JAM MALAM

Tiba-tiba aku mengingat jam malam kepergianku ke kotamu. Sepanjang siang keberangkatan dari terminal Kalideres, keringat membanjir badanku. Aku orang dari daerah gunung, kini harus berdesakan dalam bus di daerah Cirebon. Bus tanpa AC. Ini perjalanan pertama aku ke kotamu, tepatnya kota pendidikanmu menyelesaikan serjana Pendidikan Agama Islam.

Aku satu mobil dengan seorang perempuan kelahiran Bumi Ayu. Dia berkali-kali mendengkur selama perjalanan. Dan aku harus berkali-kali mengusap keringat dengan lengan baju. Aku tidak tahu dengan rute kota-kota yang aku lalui. Aku hanya tahu bus ini menuju kotamu. Tujuanku menemui cinta, menemui belahan hati, seperti yang selalu aku tanamkan dalam pikiranku dan pikiranmu, jarak tak memisahkan cinta.  Cinta melampoi kota, provinsi, pulau.

Bayangan foto-fotomu yang kamu kirimkan tempo hari berkelebat dalam kepalaku. Foto jilbab putih dengan lengan baju cokelat kotak-kotak bercampur warna putih. Bayangan tentang rok putih membuat aku tidak bisa tidur sepanjang siang.

“Tujuan mana Dik?”

Seseorang yang tadinya mendengkur, sekarang menoleh ke arahku. Aku membuka baju tutup kepalaku.

“Ya.”

“Tujuan Purwokerto, Mbak.” Aku tersenyum cengigisan.

“Sendiri.”

“Ya. Dari Padang.”

“Kuliah di Purwokerto?”

“Mengunjungi seseorang, Mbak.”

“Kekasih.”

“Adik.”

“Adik apa adik.”

Aku tidak bisa menyembunyikan apa tujuanku. Pada akhirnya seseorang tetap saja harus tahu bahwa tujuanku adalah untuk seseorang yang special. Cinta membuat rasa takut akan tersesat, lenyap tak berbekas. Sendiri untuk sebuah perjalanan jauh, tanpa teman di jalan, tanpa peta, segala sesuatu bisa saja terjadi.

“Dia kuliah di sana?”

“Benar kan sedang mengunjungi seseorang.”

“Begitulah Mbak. Mbak tujuan mana?”

“Kembali ke Bumi Ayu. Pulang kampung.”

“Pulang sebentar Mbak.”

“Pulang untuk menetap. Aku sudah lama di Jakarta. Bekerja berpindah-pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Sempat pula bekerja sebagai tukang jahit. Pada akhirnya memutuskan pulang ke kampung halaman. Mau kembali menggarap sawah ladang.”

Perempuan itu berciloteh panjang lebar. Dan pikiranku mengembara panjang lebar tentang kamu. Keyakinan mengalahkan ketakutan yang ada dalam diriku si anak kampung. Keyakinan membuat tebing terjal itu menjadi jalan lapang. Aku tidak takut tersesat, karena ada cinta yang menunggu di ujung pengembaraan. Aku ingin mengabarkan pengembaraanku ini kepadamu. Mengabarkan tentang jalan-jalan, kota-kota yang aku singgahi.

Seorang pembaca puisi berambut gondrong dengan tubuh gempal menaiki mobil. Membacakan puisi seperti orang kesetanan. Dua puisi dia bacakan. Salah satu syair Chairil Anwar. Kemudian menadahkan kotak permen yang sudah dilipat tepinya. Turun sang penyair, berganti dengan pengamen jalanan. Turun pengamen jalanan, berganti dengan penjual salak pondoh. Mungkin inilah resiko menaiki bus kelas ekonomi ke kotamu. Salak pondoh itu cukup buat mengenyangkanku sepanjang perjalanan.

Kemudian malam datang dengan diam-diam di antara penat kakiku. Orang-orang menutup kepala. Aku masih tidak bisa memejamkan mata. Hanya tertidur sebentar, kemudian terbangun dengan kepala yang kebingungan, apakah aku sudah sampai di kotamu atau belum.

“Aku turun di sini? Sampaikan salamku sama pacarmu. Sampai jumpa.” Kemudian perempuan itu menghilang dalam kegelapan pintu. Aku merogoh buku catatan kecilku. Mencatat tentang kalimat-kalimat asing selama perjalanan.

ALIZAR TANJUNG I 18/05/15
Lebih baru Lebih lama