MIMO, MATA ITU MATA SUKARDI


Mimo-ku yang baik. Aku pikir kamu sudah tidur. Mungkin saja terlelap di kursi. Atau sengaja mencari tempat persembunyian di sudut atap. Aku tidak tahu itu sudut atap yang seperti apa di kontrakan kita di Cempaka Putih. Kamu yang tahu Mimo. Aku belum pernah naik ke atap lantai dua kontrakan. Selain dirimu yang pernah naik ke atap, Hasan, manusia kesayanganmu yang pernah naik ke atap itu.

Ah, Mimo, aku tidak ingin membahas atap. Kalau aku membahas atap, juga tidak bakal ada ujung pangkalnya, Mimo. Kamu di Jakarta. Aku di dalam kamar di Padang. Tentu Mimo. Kamar itu terletak di dalam rumah. Tentu Mimo posisiku lagi di depan laptop sedang mengetik tentang ceritaku dengan kamu. Kamu ingin saja membahas tentang banyal hal dengan kamu. Misal seperti kemarin aku yang terjebak dalam kemacetan dalam perjalanan Soekarno Hatta.

Aku ingin pula mencaruti kemacetan itu Mimo. Aku berpikir ulang. Aku urungkan niatku untuk mencaruti kemacetan. Hanya menghabiskan energi dan rasa bahagia yang aku miliki. Aku syukuri saja diriku yang terjebal dalam kemacetan selama 2 jam 10 menit. Aku berlari di terminal 1 C. Cek in di tiket mandiri, gagal sudah. Rupanya sudah tidak bisa. Untung Mimo. Benar-benar beruntung aku pas masuk ke dalam, meja cek in sedang tidak ramai. Aku berangkat ke Padang sesuai jadwal, perasaanku yang tertinggal sebagian di Jakarta. Kenapa harus terjebal dalam kemacetan!

Tapi aku lagi tidak membicarakan kemacetan secara panjang lebar. Aku hanya ingin membicarakan mata itu. Sepasang mata yang duduk di pojok ruangan FGD gedung utama di Istana. Sepasang mata yang bercanda. Sepasang mata yang bercerita. Sepasang mata yang sedang yang membicarakan dirinya sendiri, Mimo.

Aku harap kau hanya pura-pura tidur untuk mendengarkan ceritaku ini Mimo. Kalau kau juga tertidur, aku harap kau menyempatkan diri belajar untuk membaca curhatku ini Mimo. Ah, sudahlah lupakan. Jangankan kau bakal belajar membaca, mendengarkan kisahku ini kau mungkin juga tidak peduli. Sebagai kucing kau mestinya belajar menghargai diri orang lain Mimo. Kita hidup di zaman demokrasi. Setidaknya engkau demokrasi sedikitlah dengan curhatku Mimo.

Mata itu tidak menatap kepada mataku. Mata itu menatap kepada seluruh mata dalam ruangan. Tentu Mimo, maksudku tidak fokus kepada mataku. Mata itu menatap kepada seluruh mata yang berada dalam ruangan. Kemudian mata itu membagikan ceritanya Mimo. Aku membayangkan mata itu mata yang terbang dari satu jendela, ke satu jendela. Mata itu mata yang menatap dari satu ventilasi ke ventilasi yang lainnya. Mata itu mata yang bicara secara diam-diam dengan tenang.

Kalau kau sudah tidur, Mimo. Jangan lupa kau bermimpi membayangkan mata itu. Dengarkan mata itu bercerita. Ah, ngomong apa ini. Maaf Mimo sedikit ngawur. Mungkin karena di sini malam sudah terlalu larut. Dan aku harus melanjutkan ceritaku.

Aku memperhatikan ke mana arah bola mata itu bergerak. Terkadang bergerak ke suduh kanan bawah. Tentu mata itu itu sedang melibatkan perasaan dalam kebenarannya. Kadang mata itu bergerak ke sudut kanan atas, tentu pula sedang membayangkan yang sudah terjadi. Mungkin Mimo. Sebab segala kemungkinan selalu saja ada di duni yang mendekati nyata ini. Terkadang pergerakannya ragu-ragu antara ke kanan atau ke kiri. Sudah tentu kenangan tidak semua dapat diingat dengan amat baik. Bakal selalu saja ada babak kisah yang lupu atau ragu-ragu .

Tapi, aku Mimo. Aku belajar menjadi penglihat yang baik. Serupa kenyataan yang selalu saja tidak terlihat di dalam bola mata. Ada hanya terlihat di dalam hati. Maksudku Mimo wajah selalu saja berbicara tentang kebenaran. Meski suara tidak ada yang keluar. Maksudku Mimo kalau ceritaku ini terlalu berat untukmu, lupakan. Ah, kau memang juga tidak bakal mengingatnya bukan, meski curhatku ringan.

Mata itu bercerita tidak kurang dari 1 jam, Mimo. Aku melihat bibir yang tertawa. Aku juga melihat kenangan yang bermunculan semacam masuk lingkaran Jumanji. Kenangan itu seakan kembali nyata. Bayangan begerak dalam kepala. Suara juga bermunculan dalam kepala. Senyuman dan sorot mata dalam persi pemilik mata itu, Mimo, juga bermunculan dalam kepalaku. Kepalaku menyimpan senyuman tipis dan pergerakan sel syaraf wajah si founder Rakabu. Kau mau tahukan Mimo sosok founder Rakabu ini. Waktu, Mimo. Waktu yang bakal membuat kau belajar mengenal Rakabu.

***
ALIZAR TANJUNG
16/12/2017

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama