“Ada nomor Indosat, Mas?” tanya pesanmu
lewat nomor Indosat.
“Hanya ada Tsel dan Xl,” balasku.
“Aku ada nomor Tsel tetapi tidak ada
pulsa,” balasmu.
“Nanti aku telpon kalau begitu,”
balasku singkat.
Balasan sms yang singkat untuk kisah
cinta yang panjang. Kau adalah masa laluku. Kau sudah pergi membawa kehidupanmu
dengan orang lain di luar sana. Tentunya memang sakit di hati ini. Aku harus
menahan sesak di dada untuk waktu yang lama. Menahan air mata untuk tidak jatuh
dengan sia, meski dia jatuh juga ketika sakit di dadaku sudah tidak kuat untuk
aku tanggung sendiri.
Kemudian pesan itu datang darimu. Aku
tetap bersikap seperti biasa. Karena hanya itu cara terbaik yang bisa aku
lakukan. Merasa diriku itu tersiksa, itu hanyalah salah satu cara untuk
menganiaya diri. Aku benar-benar tidak ingin menganiaya diriku lagi dengan masa
lalu yang tidak baik untuk masa depan itu.
Aku membalas pesanmu sembari menikmati
segelas jus pokat di café Uje BP by pass, Padang. Menikmati hariku yang panjang
yang ditemani oleh masa lalu yang panjang yang kembali kau ingatkan.
“Telpon Mas.” Aku tidak membalas
pesanmu. Aku masih sibuk menikmati segelas jus. Kemudian telponanmu datang. Aku
telpon, langsung engkau matikan. Kau mengirimkan lagi pesan pendek.
“Mas. Telpon.”
“Dua puluh menit lagi ya,” ujarku
dengan sok jaga image. Meski jantungku berdetak diluar kebiasaan.
Engkau membutuh waktu yang panjang
untuk mengirimkan pesan kepadaku. Aku yakin engkau sedang menyusun kata-kata
apa yang tepat untukku. Kemudian pesan itu datang lagi darimu.
“Sekarang aku lagi jalan santai ke
rumah. Kalau nantik sudah enggak bisa,” ujarmu. Cinta memang pandai mencari
peluang untuk diberikan waktu special untuk bicara berdua. Akhirnya harus aku
putuskan untuk menghubungi meski sedang mengenakan kendaraan bermotor.
“Ha,” ujarku. Ucapan yang sama-sama
kita suka di masa lalu dan sama-sama kita kenang di masa depan.
“Ini Mas Ya.” Kau pura-pura menerka.
Tentu saja ini aku. Tidak ada orang lain selain aku yang sedang menelponmu dari
jarak jauh ratusan kilometer. Kemudian engkau bertanya tentang apa kabarku.
Tentu saja aku jawab, kabarku baik. Engkau gugup untuk memulai pembicaraan
lagi.
Aku mengatur nafasku untuk setiap
pembicaraan tentang masa lalu, tentang ada yang cemburu kalau dirimu menelpon.
Suaraku masih suara yang dahulu, suara yang engkau suka ketika bicara atau
telponan. Kau selalu bilang kepadaku, “aku suka suaramu”. Pujian itu membuatku
benar-benar tersanjung dan menggantungkan harapan kebersamaan kita pada cinta.
Kata-kata itu yang tidak pernah aku lupakan. Kata-kata cinta dalam bentuk
pujianmu membuatku bahagia sekaligus terluka.
Kenapa bukan aku yang berada di sisimu.
Kenapa ada orang lain. Dan di sana pula aku dipinta untuk mengikhlaskan
sesuatu yang bukan lagi milikku.
Kau menawarkan tentang kesempatan
bagiku untuk melaksanakan training, pelatihan kepenulisan, cara pembuatan
tulisan yang bagus di sekolah kesehatanmu. “Masa lalu memang tidak bisa
dilupakan, tetapi setidaknya kita masih tetap sahabat,” ujarmu. Ada luapan
kebahagian dalam dirimu. Ada semacam rindu yang bergelora. Ada kasih yang tak
sampai yang tak kau ujarkan.
“Senang bisa mendengar suara Mas.”
“Bukankah suaraku masih suara yang
dahulu.” Kau tertawa. Tawamu adalah tawa yang membikin aku sedih dan bahagia.
Sedih karena masa lalu, seperti katamu, masa lalu tidak akan bisa dilupakan.
Tetap saja dia akan teringat. Kau suka sekali mendengarkan suaraku, apalagi
saat-saat aku mengucapkan “hmmm”. Katamu itu kata-kata romantis dariku yang
tidak pernah engkau dapatkan dari yang lain. Padahal itu hanyalah bunyi
persetujuan pada setiap pembicaraan.
Dan satu hal lagi, sebenarnya akulah
yang merasa berterimakasih mendengar suaramu lagi.
ALIZAR TANJUNG I 05/05/15