Bang Ucok: Palalawan, Nyamuk Saja tidak Mengenal Autan

"Semenjak saya mengenal usaha dakwah ini hampir saya boleh dikatakan hampir tidak pernah tidak mengenakan baju dakwah ini." Boleh dikatakan ini kali kedua saya mendengarkan penuturan dakwah Bang Ucok, begitu jema'ah menyapanya.

Hujan seharian ini benar-benar awet. Sekarang bertepatan 6 Mei 2023. Sore hujan lebat ditemani badai. Laut bergelombang lebih dari biasanya. Laut yang bercampur dengan air sungai Muaro sudah benar-benar bewarna coklat terang. Dari posisi masjid sekarang ini berdiri laut benar-benar terpampang dengan jelas.

"Semenjak kapan Bang Ucok mengenal dakwa ini?" Pancing saya. Dengan sedikit mata sayu dan bibir pucat saya tetap melayani kisah Bang Ucok. Saya memilih tidak pulang dari Asar salah satu faktor penyebab flu berat dan demam yang melanda diri saya semenjak hari kamis sore.

"2005," jawabnya.

Sesekali saya betulkan masker pink yang saya kenakan. Sesekali saya buka masker untuk menghargai lawan bicara. Kami ngobrol di pojok Masjid Al Munawwarah. Orang-orang mengenal dengan sebutan masjid jema'ah. Bersama saya juga hadir Yahya Muslim Store, tentu saya muslim store itu dilekatkan karena usahanya menyediakan busana muslim. Juga turut hadir dan menimpali beberapa jema'ah lainnya.

Pembicaraan sederhana ini sebenarnya dimulai dari pembicaraan salak pondoh yang busuk tampuknya.

"Ambil yang bagus ini," ujar Tuanku Yahya, gelar tuanku saya yang melekatkan pada Yahya, sebagai penggilan keakraban.

"Ini saja. Yang busuk gratis," ujar Bang Ucok. Saya ikut terkekeh kecil mendengar jawaban penolakan Bang Ucok. Bang Ucok kupas salak pondoh itu. Tepian ujuang dibuangnya. Kemudian dicuci dengan air hujan yang mengalir di ujung terpal yang menjadi dinding penghalang huhan kedai kopi ini.

"Enak?" ujar saya.

"Enak! Salak pondoh."

Ya saya tahu itu salak pondoh. Teksturnya sedikit air, gersang, dan manis.

"Banyak lika-liku yang saya temui dalam usaha dakwah ini. Saya pernah berdakwah ke Palalawan, Riau. Di situ luar biasa tantangannya. Air sangat luar biasa susahnya. Nyamuk banyak. Kobra dan kalajengking biru dongker banyak."

Saya baru saja menyelesaikan menyantap roti. Air ludah ditenggorakan masih agak terasa pahit dan asin. Rupanya memang tidak menyenangkan kena sakit itu. Saya coba untuk terus menyimak usaha dakwah Bang Ucok.

"Kalau sudah pergi ke Palalawan dua orang saja yang dicari jemaah dari padang ini di sana. Satu Buya Hanafi dan satu lagi Buya ..." Saya lupa siapa nama buya satu lagi yang disebutkan Bang Ucok. "Buya Hanafi dan Buya ... ini yang merintis usaha dakwah ini di sana sampai berkembang. Sehingga beliau-beliau itu terkenal di sana."

"Sekarang beliau masih hidup," tanya saya.

"Buya Hanafi masih hidup dan Buya ... sudah al marhum." Bang Ucok melanjutkan kisah perjalanan usaha dakwahnya.

"Tantangan usaha dakwa di palalawan itu sungguh sangat berat. Ada sumur di sana. Kita masukkan ember ke dalam sumur dengan menggunakan katrol. Lamah menunggu baru terdengar tapak ember menyentuh dasar sumur. Pas diangkat ember dari sumur ternyata air hanya segini," ujar Bang Ucok merapatkan jari telunjuk dan jempol. Menunjukkan air itu hanya berisi per sepuluh ember. Warnya coklat pula.

"Sebab itu kalau kita bawa baju warna putih ke palalawan, nantik pas pulang ke padang warnanya sudah jadi warna krem." Bang Ucok dengan semangatnya mengutarakan kisah usah dakwah. Saya yang terbawa arus kisah Bang Ucok, mengambil salak pondoh. Tentu yang saya ambil salak pondoh yang masih bersih, enggak ada busuknya. Tentu pula enggak ingin makan gratis. Enggak enak hati saya.

"Tempat berwuduk dari surau luar biasa jauh. Jarak dari masjid ini ke berok nipah." Tentu kisaran 500 meter lebih. "Itu berjalan kaki pula. Air yang digunakan terkadang air genangan di tengah ladang sawit. Kalau mandi atau berwuduk nanti sudah tinggal-tinggal pacat di punggung," ujar Bang Ucok. "Karena air semakin sulitnya terpaksa kami buang dua ( buang air besar) di tengah malam. Kalau siang malu di tengok orang. Kami buang air semacam kucing buang air. Kami bawa batok kelapa, kami gali tanah, kemudian setelah selesai buang dua, kami timbun kembali dengan tanah."

Memang benar kata orang, bersusah-susah itu nikmat pada akhirnya. Melihat senyuman Bang Ucok, sorot mata, semangat kata-katanya, memembuat saya jadi mengerti sekarang Bang Ucok benar-benar menikmati perjalanan usaha dakwahnya.

"Air susah!" Cetus saya pura-pura penasaran.

"Ya. Sangat susah. Kalau sudah buang satu kami masih punya cadangan air mineral. Bisalah itu membersihkan buang satu. Kadang air itu kami jadikan untuk berwudu. Tantangan juga banyak nyamuk. Nyamuk di sana enggak mengenal autan." Senang juga melihat Bang Ucok tertawa lepas.

"Nyamuk."

"Ya. Nyamuk di sana aneh. Enggak mempan dengan autan. Saya sudah sediakan autan. Saya oleskan ke seluruh tangan. Tetap saja nyamuk nempel dan menggigit tangan saya. Kalau mau tidur mau pakai sleiping bag juga susah. Di sana itu panas. Kalau tidur pakai sleeping bag empuk kita dibuatnya. Kalau enggak pakai sleeping bag nyamuk jadi tantangan. Yang enak itu Tis." Tentu saja yang dimaksud itu Itis. Jemaah tetap Masjid Almunawwarah. Saya kenal beliau. Perawakan orangnya tegas, bertumbuh pendek, kulit sedikit kecoklatan kuat, sedikit bicara, kalau tersenyum membuat kita tenang.

"Itis, dia bawa tenda seprei anti nyamuk. Sekelilingnya tertutupi. Sehinggak nyamuk enggak bisa masuk. Dia enak sendiri."

Salak pondoh satu sudah habis, satu. Saya menambah salak pondoh buah kedua.

"Makan kami di sana cuma dua, kalau ndak pakai ikan asin, ya indomie setiap harinya. Sempat suatu kali orang jual daging masuk ke tempat kami. Tempat kami sekelilingnya sawit membentang luas. Tentu jarang-jarang orang masuk ke sana menjejel dagangan. Kami lihat rupanya banyak sekali orang membeli daging. Kami datang pula membeli daging. Satu kilogram. 'Berapa satu kilogram?' 'Rp 17.000,' jawab pedagangnya. Saya jadi heran. Daging waktu itu harganya Rp 30.000/kg. Kenapa dia jual segitu. Saya tanya balik, 'ini daging apa?' 'Daging babi,' jawab pedagang daging itu. Sayha jadi emosi. 'Kamu tidak lihat peci yang saya kenakan? Kenapa jual juga daging babi ke saya!' 'Ya, Bapak mau beli ya saya jual.' Padahal daging itu sudah selesai dipacking. Ya, ndak jadi beli."

Tentu yang dimaksud Bang Ucok peci simbol muslim. Ciri khas jema'ah selain peci, jubah yang selalu dikenakan ke mana pun pergi.

"Kalau mau bertemu ke rumah-rumah orang di sana selalu dikeliling hewan seperti kobra dan kalajengking. Pernah suatu kali bertemu ke rumah masyarakat. Di pintu menyambut dua ekor kubra siap mematuk. Berat tantangan usaha dakwa di Palalawan."

Hujan diluar masih saja tidak berhenti. Badai yang sudah berhenti. Malam semakin larut saja. Kalau sudah seperti ini tentu kembali ke rumah menunggu selepas Isa. Tanggung balik ke rumah selepas magrib berhujan-hujan, nantik balik ke masjidnya jadi berat sebab hujan.

"Sekarang berdakwah tidaklah seberat dahulu. Pergi ke mana-mana di setiap kampung sudah ada ahbab (sebutan untuk orang yang pernah keluar usaha dakwah minimal tiga hari). Dahulu untuk mengumpulan jema'ah keluar 40 hari luar biasa beratnya. Kami pergi masuk kampung keluar kampung, orang bilang kami ini orang aliran sesat. Sudah biasa diusir pengurus masjid. Terkadang ada pula pengurus masjid yang mengumpulkan jemaah sekampung untuk mengusir kami. Jangankan masuk masjid, di jalan saja baru sudah luar biasa pandangan orang-orang hendak mengusir kami. Terkadang sudah 10 masjid yang kami lewati tidak ada satu pun yang terbuka untuk kami tempati. Sekarang jema'ah enak. Masuk ke kampung sudah ada ahbab yang menanti, air teh dibuatkan, makan diikrhom (ikrhom sebutan pelayanan atau jamuan untuk jema'ah). Kerja dakwah ini sudah terbiasa diusir."

Isa sudah masuk. Tuanku Yahya Muslim Store mengumandangkan azan. Kisah Bang Ucok ditutup dengan masuk waktu shalat isa.[]




Lebih baru Lebih lama