Aku memberi judul tulisan ini “air mata
berlalu”. Sebenarnya tulisan ini lagi-lagi tentang kamu, tentang kamu yang
semakin hari semakin dekat dengan hidupku, tentang kamu yang sudah pergi dalam
pelukan lain, tentang aku yang semakin rindu dari hari ke hari, tentang air
mataku yang akhirnya turun saja. Aku ingin biarkan dia terus mengalir, biarkan
dia membentuk sungai di pelupuk mata ini, biarkan dia mengalir bersamaan dengan
ingus yang ikut turun. Biarkan dia membawa kesedihan ini, kesedihan yang sudah
lama aku tanggungkan sebab aku salah dalam memutuskan.
“Apakah Mas akan memilih dia atau aku?”
Kau memberikan pilihan itu kepadaku. “Apakah Mas serius ingin menikah denganku?”
Kau mengajukan pertanyaan itu kepadaku. Kemudian air mata ini terus mengalir,
biarkan dia terus mengalir. Mengapa aku tidak menjawab dahulu bahwa aku serius
ingin sehidup semati denganmu, mengapa aku tidak memilih bahwa aku inginkan
dirimu, bukan inginkan dia yang orang Pasaman itu. Cinta memang begitu, selalu
mempermainkan hati. Dan sekarang hatiku yang sedang dipermainkan cinta.
Kau menantangku tentang cinta yang
paling setia. Tetapi aku mengkhianati cintamu. Kau menangis karena aku lebih
memilih dia daripada kamu. Berhari-hari kau menangis, berhari-hari kau tersedu
ketika kita saling telponan. Berhari-hari kau mengatakan kepadaku, “semoga Mas
berbahagia dengan dia. Aku yakin dia jauh lebih dariku, sebab itu Mas memilih
dia.” Dahulu air matamu yang berderai sepanjang hari, sepanjang malam.
Sampai-sampai kau ingin bunuh diri karena tidak tahan aku tinggalkan, kau katakan
kepadaku ketika perjalananku yang kedua sekembali dari Purwokerto, “aku tidak
tahan lagi hidup tanpamu, Mas.”
Waktu sesak di dadaku antara tidak
tahan melihatmu menderita dan antara mempertahankan cintaku di Padang. Aku lelaki yang bodoh yang tidak pandai
mengambil sikap. Padahal bisa saja aku katakan kepadamu, “aku mencintai kamu
dan aku akan mempertahankan cinta kita.” Nyatanya aku benar-benar mencintaimu.
Nyatanya hatiku sampai sekarang ini masih milikmu. Sungguh hatiku masih
milikmu. Kau masih saja berdiam di hatiku.
Aku jawab kalimat tanyamu, aku tahu
resiko menjawab dari pertanyaanmu, bahwa perpisahan di antara kita menanti. Aku
bisa saja menjawab bahwa aku ingin bersamamu tanpa ada seorang pun yang
mengganggu,tetapi aku tidak pandai berbohong bahwa seseorang di belahan pulau
sana sedang menantiku. Sungguh dia sedang menantiku. Sekarang air mataku
berderai. Aku menangis, menangisi perpisahan yang aku sesalkan. Aku menyesal
meninggalkanmu dengan air mata. Sekarang air mataku yang berderai, menangis
sesuatu yang tidak mungkin lagi jauh lebih baik.
ALIZAR TANJUNG I 29/05/15