Benar bukan seperti yang aku sampaikan
tempo hari lewat telpon di sela-sela perbincangan kita yang tidak menentu
tentang perasaan masing-masing. Kau mengutarakan tentang perasaan dan
kerinduanmu yang tidak pernah usai. Aku mengutarakan tentang betapa aku
merindukan dari jarak yang begitu jauh, sampai-sampai malam-malamku terasa
sangat panjang dan siangku terasa berjalan amat lambat, karena aku harus mengatur
waktu yang tepat untuk telponan selama berjam-jam dengan dirimu.
Cinta memang selalu begitu, mencari
kesempatan dalam setiap kesempitan agar komunikasi tetap lancar. Sekarang aku
sudah sampai di kotamu. Kau menatapku begitu lama. Kemudian aku pura-pura tidak
kaget dengan pertemuan kita, meski sebenarnya jantungku juga berdetak lebih
kencang. Dan badan gerogiku, aku sembunyikan di balik jaket.
Hujan di kotamu turun dengan sangat
lebatnya. Lapangan terminal di guyur hujan. Di loket orang-orang sedang sibuk
menonton bola. Berteriak dengan nada menyesal ketika bola itu hanya menyentuh
mulut gawang, tanpa sempat menciptakan gol.
“Sudah lama menunggu, katamu.”
Kata-kata ini juga sudah aku ulang pada tulisan sebelumnya. Tetapi biarlah aku ulang kembali. Bukankah cinta itu
tidak pernah membosankan, meski sudah mengulang hal yang sama untuk ke ratusan
kali. Biarlah aku ulang luapan kegembiraan itu.
Kau membentangkan payung. Kemudian
mengeluarkan mantel dari jok motor. Aku berdiri di sampingmu, ternyata kau
memang seperti yang kau gambarkan, kau memang jauh lebih rendah dari aku.
Tinggimu tidak lebih dari 150 cm. Tetapi ada satu hal yang aku bohongkan dari
diriku. Katamu, kau orangnya jelek. Sungguh itu benar-benar berbeda dengan apa
yang aku temukan sekarang. Kau cantik, inilah pengakuan jujur dariku.
Tersipu-sipu malu saat kita bertatap muka, aku kira bentuk keluguanmu yang
semakin memperlihatkan kecantikanmu.
“Kenapa terbengong Mas. Mas yang
membawa motor ya!” Kita membelah hujan. Menelusuri kota yang dingin dan gigil.
Aku membawa motor dengan pelan, tidak ingin tersesat di kota yang asing ini.
“Dirimu basah di belakang,” ujarku menoleh.
“Lanjut sajalah. Jangan menoleh. Nantik
jatuh,” ujarmu meluruskan helm di kepalaku. Kemudian benar-benar membelah kota
dengan badan yang basah. Ini akan menjadi kenangan yang akan terus hidup. Suatu
masa entah kapan aku mengingat kembali betapa romantis kejadian-kejadian kecil
di tengah hujan. Tentang bagaimana engkau mencubitku berkali-kali, tentang
pertanyaanmu bagaimana perjalanan dari Padang, tentang apakah aku sudah makan
atau belum.
Berkali-kali aku harus menoleh wajahmu
ke belakang, aku tidak menyangkan inilah yang dinamakan pertemuan yang saling
rindu. Belum pernah bertemu tetapi seolah sudah bersama selama bertahun-tahun.
Aku tidak mengingkari hatiku, aku tidak mengingkari cintaku.
Kau tidak mengeluhkan tentang hujan,
kau tidak mengeluhkan tentang demam yang mungkin bisa saja menyerangmu secara
tiba-tiba esok paginya karena malam sebelumnya berhujan-hujan. Aku ingin
mengutarakan pertanyaan apakah kamu bahagia bertemu denganku, tetapi itu tidak
pernah aku utarakan. Aku hanya mengutarakan dengan senyum, aku kira senyum
sudah mewakili ribuan kata-kata tentang kamu yang bersileweran dalam kepalaku
selama perjalanan.
Barangkali ini memang bagian dari
cerita yang memang kita buat untuk hidup kita masing-masing. Tentu saja aku
ingin mengatakan kepadamu, aku bahagia bertemu kamu. Sungguh, rinduku terobati
bertemu kamu. Hanya untuk bertemu di kota hijau ini.
ALIZAR TANJUNG I 18/05/15
