Jalan Panjang Menuju Hari Esok

Oleh Alizar Tanjung

"Kenapa Tuan tampak begitu tidak bergairah pagi ini, Tuan. Apakah teh yang saya hidangkan terasa kurang pas di lidah. Kalau Tuan berkenan biar saya hidangkan kembali teh yang baru yang masih segar dan hangat."

Kau selalu tahu saja cara menghibur saya, Isa.

Foto ini diambil di Steva, Padang, pada acara
peluncuran buku Ubay berjudul Tangan-Tangan Kisah.
Foto ini karya Boy Candra.

"Bukan, bukan, bukan karena hidangan teh 'mu, Isa. Teh hidanganmu seperti biasa, memiliki aroma khas yang halus dan racikan yang tenang seperti sungai yang mengalir di hari yang cerah."

"Tuan, ah, aku jadi tersipu dipuji Tuan. Terimakasih Tuan. Tapi melihat Tuan bermurung durja, tidak tega hati saya melihat Tuan."

Burung jalak hitam yang jari tengahnya puntung di kaki kiri, masih saja berkicau ria. Di tengah hiruk-pikuk kota, jalak ini salah satu mainan berharga. Kau merawatnya dengan baik, Isa. Mengenai perihal apa yang saya pikirkan, kau orang yang paling cepat tanggap terhadap perubahan saya. Tapi bagaimana saya harus mengutarakan kegelisahan pikiran ini dengan bahasa yang sederhana.

"Bagaimana jalak hitam kita, Isa?"

"Sudah lebih baik, Tuan. Udara dari teras lantai dua ini membuat dia lebih riang dari sebelum kita beli kemarin, Tuan."

"Ya baguslah Isa. Burung jalak ini tanpa beban dalam hidupnya."

"Hanya makannya makin rakus saja, Tuan. Pisang manis diberi satu pagi, siang sudah minta tambah satu, dia, Tuan."

"Itu persis mirip siapa ya? Ha ha ha. Sudahlah. Enggak usah dibahas. Baguslah kalau dia makannya banyak. Daripada dia enggak makan."

"Iya juga ya Tuan. Tapi apa yang membuat Tuan begitu murung sedari pagi. Saya lihat pandangan Tuan terkadang begitu jauh melewati deretan perumahan ini."

Sungguh Isa, adakah kau lihat bumi ini begitu luas, tapi dalam bumi yang luas kita mempunyai dunia yang terkadang amat sempit dan membuat kita terpenjara di dalamnya. Saya melihat jauh ke depan, seolah menimbang-nimbang kehidupan yang mana yang sudah kita lalui dan besok mana lagi yang bakal kita lewati. Saya menjadi terpikir tentang terasa betapa begitu sulit hidup akhir-akhir ini. Tetapi tidaklah mungkin saya utarakan kesulitan hidup yang kita rasakan kepadamu. Tidak ingin pula saya membagikan kesulitan hidup ini kepadamu Isa. Pekerjaanmu sehari-hari sudah berat untuk ukuran orang yang setia yang mendampingi saya ke mana-mana. Biar saya pikirkan sendiri Isa.

"Apakah Tuan lagi sakit?"

Perhatian betul kamu, Isa.

"Bukan, Isa. Hanya lagi kurang tidur."

Isa mohon izin dari hadapan saya. Hanya berkisar 10 menit dia sudah datang lagi sembari membawa wewangian aroma terapi. Meletakkan di bawah meja. Saya jadi tersenyum sendiri oleh tingkahnya. Ada-ada saja cara dia membuat saya tersenyum.

"Pandai rupanya kau melihat langit biru dari balik tabir, membaca kabut yang sedikit lagi mendatangkan rinai."

"Hanya sedikit wewangian buat meregangkan sel saraf, Tuan. Saya lihat di ruang penyimpanan masih cukup untuk sebulan ke depan. Semoga ini membuat Tuan menjadi lebih santai dan tenang."

Dalam hidup selalu ada masa-masa sulit dan masa-masa yang membuat kita hampir menyerah. Sungguh saya hanya mengizinkan sampai kata 'hampir'. Sebab kalau sudah tanpa 'hampir' segala sesuatu sudah boleh dikatakan berakhir. Sebab itu jangan sampai kata 'hampir' itu kau dengar, Isa. Biarkan saya yang mengucapkannya perlahan dalam hati saja. Setelahnya saya buang sepasang kata itu jauh ke dalam ketiadaan.

Pada masa-masa sulit kita harus berjuang. Menyerah hanyalah kata yang tidak pantas menuju jalan panjang hari esok, Isa. Sekarang saya hanya lagi dikejar-kejar oleh rasa yang pupus pada hasil yang belum menampakkan wujud. Sungguh perihal yang begini baru saya pikirkan sendiri. Nanti kalau sudah ada solusi barulah saya bercerita kepada kau Isa. Rekan yang setia dalam sulit, susah, dan tentu senang. Ha ha ha. Ya dalam senang banyak yang ingin bersama. Dalam masa sulit yang sangat langkah.

"Kenapa Tuan tersenyum sendiri kepada saya, Tuan."

"Kau betah ya. Menunggu saya tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang panjang."

Sudah hampir setengah jam saya duduk diam dan memandang ke buritan rumah-rumah penduduk, menembus bukit barisan yang memagari Kota Padang ini. Saya pikir Isa sudah pergi ke dapur menyiapkan hidangan sarapan pagi. Atau setidaknya di taman menyiram sayur mayur di selter atas. Rupanya dia masih saja khawatir saya kenapa-napa.

"Tenang saja Tuan. Saya bisa menjadi patung selama sepuluh hari sepuluh malam. He he he. Bercanda, Tuan. Tenang saja Tuan. Sarapan pagi sudah siap. Kebun organik kita juga sudah saya siram dari subuh. Sekarang waktunya saya menemani Tuan."

"Ayolah kita sarapan. Mumpung masih segar. Aku ingin menikmati sup tomat campur udang saia. Ada kan!"

"Sudah tersedia Tuan. Khusus hari ini sudah aku siapkan di selter."

"Bagus. Aku ingin melihat-lihat sayur bayam, tanaman cabai, yang kita tanam semenjak sebulan yang lalu. Sudah tentu mulai berputik dia cabai keriting itu."

Sudahlah lupakan keresahan-keresahan tanpa ujung itu. Lebih kita terus berfokus pada hal-hal baik yang masih dapat kita lakukan di masa sulit ini. Saat dimana inflasi mempengaruhi harga barang. Sementara sembago juga terus naik. Masa sulit memang terkadang pada waktu-waktu tertentu harus hadir, buat mengingatkan kita dan bersiap-siap di masa medatang. Kalau kita merasa memang sedang lelah memikulnya, berserah kepada Tuhan, biar Tuhan yang menguatkan pundak kita kuat buat memikulnya. Saatnya sekarang sarapan pagi dengan hidangan paling lezat.[]



Lebih baru Lebih lama