MATINYA PENULIS DI TANGAN DINGIN DIRJEN PAJAK

Kepada Mimo, seekor kucing betina yang anggun. Menggemaskan. Terpisah dariku sudah empat minggu. Dan satu hal yang perlu dicatat Mimo tidak perlu membayar pajak sebagai seekor kucing yang taat hukum. Aku di Padang. Mimo di Jakarta. Masihkah engkau di Cempaka Putih, Mimo? Pura-pura tidur  di kursi ruang tamu sembari mendengarkan cuitan di televisi yang membosankan. Ataukah Mimo ikut pula membaca cuitan di facebook dan berita-berita di portal kenamaan yang sedang membicarakan nasib penulis di tangan para pelaksana penanggungjawab pajak. Nasib penulis di satu sisi penulis belum mendapatkan porsi yang layak di Indonesia, kemudian ditambah pula oleh pajak yang tidak masuk di akal untuk penulis.

Ah, Mimo terlalu tinggi bahasaku sekedar menggambarkan rasa rinduku pada Mimo. Berpisah tidak baik ya Mimo. 

Sebagai seekor kucing yang anggun sekaligus pura-pura terlihat cantik, tentu kau paham Mimo. Berpisah hanya bakal menumpuk rindu. Semakin lama berjarak semakin dekat batas kesedihan dan bahagia. Aku rindu Mimo. Aku rindu memotret Mimo dalam bentuk video untuk diupdate di instagram @suratkecilali #suratkecilali . Kemudian mendapatkan like dan komentar "wah imutnya Mimo." Namun bukan hanya semata itu Mimo. Aku bercerita kepadamu. Hanya denganmu aku dapat bicara dengan sejujur-jujurnya. Sebagai kucing perempuan yang baik tentu kamu juga pendengar yang baik. Setidaknya aku masih memegang kepercayaan yang teguh itu.

Maka biar aku mulai saja cerita yang pura-pura sedih ini kepadamu Mimo. Pajak yang mungkin saja bakal mengempeskan perut para penulis sampai sekempes-kempesnya.

"Aku memutuskan berhenti menulis di dua penerbit besar." Kalimat ini masih terpotong Mimo. Itu hanya kalimat aku. Inti sebenarnya itu inti kalimat Tere Liye. Tere Liye membuat cuitan di sosial media. Dia memutuskan berhenti menulis di penerbit Republika dan Gramedia mulai Agustus 2017 ini. Bukunya dikabarkan hanya bakal beredar sampai Desember 2017. Setelahnya tidak bakal lagi dijumpai di toko buku. Kalau masih beredar berarti berkemungkinan besar dalam pembajakan. Pembajakan di Indonesia terang-terangan Mimo. Pajaknya juga blak-blakan.

Tere Liye memutuskan mengkritik sistem perpajakan dengan keras. Sudah tentu itu puncak dari segala puncak terhadap sistem perpajakan terhadap penulis, Mimo. Sebab Tere Liye itu penulis. Pajak 15 persen cukup memberatkan penulis. Itu tidak hanya memberatkan Tere Liye, tetapi seluruh penulis yang mendapatkan royalti dari penerbit.

Semoga diskusi ini tidak terlalu berat ya Mimo. Aku hanya ingin bercerita saja kepadamu. Kalau kamu entar membaca tulisanku, kau bolehlah berkomentar. Berkomentar yang baik-baik sajalah. Jangan komentar yang aneh-aneh seperti komentar yang enggak setuju dengan apa yang diperjuangkaan oleh para penulis mengenai pajak royalti.

Penulis dikenakan pajak 15 persen dari royalti, Mimo. Kalau menurut aturannya penghasilan di bawah 50 juta dikenakan pajak 5 persen. Penghasilan antara 50-250 juta dikenakan pajak 15 persen. Semakin kacau beliau kalau penghasilan antara 250-500 juta dikenakan pajak 25 persen. Pendapatan di atas 500 juta dikenakan pajak 30 persen. Ini parodi, Mimo.

Benar-benar parodi yang membuat kamu bakal tidak mampu berhenti tertawa dengan terbahak-bahak dan air matamu tiba-tiba menjadi air mata darah. Tidak, aku tidak menakut-nakutkan, Mimo.

Jangan kau bilang kalau pajak pegawai negeri atau profesi lainnya ada yang nol persen. Terutama yang pendapatannya masih di bawah empat juta rupiah per bulan. Aku lagi tidak ingin mendengarkannya. Jangan pula kau tanyakan kepadaku kenapa pajak pegawai negeri atau profesi lainnya pajaknya lebih sedikit sedangkan pajak penulis mungkin 700 kali lipat dari pajak pegawai negeri atau profesi lainnya. Aku tidak mempunyai jawabannya Mimo. Kau yang di Jakarta. Kau bisa langsung ke Dirjen Pajak sembari mengeong pagi-pagi buta. Aku berharap kau berkunjung ke sana di hari kerja.

Jangan menangis, Mimo. Aku tidak ingin kau menangis saat aku curhat. Itu tidak baik untuk kesehatanmu, Mimo. Aku hanya ingin bercerita saja. Aku hanya ingin berbagi dengan kamu, ya hanya dengan kamu. Kalau kamu menangis nantik aku curhatnya enggak selesai. Mimo aku setuju sekali dengan apa yang disampaikan Dee Lestari ( #deelestari ), Tere Liye ( #tereliye ), Boy Candra ( #boycandra ), terus cuiran penulis kondang Eka Kurniawan di akun facebook pribadinya, pajak penulis itu harus diperjuangkan. Jangan sampai pajak penulis membunuh karir para penulis.

Ah, Mimo menjadi penulis kerja keras yang benar-benar penuh perjuangan. Kau tahu Mimo. Penulis harus melakukan riset. Penulis menggunakan waktu yang banyak untuk menghasilkan sebuah buku. Ada begitu banyak tahun yang dihabiskan untuk menulis sebuah buku. Itu membutuhkan biaya yang besar, Mimo. Sementara royaltinya hanya 10 persen. Kalau nasib lagi baik ada yang dapat 11-12,5 persen. Kalau nasib lagi apes, bukunya enggak laku, yaps enggak dapat royalti sama sekali. Kalaupun dapat royalti terkadang hanya 1 juta rupiah. Terus harus dipajak pula sebesar 5-sampai persen. Seolah penghasilan yang didapatkan oleh penulis adalah penghasilan netto. Padahal itu baru bruto. Kerja keras belum seimbang dengan hasil, terus dihukup pula penghasilan netto. Aduh, Mimo. Omong kosong. Serius ini omong kosong.

Menyakitkan! Yaps menyakitkan, Mimo. Super menyakitkan. Di mana hati nurani pelaksana penanggungjawab pajak. Apakah mau membunuh penulis perlahan-lahan? Atau mau memiskiskan para penulis perlahan-lahan! Aku enggak berpikir terlalu berlebihan. Aku hanya lagi ingin curhat Mimo. Curhat sama Mimo. Mimo-lah yang paling adil untuk mendengarkan curhatku.

Harusnya pajak penulis itu cukup 2,5 persen saja Mimo. Kalau mau dinaikkan juga maksimal itu 5 persen sudah cukup besar. Itu juga sudah terlalu besar Mimo. Kan pendapatan penulis biasanya diberikan oleh penerbit 1 kali enam bulan. Kalau royaltinya hanya kisaran 50 juta dalam enam bulan, sebaiknya jangan dikenakan pajak. Sebab kalau dibagi perbulan itu bersihnya oleh penulis hanya sekitar 3 juta. Selebihnya sudah habis untuk biaya riset, kebutuhan beli bukunya, biaya pengeluaran harian yang berhubungan dengan kebutuhan penulis. Menulis itu kerja serius. Jangan sampai terdengar lagi cuitan-cuitan fakta tentang kehidupan penulis. Menulisnya sudah lebih dari 10 judul bukul. Hidupnya masing lontang-lantung. Pemerintah juga enggak perhatian. Berobat kalau penulis sakit harus iuran seluruh penulis. Aduh, Mimo, pemerintahan apa yang membiarkan para penulis sengsara di bawah undang-undang pemerintahan? 

Mimo kalau kau nantik suatu hari nantik bekerja diperpajakan para kucing, kau harus perhatikan nasib penulis dari golonganmu Mimo. Kita itu hidup buat memberikan keadilan. Bukan buat memalak satu sama lain. Tentu pula aku tidak bermaksud mengatakan dirimu memalak. Aku hanya ingin berbagi Mimo. Keadilan itu harus membahagiakan bukan menyiksa, Mimo. Dana kalau kau menemukan khasus yang sama dengan apa yang sekarang terjadi Mimo, kau harus mengumpulkan para penulis dari golonganmu dan golonganmu yang peduli dengan para penulis untuk memperjuangkan haknya. Keadilan harus diciptakan seadil-adilnya. Adil pajaknya. Terus berantas pelanggaran hak cipta sehingga tidak beredar lagi buku-buku bajakan. Sekarang buku bajakan bahkan bisa lebih banyak dari buku original. Kenapa bisa? Yaps, bisa Mimo, selagi negara belum menegakkan hukum dengan hati, hal itu bakal selalu saja terjadi.

ALIZAR TANJUNG, 07/09/2017

Lebih baru Lebih lama