Suatu hari yang namanya penyatuan atau perpisahan memang akan
terjadi di antara kau dan aku. Dan yang terjadi adalah perpisahan. Kau mencari
sumber mata air yang lain. Dan aku harus
merelakan kau yang memilih pergi. Bukankah memang selalu ada begitu, ada awal
dan akhir. Perbedaannya hanya pada bahagia atau sed ending. Kemudian kisah kita
ternyata berada pada ending yang yang membuat aku menanggung ending yang
menyedihkan. Kau tentu menanggung ending yang membahagiakan karena ini adalah
permintaanmu. Bukankah begitu. Meski kau pura-pura menangis atau meski kau
sedikit menangisi kenangan bahagia yang mungkin tidak terulangi lagi di antara
kita.
Aku sudah membayangkannya semenjak awal pertemuan kita. Siap bersama
siap pula berpisah. Aku mengatakan kepada diriku kalau aku menyadari suatu hari
akan ada perpisahan atau penyatuan tentulah semuanya akan baik-baik saja.
Ternyata aku salah. Perasahaan tidak seperti pikiran. Terkadang perasaan
bergerak diluar kebiasaan. Sekarang perasaanku mengalahkan diri. Tetap saja aku
bersedih berlarut-larut setelah perpisahan datang.
Barangkali benar kata orang-orang perasaan itu seperti air. Saat
dia kecil dia mengalir dengan tenang, saat dia besar dia akan menghanyutkanmu.
Bahkan saat dia besar dia tidak terkendali dan membunuhmu. Inilah yang tidak
aku sadari tentang perasaan. Dahulu perasaanku kecil untukmu. Kemudian seiring
waktu perasaan itu semakin besar. Kemudian terus bertambah besarnya. Kau juga
mengalami hal yang sama denganku. Perasaan terus bertambah besar, tetapi karena
semakin besarnya perasaan itu menghanyutkanmu. Aku tidak lagi bisa mengimbangi
irama keinginanmu, aku tidak bisa menemanimu sesering yang kamu inginkan. Aku
tidak bisa membawamu jalan-jalan sepadat agenda yang telah kamu buat sepanjang
akhir pecan. Bagaimanapun aku juga harus memikirkan tentang masa depan kita,
dengan cara bagaimana kita akan hidup di masa depan. Maafkan aku tidak bisa
memenuhi hasrat cintamu.
Kau kemudian memilih berpaling. Kau diam-diam meninggalkan dengan
berbagai dalih. Kau diam-diam jalan dengan sahabatku. Perlaha-lahan rasa sakit
terus menggorokiku. Kau kemudian memenuhi hasrat cintamu dengan kekasih barumu.
Aku harus gigit jari. Dan mengatakan kepada diriku sendiri, barangkali kau memang
bukan berjodoh denganku. Aku tahu sebenarnya sedang berusaha menyabarkan diri,
berdamai dengan hati kecilku. Tetapi tetap saja tidak bisa. Kemudian sampai di
hari perpisahan, hari itu kita sudah kembali seperti biasanya, tetapi rupanya
diending yang tidak biasa. Kau katakan kita harus berpisah. Kau meninggalkanku
tanpa melihat ke belakang. Jauh di depan, seorang kekasih baru rupanya sedang
menantimu dengan pakainnya yang necis.
Yang terjadi maka terjadilah. Kau memang harus pergi. Karena lebih
baik begitu. Seorang yang mencintai tidak akan melukai perasaan orang dicintai,
seorang yang melukai itu karena dia bearti selama ini hanya pura-pura
mencintai. Sekarang aku mengerti. Kau memang harus pergi. Kalau kau mau kembali
lagi, maaf kamu sudah ada tempat lagi di hatiku. Aku harap kau mengerti
perasaanku.
ALIZAR TANJUNG I 10/06/15