SAPU

Oleh Farhan Lungka
Terbit di Singgalang 2014


“Bro. Gue nonton televisi. Televisinya orang Padang. Keren Bro. Lo percaya nggak tukang sapu jualan sapu buat biaya sekolah,” Lungka menepuk pundak Farhan dari belakang. Farhan acuh tak acuh saja. Dia asyik membaca buku terbaru Merry Riana sang milyarder di usia 26 tahun.
Ang (kamu) ganggu den saja. Bisa nggak sehari saja tidak menganggu saya, Bos,” jawab Farhan dengan bahasi indomi. Farhan sudah sampai pada topik bacaan di mana Merry Riana harus menyapa setiap para pejalan kaki hendak memasuki MRT di Singapura.
“Sumpah Bro. Itu benar-benar tayangan menakjubkan. Bayangkan di zaman modern sekarang masih ada anak umur 11 tahunan yang jualan sapu untuk biaya sekolah. Katanya sih, hasilan penjualan sapu dia bawa pulang. Buat membiayai sekolah.”
Mata Lungka menatap langit-langit kamar, seperti membayangkan ada bom atom di atas genteng. Dia sedang membayangkan anak laki-laki itu berjalan dari pintu mobil ke pintu mobil dan menawarkan sapu.
“Sepuluh ribu Pak. Belilah Pak. Ini untuk biaya sekolah saya, Pak.” Lungka kemudian membayangkan orang-orang yang membuang muka. Menatap anak itu dengan sinis. Terkadang Lungka tersenyum sendiri membayangkan orang-orang yang tersenyum kepada si anak.
“Ang kesambek di mana Lung.”
“Oh. Oh. Oh. Lo ngagetin saja Han.”
“Habis Ang semacam orang sedang menghayalkan istana paling megah saja. Padahal cuman mikirkan seorang tukang sapu yang jualan. Memang seberapa menarik si anak itu menjadi feature bagi televisi lokal.” Nah inilah topik yang sedang ditunggu-tunggu Lungka.
Seberapa menarik anak kecil? Ya, seberapa menarik anak kecil ini? Anak kecil ini gambaran dari anak-anak kecil lain yang juga melakukan pekerjaan jualan di jalan-jalan. Hidup memang terkadang tidak berpihak. Orang-orang kaya makin mentereng dengan mobil mewahnya. Orang-orang miskin makin miskin dengan kondisi keuangan mereka.
Anak-anak tukang sapu ada yang datang dari Pariaman. Terkadang dari Lubuk Alung. Ada pula yang anak Padang sendiri. Mereka berjualan sapu, terkadang berjualan ember, berjualan batu gilingan cabai, orang minang sebut batu lado. Terkadang mereka jualan Koran di simpang-simpang lampu merah.
Mereka banyak dari kalangan siswa. Hal inilah yang menarik menurut Lungka. Mereka yang datang dari jauh membawa sepuluh sapu, menaiki angkot atau bus ke ibukota. Ibukota menjadi tempat menggantungkan hidup mereka, kalau malam tiba mereka istirahat di jalanan, di rumah-rumah yang tak dihuni.
Kondisi ini sungguh miris untuk Kota Padang. Bagaimana tidak? Padang dikenal dengan Kota Pendidikan. Pusat-pusat kampus berdiri hampir di setiap pelosok kita. Bahkan dikenal pula ikon asuh di kota ini, anak dipangku kemenakan dibimbing.
“Nah begitu Han. Bagaimana aku tidak miris melihatnya.”
“Ya itu sudah biasa di kota ini Lung. Coba saja lihat persimpangan lampu merah. Lampu merah penuh dengan pengamen yang umur rata-rata mereka sepuluh tahun. Sekali-kali jalan kaki ke Permindo, nah nongkrong di sana untuk membuktikannya. Atau bisa juga ke Ulak Karang di jalan bersimpang ke Jalan Mangunkaskoro, ada pengamen anak-anak di sana yang suka nongkrong.”
“Ya kalau itu aku juga tahu Han.”
“Terus.”
“Solusinya Bro. Sebagai orang minang kita kan juga prihatin.”
“Gaya Ang lai. Solusinya ya pemerintah. Pemerintah harus turun tangan terus menerus untuk memantau perkembangan anak-anak. Apalagi anak-anak yang ingin sekolah, biaya tidak ada, orang tua sudah meninggal pula. Lengkaplah penderitaan. Kalau perlu pemerintah buat sebuah lembaga khusus penanganan pendidikan anak-anak tak mampu. Itu baru jitu strategi pemerintah. Kalau perlu sekolahkan tinggi-tinggi. Biar dia besarkan negeri ini kelak. Aku mau lanjut baca buku. Ang mengganggu saja.”
Sips, sips, sips, Bro.”[]


Lebih baru Lebih lama