Kota yang Tumbuh di Malam Hari

Oleh Alizar Tanjung

Kau sedari selalu hendak bertanya dan mencari jawaban dari kepala saya, Isa. Baru saja pertanyaan hendak kau lontarkan, kau batasi kalimat, "enggak jadi Tuan." Lucu kau ini. Antara segan, ragu-ragu, atau kau sudah tahu jawabannya. Jawaban lain kau enggan mengganggu isi kepalaku, teringat petulangan Musa yang berjalan Khaidir.

"Ada apa denganmu Isa?"

Kita mulai perjalanan ini dari Berok Nipah, rumah persinggahan kita yang baru. Tentu dengan daun pintu, jendela, atap genteng cina, barang lama yang serasa baru. Baru saja kita meracak kuda hitam kisaran lima menit, pantatmu sudah gelisah.

"Hanya saja aku belum tahu, Tuan ... Enggak jadi Tuan."

Lagi-lagi kau ulang perihal yang sama. Sementara Definisi Dalam sudah benderang, tinggal dikejauhan. Warna-warni Masjid Al Hakim enggak kalah benderangnya. Melompatkan pandangan ke Gunung Padang serasa melihat Padang Kota Tercinta milik Bank Nagari. Jangan kau tanyakan kepada saya Isa, kenapa pula harus ado logo Bank Nagari di sana. Kau tanyakan saja kepada pemerintah terkait. Itu enggak ada jawabannya di kepala saya.

"Sepanjang tepian ini banyak saja orang jualan di emperan trotoar ya Tuan."

"Namanya juga orang mencari makan, Isa. Hidup serba susah. Kau tengok sajalah harga minyak melambung setiap sebentar di malam buta. Sudah untung kita tinggal dekat laut. Ada juga lah yang bisa bisa dijual. Ombak dan laut seperti bunga yang dapat diperjualbelikan serupa pedagang cinta di Taman Melati tempo hari, Isa."

"He he he, Tuan."

"Kenapa, Isa."

"Jangan bilang pengalaman Tuan, ya. Ups kelepasan."

Ha ha ha. Nakal pikiranmu, Isa. Kau tuduh aku pedagang cinta sepanjang jalan. Sudah lah lupakan perihal cinta yang enggak pernah kelar itu. Entah itu berganti dengan modus mobil pribadi. Aku bukan hendak membahas hal itu denganmu, Isa.

Sepanjang pantai di bawah gedung Dinas Kebudayaan yang terbengkalai, ada begitu banyak pedagang yang membuat penerangan sendiri. Orang-orang parkir di bawah jalan. Lainnya ha ha hi hi menyedu mi rebus. Teh botol pelengkap. Setelah kelapa muda 6.000 sepanjang jalan kiri-kanan. Sudah naik saja rupanya harganya dari 5.000. 

Foto ini enggak nyambung dengan isi cerita. Sebab foto ini tentang aktifitas di bantiran Sungai Batang Arau yang aduhai bersihnya membuat kita menutup mata, telinga, hidung, ketika melewatinya.



"Kau beli dua kelapa muda segar yang serupa ingus!"

"Ya, Tuan."

Orang jualan kelapa muda hampir merata kiri dan kanan sampai batas hotel My All. Panjang serupa ular yang sedang berjalan lurus. Kepalanya saja sedikit yang menikung di My All. Kau rupanya sudah mencicipi kelapa di belakang saya rupanya, Isa.

"Maaf, Tuan. Enggak kuat dengan godaannya. Malam hari Padang terasa tetap panas, Tuan. Dan kelapa muda jatahnya Tuan aman di tangan saya ... Eh eh, Tuan. Kan tumpah jadinya ..."

Ha ha ha, rasakan itu, Isa. Kau enak ya di belakang. Aku yang membawa kuda hitam roda dua ini, kehausan di depan.

"Siapa yang minta kamu minum duluan, Isa."

"He he he, dahagaku yang berkehendak, Tuan."

Selepas My All, kita hadapkan pada deretan-deretan cafe dua tingkat di kanan, dan cafe-cafe bongkar-pasang sebelah kiri. Selepasnya ombak yang sedang lagi ganasnya. Bulan sedang terang, sekarang bertepatan 8 Dzulhijah. Dua hari lagi tepat lebaran Idul Adha.

Ada begitu banyak merek dagang cafe di sebelah kanan, Isa. Saking begitu banyak bakal sedikit membosankan jika disebut satu persatu. Rata-rata dikelola dengan lebih profesional. Dilengkapi dengan barista lokal. Setidak dari domosili kita menyebutnya lokal.

"Bukankah kota sudah bertumbuh di malam hari, Isa!"

"Tuan hendak bilang malam ini kita melihat kota di malam hari."

"Harapan, Isa. Harapan yang ingin saya lihat. Pandemi membunuh kita selama tiga tahun terakhir. Orang-orang dipaksa masuk ke dunia yang selama ini hanya dalam dunia perfilman. Kamu bisa membayangkan bagaimana orang-orang dengan terpaksa dan sadar memenjarakan dirinya, pikiran, rasa dalam, di balik pintu, Isa."

Tiga belas tahun di belakang, Padang masih dikatakan jauh dari keramaian malam hari. Hanya lepau yang lumayan hiruk sembari meminum teh talua dan menonton bola. Gunjing tak pernah ending sebelum pagi. Saya suka berlama-lama duduk di salah satu kedai Anduriang bersama rekan-rekan sejawat sembari membaca koran Minggu. Tulisan siapa yang muncul dan honorium siapa yang bisa persamakan buat mentraktir segelas kopi hitam.

Bertanya tentang cafe, barangkali membentur tembok, tiang listrik, rumah kayu, jalan aspal berlubang, hutan di pinggir pantai. Kota seperti hidup tidak lebih lewat dari pukul sembilan malam. Sudah tentu ekonomi lebih banyak bergantung pada pasar dan ruko-ruko di siang hari.

"Honorium yang tidak seberapa itu Tuan, sekali cair bisa mentraktir 15 kopi hitam porsi setengah ya Tuan."

"Ha ha ha masih ingat saja kau. Tapi kau terlalu mengada-ngada saja, Isa. Seperti mau saja kau menghabiskan seluruh honorium saya. Satu gelas kopi porsi setengah saja dihabiskan oleh lima orang. Semacam enggak mau rui saja."

"Heee. Bukan aku yang buka coki ya Tuan."

"Sekarang malam hari penuh lampion sampai tengah malam, Isa. Serupa hujan yang turun terlalu lebat. Sampai melimpah ke badan jalan. Tanda bahwa kota bertumbuh, Isa. Ada begitu banyak cafe yang bertumbuh dengan berbagai ragam varian rasa. Ada yang produk lokal. Ada yang memang bermitra dengan para pencari cuan dari daerah rantau, Isa."

"Adakah itu sehat untuk bisnis, Tuan?"

"Pertanyaan itu serahkan kepada ahlinya, Isa."

"Sudah serasa pengkhotbah saja omongan Tuan. Hi hi hi."

"Persoalan untung, katakanlah rezeki sudah ada peruntukan masing-masing, Isa."

"Iya juga ya Tuan."

Aku hanya mau bilang, Isa. Kota yang kita tempati kota yang sekarang hidup di tengah malam. Sudah hampir sama saja dengan Betawi sana. Siang dan malam hari sudah hampir sulit dibedakan. Tentu ini angin segar dari timur ke barat Sumatera. Ayolah kita pulang lagi, Isa. Rehat kita. Kepala saya sekarang sedang tenang-tenangnya isinya. Ingin tidur dan mimpi tentang betapa udara begitu segar, langit begitu cerah, dan di bumi tumbuh sangon di bibir pantai.[]


Foto ini enggak berhubungan dengan tulisan. Foto diambil di Berok Nipah, di acara diskusi buku  Kunni Masrohanti











Lebih baru Lebih lama