tidak akan
percaya kalau kaumengingkari sumber kehidupanmu sendiri.”
“Aku tidak mengingkarinya?”
“Kauhanya perlu mengenalinya lebih jauh. Kol bagi kita
adalah mata, hidung, mulut, tangan, kaki. Mata kita dari serat-serat kol,
hidung kita dari serat-serat kol, mulut kita beraroma kol, tangan kita dari
kumpulan-kumpulan daging kol, kaki kita juga demikian, keringat kita mengalir
dari kandungan air dalam kol. Sebab itu aku sekolahkan kau, biar mengenalnya
lebih dalam.”
Angin ribut di tiga batang kulit manis di samping
rumah, cukup membuat suara mereka
terdengar samar-samar. Percakpan mereka terdengar seperti bisik-bisik.
“Mari kutunjukkan!” kata Bapak.
Bapak mengambil baju. Ganti pakaian, kemudian kembali dengan
pakaian kerja, baju compang-camping berlumuran noda tanah. Sulaiman tetap
dengan baju tidurnya, melilitkan kain sarung ke leher. Mereka berjalan ke
ladang kol. Wajah Bapak langsung semringah, melihat kol mekar dengan baik.
Daun-daunnya dipenuhi embun. Seekor ulat yang melubangi daun Bapak turunkan
dengan perlahan dengan dua jarinya.
“Ulat ini pun mempunyai hak hidup dari kol,” ujar Bapak.
“Bukankah kol-kol muda ini cukup indah
dan memberikan ketenangan bagi yang melihat? Ini tentang rasa berbagi, bukan
hanya dari kita, juga datang dari kol ini.”
Sulaiman mengernyitkan dahi. Jongkok. Dan, tidak merasakan
apa-apa. “Ya, Pak,” katanya pura-pura mengerti. “Mungkin Bapak benar tentang
hal ini.”
“Dan memang benar, Nak. Kau mengerti sekarang,” Bapak
mengusap daun-daun kol muda itu, membelainya seperti anak kecil. “Ini sumber
kehidupan pertama; kebahagiaan. Sumber kehidupan kedua; buah, yang membuatkau
sampai ke kota.”
“Bapak akan mengatakan ini berkah kol?!”
“Kau cukup cerdas. Sebab itu kau bersekolah,” tuturnya.
“Bertanam kol bukan sekedar bertanam kol, Nak. Tanah ini memberikan aroma bagi
kol, saripati tanah menyatu dengan kol, dan sekarang menyatu dengan badan
kita.”
Bapak mencangkul tanah, mengambil saripati tanah, meletakkan
di telapak tangan, mendekatkan ke hidungnya yang berbulu putih di dalamnya.
“Cukup harum. Cobalah.”
Sulaiman mengambil tanah dan mengendusnya. Dia tidak
mendapatkan aroma apa-apa, selain amis tanah. Kemudian ia bersin dengan
kerasnya. Bapak tertawa terpingkal-pingkal.
“Kau perlu pembiasaan diri!” Ujarnya pada Sulaiman yang bulu
hidungnya dimasuki tanah. “Cobalah sekali lagi!” Demi menyenangkan Bapak, Sulaiman
melakukannya sekali lagi. Dan, dia benar-benar hanya mendapatkan aroma amis
tanah. Sekarang Sulaiman benar-benar menyerah.
“Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang Bapak
lakukan!”
“Tanah ini kehidupan bawah, Nak. Dia diinjak, tidak
dikenang, padahal tidak mungkin ada kehidupan atas tanpa ada kehidupan bawah.
Sekali-kali kau harus melihat dengan cara yang berbeda. Tanah ini yang
memberikan kehidupan bagi kol, kol memberikan kehidupan bagi kau dan aku.”
“Maafkan aku!”
“Tidak, kau tak perlu minta maaf. Mari kutunjukkan lagi.
Saat tajam cangkul ini membuat luka dan rasa sakit pada tanah, saat itu pula
kehidupan bermula. Kehidupan kita dimulai dari dari rasa sakit tanah yang
dicangkul dan rasa sakit cangkul yang tumpul bertemu batu. Hujan dan panas
sudah biasa di punggung cangkul. Lalu bibit kol disemai. Setelah disemai,
barulah dipindahkan ke tanah yang sudah
selesai dicangkul. Racun dan pupuk menumbuhkan-kembangkannya. Menumbuhkan
kehidupan tidak cukup dengan obat saja, Nak. Obat pertanda ada yang sakit,
sedangkan racun pertanda seberapa kuat kau terhadap kehidupan. Obat sumber
kelemahanmu, racun sumber kekuatanmu.”
“Bagaimana ulat dan hama yang mati akibat racun?”
“Harus ada pengorbanan untuk setiap kebaikan, Nak.
Pengorbatan ulat adalah kebaikan buat kol. Dengan begitu akan mengerti
keseimbangan hidup.”
“Aku tidak mengerti.”
“Lambat laun akan mengerti.”
“Sekarang aku hanya mengerti dengan harga kol yang murah.
Bahkan modal saja tidak kembali dengan harga kol yang hanya 20 ribu satu
karung. Bagaimana mungkin kita hidup dengan kol, Pak?”
“Soal murah dan mahal biar urusan mereka, Nak. Urusan kita
bertanam dan hidup dari bertanam. Kita cukupkan pelajaran kol pagi ini.”
Mereka kembali ke teras rumah, menghabiskan dua potong goreng
ubi. Bapak meninggalkan Sulaiman. Sulaiman berjalan sendiri menyusuri jalan
setapak menuju ladang kol: ladang kol garogok, ladang kol parakdalam, ladang kol
anakaia, ladang kol tanahkuniang, dia benar-benar ingin cepat sampai….
*Alizar Tanjung, lahir di Solok, 10
April 1987, Sumatera Barat. Menulis fiksi di media-media nasional.