ALIZAR TANJUNG*
Terbit, Singgalang, 10 Februari 2015
Jika malam itu Rabi’ul Awal menangis
sejadi-jadinya, meratap, meraung-raung, berguling-guling di lantai, sehabis
kain kelambu itu ditebarkan, sehabis baju pengantinnya disingkap, seusai cinta
itu disampaikan, setelah satu kecupan Muharam mendarat di keningnya, itu bukan
salah Rabi’ul. Percayalah ini bukanlah kesalahan Rabi’ul. Rabi’ul bukanlah
pihak yang terhukum dan terhinakan. Dia tetaplah gadis baik-baik sebagaimana yang dikenal orang
banyak di Rumah Gadang itu. Gadis pendiam dan penurut.
Kain kelambu yang ditinggalkan begitu
saja, tanpa ada bercak merah, itu tanda aib. Tapi jangan salah sangka dulu. Aib
yang dilekatkan sungguh berbeda dengan apa yang bakal dituduhkan kepada Rabi’ul.
Malam itu, malam yang hening, malam
purnama, dan cahaya bulan berkilauan di atas gonjong Rumah Gadang. Kata
orang-orang yang melihat bulan dari luar itu bulan sungguh bulan luar biasa,
mereka menganggap itu bulan adalah bulan keberuntungan bagi perkawinan dua
orang bujang gadis itu. Tidak pernah bulang seterang itu malam-malam purnama
sebelumnya. Sungguh cukup tenang. Tidak terdengar anjing menggonggong panjang
seperti malam-malam sebelumnya. Tidak ada keributan jalan utama, selain
keributan orang-orang yang makan silir berganti. Dan hari semakin larut malam.
Sepasang pengantin yang berseri-seri
itu, makhluk yang sempurna itu, bidadara-bidadari yang baru resmi semenjak
sehari sebelum itu, memasuki kamar pengantin mereka. Lihatlah wajah Rabi’ul
berseri-seri ketika Muharam memandangnya dengan tatapan yang lembut dan penuh
arti. Tidak tanggung-tanggung senangnya hati Rabi’ul. Tidak dia lepaskan tangan
Muharam dari genggamannya. Ini yang selama ini mereka nanti-nanti, duduk di
pelaminan dengan perkawinan yang sah. Ya, kesempatan yang ditunggu sudah datang,
siapa pula yang akan menyia-nyiakannya.
“Kau rembulan malam ini kiranya, Rabi’ul.”
Sedikit saja godaan ringan dari Muharam tidak tanggung-tanggung merah pipinya Rabi’ul.
Dia memang gadis yang masih sangat mudah belia, ketika Muharam yang berprofesi
sebagai pengamen jalanan yang rajin salat itu melamarnya.
“Dia laki-laki yang baik. Rajin pula
salatnya,” begitu Rabi’ul meyakinkan mamaknya Malin Karami. Yakin saja Malin
Karami dengan keponakannya. Bagaimana dia tidak akan yakin, selama ini Rabi’ul
dikanal sebagai gadis yang taat ibadahnya, puasa senin-kamisnya tidak pernah
tinggal, setiap habis Magrib sampai Isa salat di masjid. Tentulah yakin Malin
Karami bahwa Rabi’ul sudah memilih pasangan hidup yang tepat meski usianya baru
seumuran jagung, 15 tahun. Sungguh usia yang sangat muda.
“Usiamu masih belia, Rabi’ul."
Begitu sedikit keraguan yang muncul dari Mamaknya. Dan keraguan itu dia tepis
dengan keputusan yang sangat tidak mungkin untuk dielakkan Malin Karami.
“Aku mengikuti jejak Mamak yang
dahulunya juga menikah muda. Tentu mamak setuju pula dengan keyakinan agama
kita yang menganjurkan menikah bagi mereka yang sudah siap.” Maka sesuai dengan
adat, bilangan hari, bilangan bulan, dilangsungkan pernikahan itu di bulan yang
tepat, bulan Rajab. Gendang bertabuh, talempong talu bertalu, pernikahan
berlangsung layaknya adat orang kampung. Rabi’ul resmi menikah dengan Muharam.
Baik hati Rabi’ul maupun hatu Muharam
sama-sama mekar, seperti bunga matahari yang mendapat cahaya pagi yang segar.
Mereka saling menyilangkan cincin, saling memberi kecupan. Sanak famili yang
datang tidak tanggung-tanggung senangnya meski itu bukan sanak famili kandung Rabi’ul.
Rabi’ul hanyalah keponakan pungut dari Malin Karami. Suku Rabi’ul disematkan ke
suku Malin Karami, maka jadilah Rabi’ul sebagai keponakan tersayang Malin
Karami.
Pernikahan berlangsung. Orang-orang
datang dari sudut-sudut kampung, hanya sekedar memberikan ucapan kebahagian dan
menikmati hidangan makan yang disediakan oleh pihak si penghuni rumah. Sepasang
pengantin yang masih muda belia itu mendapatkan salaman, kecupan kiri dan
kanan, foto bersama di atas Rumah Gadang.
Dan kini setelah semua tamu undur diri,
mereka hendak melangsungkan hajatan pengantin yang ditunggu-tunggu. Apalagi
kalau bukan untuk meneteskan darah di atas kelambu, tanda masih perawan dan
jaka dua orang bujang-gadis itu.
“Pandai benar Abang Haram menggoda, Adik.”
Begitu goda Rabi’ul dengan malu-malu sambil duduk di atas kain kelambu. Belum
dia lepaskan baju pengantin yang membungkusnya. Tentulah Rabi’ul sedang
menunggu Muharam yang melepaskan baju pengantin itu. Dan sesuai seperti yang
diperhitungkan Muharam mendekati Rabi’ul dengan tenang amat tenang dan
meyakinkan. Dia akan mendapatkan malam keberkahan di malam pertama sesudah ijab
qabul itu disampaikan.
“Bagaimana mungkin aku pandai berbohong
di depanmu, Adik! Kalau rembulan itu bisa aku petik, aku sematkan satu di
telingamu!” Ya, memang pandai dua orang bujang-gadis itu berbalas puisi. Dan
begitu pandai mereka untuk saling bertukar pandang dengan cara yang diinginkan
semua orang. Muharam tepat di samping Rabi’ul, sesuai dengan yang diinginkan
hati Rabi’ul, Muharam melepaskan baju pengantin Rabi’ul. Berdebar-debar kencang
detak jantung Rabi’ul. Bagaimana tidak akan berdebar-debar diluar kebiasaan
normal, tubuh yang selama itu tidak pernah disentuh laki-laki mana pun kini
akan disentuh oleh Muharam. Dan tentu pula dia bukan tidak senang disentuh oleh
Muharam. Malahan sangat senang hati muharam. Debar jantungnya adalah debar
jantung kebahagian setelah kekasih yang dia anggap malaikat turun dari langit
itu menjadi suami sahnya.
Rabi’ul bertemu Muharam karena
kebiasaan Muharam salat di masjid tempat di mana Rabi’ul suka mengaji. Suara Rabi’ul
yang mendayu-dayu ketika melantunkan ayat suci al Qur’an itu sanggup menahan
Muharam untuk berlama-lama di masjid. Pertemuan akhirnya menjadi benih-benih
cinta, benih-benih cinta menjadi buah keyakinan untuk menjalin hubungan pernikahan
tanpa harus berlama-lama berpacaran.
Gayung bersambut berpihak kepada mereka
berdua. Dan kini mereka sedang tersipu-sipu malu saat kecupan pertama mendarat
di bibir Rabi’ul. Bertambah kencang detak jantung Rabi’ul, bertambah merah
pipinya, dan sesaat itu juga mereka ganti kamar dengan lampu yang lebih
remang-remang. Kini mereka benar-benar menjadi sepasang insan, Muharam akan
menanam benih di lahan yang subur. Lahan yang siap mereka olah bertahun-tahun
ke depan dalam bahtera rumah tangga.
Namun saat itulah sesuatu di luar
kebiasaan terjadi. Saat Muharam melepaskan baju pengantin Rabi’ul, saat dia
memperhatikan lekat-lekat sesuatu di bagian atas dada Muharam. Muharam
benar-benar tidak akan melupakan tanda itu. Dia benar-benar tidak akan lupa
sampai dia meninggal pun.
Tangis Muharam pecah. Air matanya
berurai. Lekat-lekat dia pasangkan baju Rabi’ul. Tidak mau lagi dia memandang
buah dada Rabi’ul yang sedang mekar itu. Dia pakaikan lengkap-lengkap baju
pengantin Rabi’ul. Dia tatap dalam-dalam wajah Rabi’ul dengan tatapan yang
dalam yang membuat Rabi’ul heran dan bertanya-tanya dalam kepalanya tentang
laki-laki yang dalam sekejap berhenti menyentuhnya.
Apakah yang salah dengan diriku, tanya batin Rabi’ul dengan ketakutan
yang amat dalam. Dia tidak dapat membendung air matanya. Bagaimana mungkin
secara tiba-tiba Muharam memalingkan diri dari dirinya. Seolah-olah dia adalah
perempuan tercela yang sudah dengan sengaja dinikahkan dengan Muharam. Apakah aku kurang cantik? Apakah kulitku
kurang kencang? Apakah badanku berkudis? Apakah aku makhluk busuk? Hingga
teganya Abang memalingkan wajah darinya. Begitu pikir Rabi’ul sebelum
sempat dia mencegah Muharam meninggalkan dia.
Dalam tangis yang bersahut-sahutan,
dalam isak yang memilukan, Muharam meninggalkan Rabi’ul tanpa kata. Tidak
sanggup dia mengatakan apa-apa. Dia hanya sanggup menatap Rabi’ul dengan
tatapan yang lain. Dia hanya sanggup menghusap pipi Rabi’ul sebelum dia
meninggalkan gadis yang masih perawan itu. Muharam membiarkan Rabi’ul terduduk
di atas dipan empuk mereka. Sedangkan dirinya, dirinya dengan pikirannya yang
dia punya melayang entah ke mana. Apa yang dia pikirkan hingga dalam sekejap
dia bukan lagi seperti Muharam yang dia kenal. Dia menampar-nampar kepalanya.
Dan tertunduk dalam diam untuk waktu yang lama. Kemudian dia bereskan bajunya
pengantinnya. Dia pakai kembali beka dan kain sarung. Saat Rabi’ul menggapai
tangannya, dia lepaskan tangan Rabi’ul dengan paksa. Saat Rabi’ul memeluk dia
dari belakang dan mengatakan, “Abang jangan tinggalkan Adik?” Muharam
melepaskan dengan satu kali sentakan.
Muharam melompat dari atas jendela.
Tidak sanggup dia menampakkan wajah ke sanak famili yang sendang tiduran di
ruang tengah. Saat Muharam menghilang dalam kegelapan saat itu jugalah seisi
rumah terbangun dengan ratapan memilukan Rabi’ul. Ratapan itu sungguh
benar-benar menaikkan bulu kuduk. Orang-orang yang mendengar ratapan itu
seperti mendengar lolongan pilu seorang ibu yang kehilangan anak kandungnya di
tengah malam buta.
Rabi’ul merobek-robek kain kelambu.
Kain-kain kelambu itu sudah bertebaran. Rabi’ul mencakar-cakar rambutnya yang
panjang. Dan dia membenturkan kepalanya ke tembok sesaat sebelum keluarga itu
berhamburan ke kamar pengantin yang masih baru itu. Malin Karami yang malam itu
masih berdialog dengan mamak-mamak yang lainnya, menghentikan prilaku bunuh
diri Rabi’ul. Dia lihat kain kelambu yang belum berdarah. Dia tahu benar dari
kondisi kamar pengantin, belum terjadi apa-apa malam itu. Dan persoalan Muharam
yang tidak dia dapatkan di kamar, sungguh memerahkan pangkal telinganya.
Pandai benar bujang mencoreng arang di muka Mamak, begitu hatinya menahan amarah yang
mendesak-desak. Tidak disangka Malin Karami, rupanya pisang berbuah nangka.
Kalau tahu dia semenjak lama, sudah dia hentikan pernikahan yang akan mencoreng
mukanya sendiri.
Tapi sungguh bukan kehinaan yang
menjadi pokok persoalan. Muharam bukan pula pihak yang menyalahkan. Baik Rabi’ul
maupun Muharam pihak yang disalahkan oleh rancangan kehidupan. Begitulah
maksudku. Mereka menikah dengan cara baik-baik. Rabi’ul gadis baik-baik dan
Muharam juga menyadari bahwa dirinya laki-laki baik-baik.
Tangis Muharamlah yang membukakan semua
cerita. Tangis muharamlah yang mengatakan tentang kenapa dia harus berhenti
menyentuh badan tambun Rabi’ul. Sungguh dia sangat ingin menyentuh badan tambun
yang sudah dihalalkan ijab qabul itu. Dan karena sudah dihalalkan maka dia buka
baju pengantin itu.
Muharam dibesarkan oleh kolong jembatan
dan rasa sakit penderitaaan sebagai anak jalanan, setelah gempa besar Padang
bersamaan dengan Tsunami Aceh memutuskan mata rantai dengan keluarganya. Dia
dibesarkan oleh kolong jembatan dan kerumunan anak jalanan. Dia dibesarkan
tanpa keluarga. Perlahan-perlahan memperbaiki hidup dari satu simpang ke
simpang lampu merah. Dan akhirnya bertemu Rabi’ul.
Muharam sangat tahu tanda menyilang
menyerupai segumpalan kabut tebal di dada kanan atas Rabi’ul. Bekas luka yang
amat dia kenal dan tidak akan dia lupakan. Tanda itu tanda bekas siraman air
panas ketika mereka dahulu bertengkar soal siapa yang paling dahulu harus
memindahkan air panas ke termos. Muharam sangat kenal bahwa Rabi’ul itu adik kandungnya.
Sebab Muharam tahu apa yang akan dia
lakukan dan kehidupan yang harus dia putuskan, dia putuskan pergi tanpa
kata-kata. Hanya itu cara terbaik meski, ya meski, itu akan menimbulkan luka
yang dalam bagi Rabi’ul. Meski sampai di mana hari, Rabi’ul tidak lagi mengenal
siapa dirinya. (Padang, 2015)
*Alizar Tanjung, lahir di Solok, 10
April 1087, Sumatera Barat. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, catatan
kebudayaan dipublikasikan di koran lokal dan nasional.
Antologi cerpennya: Rendezvous di Tepi Serayu (Grafindo Litera Media, 2009). Bukan Perempuan (Grafindo Litera Media, 2010). Antologi puisinya: Akulah Musi (Dewan Kesenian
Palembang, 2011). TSI Narasi Tembun i(Komunitas Sastra Indonesia, 2012).
Akar Anak Tebu (Pusakata, 2012). Handphone 085
278 970 960. Rekening a/n Alizar, Bank Manidiri
: 111-00-0561246-6