Angin berhembus dengan amat tenang. Kau
membiarkan jilbab hijau daunmu terus melambai. Dan aku terus-terusan menatapmu
dari bawah sebatang pohon kepala yang condong ke laut pantai padang ini. Aku
memanggilmu berkali, kau kemudian menoleh sebentar, lalu larut lagi
merentangkan tangan menikmati angin laut ini sembari memejamkan mata. Aku
berputar serupa penari balet di antara tumpukan batu pemecah tsunami yang
berjajar sepanjang pantai.
“Bukankah aku begitu manis,” ujarmu
mengedipkan mata. Jelas saja dirimu menggodaku, berharap aku akan kesal. Dan
aku kesal sesuai yang kamu harapkan. Aku mencibirkanmu, membiarkanmu
mencibirkanku kembali. Kemudian kau berteriak kepada laut lepas di cuasa core
yang masih dingin. Sebentar lagi camar akan pulang ke sarang dan kepiting yang
membagi kebahagian kembali ke dalam lubang. Dan kita baru saja mengabadikan
salah satu kisah perjalanan kita dalam bentuk pengalaman.
Ya aku kembali menuliskan pengalaman
itu, pengalaman tentang kejadian sederhana yang membuat aku kembali mengenang
masa-masa pertemuan kita. Aku mungkin bukan lelaki yang romantis untuk kembali
menyampaikan, tetapi yang jelas kau ada dalam perjalanan kenangan itu.
Kau membuat lingkaran telapak tanganmu.
Kau seperti meneriakkan sesuatu. Kau meneriakkan tanpa menggunakan suara. Hanya
gerakan bibirmu saja yang terbaca. “Aku mencintaimu” begitulah penafsiranku
atas gerakan bibirmu. “Kenapa kau harus pura-pura tuli mengucapkannya.” Kau katakan
terserah dirimu. Kau kemudian berlari-lari di antara batu pemecah tsunami itu.
Aku tetap saja masih bersandar di bawah sebatang kelapa. Seorang pedagang baru
saja mengantarkan dua kelapa muda untuk kita. Kau kemudian terbang seperti
burung yang meliuk-liuk. “Kau harus mencobanya,” ujarmu meneriakiku. Seolah aku
adalah orang lain yang sedang kau ajak ke laut. Begitulah kelakuanmu. Aku tidak
menghiraukan panggilanmu. Kau perlahan-lahan mendekatiku. Menyembunyikan
tanganmu di belakang. Aku pura-pura tidak melihatmu.
“Burrr,” teriakmu menyiramkan air garam
ke wajahku. Kau tertawa terpingkal-pingkal melihat aku kelabakan mencicipi air
garam. Kau begitu bahagia. Melihat bahagiamu aku menjadi tersenyum sendiri.
Sungguh ini bagian kisah tentang kamu, tentang kamu dengan canda-candaan kecil
yang membahagiakan.
Kita memang membutuhkan hal-hal kecil
untuk saling bahagia, saling kenal, dan saling dekat. Hal-hal kecil itu pula
yang membuat kita tetap menjalani hari-hari kita dengan lebih baik. Tak perlu
harus mengucapkan cinta setiap waktu, tindakan kecil sudah menyatakan bahwa aku
selalu mencintaimu. Begitu juga sebaliknya dengan dirimu. Menghargai candaanmu
ternyata membuat aku merasa semakin lebih bersamamu. Ya kita memang harus
selalu menyediakan sedikit ruang dalam diri kita masing-masing yang bisa saling
mengisi dengan kebahagian. Tersenyumlah. Karena tulisan ini khusus untukmu.
ALIZAR TANJUNG I 03/06/15