Lampu menyala terang benderang di aula
kampusmu. Orang-orang duduk melingkar. Tabuh persembahan bagi para penyair tamu
dari berbagai kota telah dibunyikan, aku salah seorang penyair tamu di kotamu.
Cinta memanggilku lagi ke kotamu, bulan dan tahun memisahkan kita, kemudian
sekarang kita kembali bertemu dalam jarak yang menjadi mungkin, dalam rindu
yang maha rindu, sepanjang perjalanan yang ada hanya bayanganmu. Sekarang aku
sudah pandai naik pesawat. Mohon jangan ditertawakan. Kalau dahulu aku
terbengong-bengong naik pesawat. Jangankannnaik pesawat, membayangkan pergi ke
bandara pun aku tidak pernah. Kemudian waktu mengantarkan aku ke pintu pesawat
itu untuk pertama kalinya. Sekarang untuk kedua kalinya aku berdiri di pintu
pesawat, sebelum mematikan hp, aku layangkan pesan kepadamu, bahwa kembali
datang ke kotamu. Kamu sangat luar biasa senangnya.
“Benaran Mas?”
“Iya, ini barusan naik pesawat.”
“Aku senang, Mas. Akhirnya kita bertemu
lagi.”
Ini tentang kenangan, sedikit kenangan
bahagia di antara begitu banyak kenangan sedih. Aku masih bisa menceritakan
kepadamu betapa terkagum-kagumnya aku dengan pesawat. Aku masih bisa
menceritakan kepadamu betapa aku merasa naik jalan berkerikil ketika pesawat
mulai mengudara kemudian memasuki kabut. Kau bisa membayangkan anak kecil yang
melihat kerajaan awan dari ketinggian, begitulah aku pertama kali naik pesawat.
Aku melihat awan-awan itu berlapis-lapis membentuk kasur tebal. Aku
membayangkan tengah berada di kerajaan awan. Sejenak pikiranku tentang kamu
menjadi terlupakan. Tetapi ketika aku berhenti melihat awan itu, ingatanku
kembali kepadamu. Aku akan datang lagi kepadamu. Aku akan melihat lagi bola
matamu, aku akan melihat lagi lekuk bibirmu yang menggoda, aku akan melihat
lago sorot matamu yang terkadang tajam dan terkadang manja.
Semua itu kembali melintas dalam
kepalaku. Dan tiba-tiba aku terdampar di kotamu. Ingatanku kembali tentang
kamu. Para penyair muda itu mulai membacakan puisi, mereka datang ke kotamu
untuk acara seremonial antologi puisi. Kita tidak memedulikan pembacaan puisi,
kita memedulikan kisah cinta kita setelah sekian lama kita tidak bertemu.
“Ayo kita jalan-jalan.” Kau mengajakku
jalan-jalan di jalan utama yang sudah lama tidak aku tempuh. Aku merindukan
hujan yang turun di pagi buta. Dahulu kita senantiasa menikmati hujan rinai,
hujan yang membuat kisah cinta tetap awet muda. Jalan kita begitu pelan untuk
kisah cinta yang panjang. Kita berjalan beriringan, saling mendengarkan tarikan
nafas masing-masing, kita saling tatap saling menyampaikan rindu tanpa
kata-kata yang sudah lama tertahan.
“Aku kira aku tidak akan bertemu Mas
lagi,” katamu. Pertanyaanmu membuat hatiku tertusuk, sekaligus membuat aku
terharu.
“Jarak tidak memisahkan cinta.”
“Aku merindukan Mas setiap hari.”
Tiba-tiba isakmu tertahan. Dan akhirnya tangismu pecah. Aku tersenyum,
tersenyum bukan karena tangismu, tersenyum karena selama ini kau merawat
cintaku meski kita sudah berpisah. Kita memutuskan untuk saling berpisah, karena
tidak tahan dengan hasrat cinta masing-masing. Sekarang kita bertemu lagi.
Jalan-jalan di malam hari sepi. Udara dingin menenangkan. Dan langit penuh
bintang, bintang ini mengingatkan pada pertemuan kita tempo hari di taman kota.
Di taman kota kita menghitung bintang satu persatu. Setiap kita menghitung
bintang, kita merapat telunjukkan kita yang saling menunjuk bintang.
ALIZAR TANJUNG I 29/05/15