KAPAL TERBANG

Rob Gonzalve
Mantagi Farhan Lungka (terbit di Singgalang, 4 Januari 2015)
           
“Kapa Tabang. Caliak kapa tabang! Caliaklah! Gadang. Sabana gadang. Iyo sabana rancak. (Pesawat. Lihat itu pesawat! Lihatlah! Besar. Sangat besar. Benar-benar bagus.)”
Sudah cukup lama kejadian ini berlalu. Sudah 21 tahun ketika kami melihat pesawat dengan begitu takjubnya. Sebagai anak kampung melihat pesawat di langit, sungguh mengagumkan. Kami bisa berlari melompati semak-semak, seolah kami akan mengejar pesawat terbang itu. Dia bagaikan muncul dari tengah hutan. Dia muncul dengan dengung yang sangat aneh, kemudian melintas di langit kampung kami, dan pergi ke kejauhan.
Sungguh sebagai anak kampung, melihat pesawat suatu pengalaman yang luar biasa. Pada tahun-tahun itu kampung kami masih terisolir. Tahun 93 belum reformasi. Kami belum pernah melihat pesawat terbang secara langsung. Kami baru melihat di televisi hitam putih, kemudian di atas langit kampung, seperti burung kinari atau burung layang-layang, terkadang agak besar terlihat seperti elang yang menukik.
“Kapa tabang.” Kami menamakannya kapa tabang. Kami belum mengenal yang namanya pesawat. Kami hanya tahu kapa tabang. Orang kami boleh dikatakan belum ada yang naik kapa tabang. Sekarang orang-orang menamakannya pesawat. Saya ikut-ikutan pula menyebut dengan kata “pesawat”.
Kami bermain kelereng, bermain gambar, bermain kartu, bermain mobil dari manau, bermain kasti, kemudian pesawat lewar. Permainan kami saat itu juga terhenti. Kami akan berlarian mana yang tercepat mendahului pesawat, meski pada kenyataannya tidak satu pun dari kami yang mampu mendahului pesawat. Satu-satu mulai bercita-cita naik pesawat, satu-satu di antara kami mulai bercita-cita jadi pilot. Sebab kata guru kami pilot itu keren. Bisa terbang. Bisa berkeliling dunia. Meski waktu itu kami tidak mengerti apa yang dimaksud berkeliling dunia.
Kemudian kami membuat pesawat dari kertas. Kertas-kertas itu kami layangkan di atas langit. Jatuh berulang-ulang, kami layangkan lagi ke langit tinggi. Kami membuat pesawat dari daun tebu, berkali-kali harus kucing-kucingan dengan pemilik tebu, sebab tebu mereka mulai botak satu persatu. Seolah-olah kamilah pilot dari pesawat terbang itu sendiri. Terkadang kami membalutkan kain sarung ke punggung kami, kami berlarian seolah kami sedang terbang seperti pesawat.
Ini pesawat terbang di masa kecil kami. Mereka yang yang hidup di kota tentunya sudah terbiasa dengan pesawat. Bagi mereka yang hidup di pinggiran yang tidak pernah melihat secara langsung, tentu menjadi suatu hal yang luar biasa ketika melihat pesawat. Ada suatu kesenangan yang menggebu, berangan-angan suatu saat akan naik pesawat pula.
Sekarang apakah keinginan untuk naik pesawat itu masih menggebu-gebu? Entahlah. Mungkin masing-masing kita sang pembaca mantagi ini yang akan menjawabnya. Apakah yang muncul ketakutan karena melihat begitu sering terjadi kecelakaan pesawaat, Atau yang muncul kegembiraan karena mengingat kenangan masa kecil?
Saat ini pesawat terbang juga sering bukan di langit. Pesawat lebih sering terbang ke atap rumah orang. Pesawat sekarang terbang ke hutan belantara, menabrak gunung, menabrak pepohonan, menabrak hewan dan rumah semut. Pesawat sekarang terbangnya makin canggih, ada yang terbang menggantikan kapal laut, menjadi ikan raksasa. Pesawat sekarang punya insang, berulang kali menyelam ke dalam laut, lalu menelurkan anak-anak ikan yang mengapung. Anak-anak ikan itu tidak jadi hidup. Pesawat sekarang terbang ada seperti hantu, berhari-hari tidak bertemu, lalu pulang sayapnya, terkadang ekor, terkadang perutnya.
Tentu ini tidak lagi sesuai dengan angan-angan masa kecil kami. Ini benar-benar membenturkan angan-angan masa kecil kami dengan kenyataan. Dahulu orang berpikir pesawat menghubungan banyak tempat, sekarang menghubungkan dunia dengan surga, dan termasuk pulah menghubungan dunia dengan akhirat yang tidak diinginkan.
Ini tentunya bukan kesalahan pesawat. Pesawat tidak salah. Pesawat bukan orang. Dia tidak pandai berpikir. Orang-orang yang mengoperasikanlah yang memikirkannya. Mereka yang tahu mana kondisi pesawat yang sehat, yang sakit, yang sudah layak dipensiumkan,yang layak terbang di udara berkabut. Orang-orang yang tahu mana kondisi baik dan mana kondisi buruk. Bisnis ya boleh. Tentunya bisnis yang menyelamatkan dan membahagiakan hidup orang banyak. Bukankah begitu pengelola pesawat terbang di Indonesia negara kami tercinta!* 311214

Lebih baru Lebih lama