Laku Juru Parkir Liar Kota

Oleh Alizar Tanjung

"UPS, hati-hati ya Pak. Lurus. Jangan sampai kesenggol Uda yang di depan." Tentu saja yang dimaksud juru parkir yang mangkal di depan Lontong Katupek Pitalah, saya, Isa. Sepeda saya tepat melambat di depan mobil yang baru saja putar kepala. Enggak ada kendaraan lain di depan maupun di samping saya, Isa.

"Terus Tuan?"

"Minum dulu lemon teh 'mu, Isa. Keburu dingin. Nanti kurang sedap."

"Baik, Tuan."

"Berapa banyak juru parkir yang kau kenal seelok itu betul laku pelayanannya, Isa."

Enggak usah kau jawab dulu. Tersentil jiwa bahagia saya. Ini sudah yang kepuluhan kali. Boleh dibilang begitu. Setiap saya lewat di jalan yang sama, meski saya tidak parkir dan makan di Katupek Pitalah, dia tetap begitu sopan dan menyejukkan tatakramanya. Padahal dia enggak dapat biaya parkir dari saya, sebab saya tidak berhenti. Tetap saja dia perlakukan saya seperti itu. Orang-orang yang lewat saya lihat juga dia perlakukan hal yang sama.

"Sebab itu Tuan senyum halus mengingatnya?"

"Sebab jarang saya temukan di Padang Kota Tercinta ini, Isa."

Ada banyak tipe pelayanan juru parkir di Kota Padang. Terutama juru parkir liar, alias enggak ada surat resmi dari pemerintahan setempat. Ada juru parkir yang saat kita mulai parkir dia enggak terlihat moncong hidungnya, pas kita mau sudah pergi baru terlihat moncong hidungnya. Entah ke mana saja dia semenjak kita parkir di awal. Kemudian tiba-tiba datang dari alam gaib saja. Pakai bin salabin, abra kadabra, ilmunya.

Ada pula juru parkir yang baru saja kita parkir belum juga turun dari kendaraan, sudah uang parkir yang dia tagihnya. Kalau enggak dikasih mencak-mencak dan komat-kamit mulutnya. Kalau kita enggak kasih diawal, panjang ereng matanya. Seolah mau ditelannya saja kita. Kalau kita kasih setelah itu dia bakal lenyap serupa ditelan bumi. Seolah dia pakai mantra, lenyap tak berbekas. Jadi makhluk kasat mata.

Kalau ditanya siapa yang bertanggungjawab kalau ada kerusakan atau kehilangan, tentu sudah berlepas tangan saja mereka. Alias masa bodoh.

Ada juru parkir yang serupa penagih hutang. Seolah kita pula yang berhutang besar kepadanya. Lagaknya lagak bos dan tuan besar. Uang parkir harus dikasih lebih. Kalau enggak dikasih lebih, ditunggu dan dipaksanya, "Kurang Da. Seribu lagi, Da. Dua ribu lagi, Da. Parkir malam lima ribu, Da. Kalau Da Ndak mau bayar, cari tempat parkir lain. Masih banyak yang mau parkir di sini."

Sungguh yang lebih menyakitkan juru parkir yang tak tahu oleh untung. Kalau kita asal berhenti di pinggir jalan yang ada kedainya, padahal masih menunggu nona dan nyonya dari atas kendaraan walaupun hanya semenit atau dua menit, sudah ditagih juru parkir. Pergi ke atm saja ditagih juga uang parkir.

"Buat parkir saja kita harus kuras saku 10-30 ribuan sehari ya Tuan."

"Kalau dikali sebulan saja minimal kita habis 300 ribu untuk parkir saja. Sepertinya kecil. Tetapi sudah menganiaya. Enggak tahu aturan."

Isa, juru parkir seyogyanya menjamin keamanan, kenyaman, keselamatan, kendaraan si pemilik, Isa. Logika dasarnya begitu. Kalau ada kerusakan, kehilangan, ketidaknyamanan, dia yang bertanggungjawab. Kalau tidak begitu enggak juru parkir namanya, Isa.

"Lalu apa namanya Tuan?"

"Rentenir, tukang pula, kuciang aia. Banyak lagi julukannya Isa." 

Tentu hal semacam ini enggak bisa dibiarkan saja. Apalagi mereka rata-rata juru parkir ilegal, liar. Kalau terus menerus pembiaran banyak pihak yang dirugikan. Pemerintah harus segera ambil posisi buat membenahinya sedini mungkin. Aturan parkir itu ada, Isa. Hanya saja jalannya seperti jalan yang berlubang. Hidup segan mati mana mau.

"Sebab itu lah Isa. Adanya tata krama serupa juru parkir seperti yang juru parkir di depan Katupek Pitalah membuat terobati luka dan dapat rasa bahagia, saya. Tinggal menduplikat saja para juru parkir yang serupa itu, Isa. Kalau kita mau tidak ada yang tidak bisa. Pertanyaannya mau enggak sungguh-sungguh membenahinya."

Sudahlah Isa. Kita cukupkan sarapan paginya di Ajo Ponggo ini. Habiskan lemon teh 'mu dan bubur kampiun porsi setengah ini. Kembali kita ke Berok Nipah. Kita lanjutkan hari yang panjang ini.() 

Lebih baru Lebih lama